Komparatif.ID, Blangpidie– Teuku Bentara Mahmud, merupakan salah satu uleebalang yang tidak bersedia tunduk kepada Belanda. Dia akhirnya kalah, tapi tak pernah menyerah kepada Hindia Belanda.
Dalam rangka menyongsong hari kemerdekaan Indonesia, Tim Peneliti Pengkaji Gelar Kabupaten (TP2GK) Aceh Barat Daya bersama Pemkab Abdya menyelenggarakan Seminar Calon Pahlawan Nasional bertajuk “Teuku Ben Mahmud; Tinjauan Genealogi, Historiografi dan Antropologi”.
Seminar yang digelar pada Rabu, 7 Agustus 2024, di Aula Bappeda Aceh Barat Daya, sebagai upaya mengukuhkan Teuku Bentara Mahmud menjadi Pahlawan Nasional. Banyak nilai-nilai kepahlawanan Teuku Bentara Mahmud yang harus digali lebih dalam. Termasuk semangat juangnya dalam membela Aceh dari gempuran kafir Belanda.
Baca:Mencari Jejak Negeri Champa di Bireuen
Ketua TP2GK Aceh Barat Daya, Aris Faisal Djamin, dalam seminar tersebut menerangkan Teuku Bentara Mahmud merupakan uleebalang yang patut dikenang oleh generasi tua, dan harus menjadi inspirasi generasi muda, dalam rangka membangun kesadaran cinta terhadap Tanah Air.
“Teuku Ben Mahmud adalah simbol keberanian dan keteguhan hati. Beliau tidak hanya berjuang dengan senjata, tetapi juga dengan diplomasi yang cerdas dan strategi yang brilian. Melalui seminar ini, kami ingin menggali lebih dalam nilai-nilai kepahlawanan yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Aris.
Antropolog Aceh yang juga akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri (STAIN) Meulaboh, Dr. Muhajir Al-Fairusy yang didapuk sebagai salah seorang pembicara, menerangkan, Teuku Bentara Mahmud merupakan salah satu uleebalang di Blangpidie yang ahli strategi.
Dalam menghadapi Pemerintah Hindia Belanda yang mencopa mengokupasi Aceh, Teuku Bentara Mahmud, menjalankan perang jihad fisabilillah yang menggunakan pola taktik yang mumpuni.
Muhajir Al-Fairusy, ada perbedaan mencolok lainnya. Perang melawan kaphe penjajah di pantai barat Aceh dipimpin oleh para uleebalang, seperti Teuku Umar, Teuku Ben Mahmud, dan lain-lain. Sedangkan di pantai timur Aceh, perang tersebut umumnya dipimpin oleh para ulama.
“Ini yang unik, di pantai barat Aceh, para uleebalang dominan memimpin perang melawan Belanda. Berbeda dengan di pantai timur Aceh, perang fisabilillah melawan Belanda dominan dipimpin para ulama,” kata Muhajir Al-Fairusy.
Narasumber lainnya seperti sejarawan Aris Faisal Djamin, Aufar Hidayat, dan Rozal Nawafil, mengupas tentang Riwayat hidup sang uleebalang.
Acara tersebut berlangsung meriah. Akhirnya, seluruh hadirin sepakat bahwa sang bangsawan Blangpidie tersebut harus diusulkan menjadi pahlawan nasional.
Siapa Teuku Bentara Mahmud
Dalam buku yang ditulis Rozal Nawafil, dan Aris Faisal Djamin (2024) berjudul Teuku Bentara Mahmud Setia Radja : Pahlawan Besar Perang Aceh, yang diterbitkan oleh Aceh Culture and Education, disebutkan Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja atau Teuku Ben Mahmud, lahir sekitar tahun 1860.
Ia lahir di Gampong Cot, Kuta Tinggi, Blangpidie. Ayahnya bernama Teuku Bentara Abbas bin Teuku Bentara Agam yang berasal dari Pidie. Saat masih muda, Teuku Ben Mahmud dikenal dengan sebutan Mahmud Panglima Gumbak atau Anak Bergumbak. Pada tahun 1885, Teuku Ben Mahmud diangkat oleh Sultan Aceh menjadi Uleebalang Blangpidie dengan gelar Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja.
Dalam perjalanan karir politiknya, dia memilih melawan Pemerintah Hindia Belanda yang telah menjadikan Aceh sebagai salah satu daerah jajahannya. Ketimbang menerima tawaran Kerjasama dengan Belanda, ia dan pasukannya lebih memilih bertempur.
Lelaki berkulit legam tersebut pun turun ke berbagai palagan gerilya mulai dari pesisir barat selatan Aceh, Gayo, Alas hingga tanah Batak pada awal abad ke-20.
Teuku Ben Mahmud beserta 160 pasukannya turun gunung pada Juli 1908 setelah sebulan sebelumnya Belanda berhasil menyandera keluarga dan beberapa pasukan Teuku Ben.
Meski telah “kalah”, tapi sang ampon tidak bisa kooperatif dengan Belanda. Diam-diam, dia tetap berhubungan dengan para pejuang dan terus-menerus memprovokasi supaya para pejuang tetap menyerang penjajah. Ia turut memerintahkan para pejuang untuk menghabisi seorang mata-mata Belanda di Blangpidie.
Pada tahun 1911, sang petempur di jalan Allah diinternir menggunakan Kapal Van Doorn ke Halmahera, Maluku.
Bukan hanya dia, putra-putranya juga dibuang ke luar Blangpidie. Semangat juang sang uleebalang bukan hanya bersemanyam di dadanya. Tapi berhasil ia tanamkan ke dalam jiwa anak-anaknya.
Sang pejuang menjunjung tinggi falsafah, lebih baik mati berkalang tanah, ketimbang hidup berputih mata. Ia boleh kalah, tapi dia tidak menyerah.