Sejak kecil saya sudah berhubungan dengan orang-orang Tionghoa Lhokseumawe. Bukan saja di sekolah, tapi juga dalam urusan perdagangan. Kakek dan ayah saya punya hubungan dagang yang erat dengan pengusaha Tionghoa yang bermukim di Medan, Sumatera Utara.
Bila ditarik ke belakang, sejarah yang masih bisa diraba adalah gelombang Reformasi 1998 yang digerakkan untuk meruntuhkan kekuasaan Orde Baru, dan berujung lengsernya Soeharto. Efek ikutan dari peristiwa tersebut yaitu ganyang Cina.
Kerusuhan terjadi di mana-mana. Penolakan terhadap komunitas Tionghoa mengalir ke seluruh penjuru tanah air; tak terkecuali di Kota Lhokseumawe, yang kala itu masih merupakan petro dollar.
Baca juga: Tionghoa Bireuen, Bukan Cina di Morowali
Admi, Tionghoa yang Merawat Jejak Rempah Bandar Singkel Lama
Kota Lhokseumawe merupakan kawasan industri sekaligus pusat bisnis yang menarik minat banyak orang untuk datang, dan bermukim. Khusus etnis Tionghoa yang saya sebut Tionghoa Lhokseumawe, mereka telah ada di sana sebelum Indonesia merdeka. Bila merujuk pada sejarah masa lampau, hubungan Kesultanan Samudera Pasai juga sudah sangat erat dengan Tiongkok. Bila orang Aceh pernah mendengar nama Lonceng Cakra Donya, itu hadiah dari Tiongkok untuk Samudera Pasai yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho.
Ketika gelombang protes yang melahirkan kerusuhan terhadap etnis Tionghoa, saya baru saja duduk di kelas 1 SMA negeri 1 Lhokseumawe yang kala itu masih menjadi ibukota Aceh Utara.
Kerusuhan 1998 menyebabkan banyak teman-teman sekolah saya dari etnis Tionghoa Lhokseumawe eksodus ke luar Aceh. Namun ada beberapa keluarga yang bertahan, meskipun tetap merasa tak nyaman dengan situasi yang kala itu tidak menentu.
Saya penasaran mengapa masih ada juga yang tetap tidak eksodus ke luar Aceh. Iseng-iseng saya bertanya kepada salah seorang teman yang merupakan Tionghoa Lhokseumawe. “Kau tidak pindah, Steph?”
Dengan cepat Steph menjawab,”Mau pindah ke mana aku, Bir? Ini kampungku, jangankan aku, nenekku pun lahir di sini.”
jawaban itu sepintas biasa saja. Akan tetapi ketika saya menyelaminya lebih dalam, terkandung pesan yang sangat kuat. Bahwa si Steph adalah orang Lhokseumawe. Ia etnis Tionghoa, tapi bukan Tionghoa RRC, ia sama seperti generasi Aceh yang lahir di luar negeri, ketika indatu orang Aceh bermigrasi ke negara lain, mereka kawin-mawin, melahirkan keturunan di tempat mereka merantau. Demikianlah Steph dan etnis Tionghoa lainnya yang lahir di Lhokseumawe. Lhokseumawe adalah kampung halaman, dan itu fakta yang tidak dapat ditampik oleh siapapun. Bukankah yang disebut kampung halaman adalah tempat di mana kita dilahirkan?
Demikian juga ketika menempuh pendidikan di SMP Negeri 1 Lhokseumawe, saya bergaul akrab dengan teman-teman Tionghoa. Karena sangat dekat, setiap makan mi di kantin, saya lebih sering menggunakan sumpit ketimbang garpu. Kelihaian saya menggunakan sumpit menimbulkan kesan luar biasa.
Suatu hari sekolah menggelar lomba memindahkan kelereng menggunakan sumpit. Lomba itu digelar dalam rangka memeriahkan 17 Agustus. Setiap kelas menurunkan satu perwakilan. Ternyata, 99 % menurunkan “atlet” Tionghoa. Hanya kelas saya yang perwakilannya orang Aceh, dan itu adalah saya. Hasil lomba itu di luar dugaan banyak orang. Karena yang juara satu adalah saya. Ternyata saya lebih jago menggunakan sumpit ketimbang pengguna aslinya. Dalam bidang persumpitan, saya lebih Tionghoa ketimbang Tionghoa Lhokseumawe.
Di SMP saya juga dekat dengan seorang remaja putri Tionghoa Lhokseumawe. Anda tidak perlu tahu namanya, karena itu rahasia. Kalau boleh dikatakan, kami mungkin seperti pacaran—semacam cinta monyetlah; maklum remaja masih bau kencur. Tapi Cuma di sekolah saja kami bertemu. Dia mengajari saya menghafal kata-kata dan angka Cina yang masih saya ingat sampai sekarang.
Teman-teman Tionghoa Lhokseumawe kala itu juga pernah memberikan saya kue keranjang dan jeruk mandarin. Mereka merayakan Imlek, meski dulu tidak meriah seperti sekarang. Bila mengenang masa sekolah dulu, sungguh sangat indah.
Ada kisah menarik lainnya ketika saya kuliah di Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh. Suatu ketika seorang teman datang ke kontrakan saya. Dia mengajak saya berlibur ke Sabang. Ketika saya dan penghuni kontrakan sepakat, maka berangkatlah kami ke pulau nan eksotis itu.
Si kawan membawa serta seorang teman dari etnis Tionghoa Lhokseumawe, yang bermukim di sebuah kecamatan di Aceh Utara. Usianya 2 tahun lebih tua ketimbang saya yang saat itu masih 21 tahun.
Pria itu agak pendiam. Namun seiring waktu akhirnya cair juga dan kami pun akrab. Kami berada di Sabang selama 5 hari, ber-snokling, main di pasir putih, keliling kota bersejarah itu, mengudap bakpia yang merupakan kue yang bermuasal dari Tiongkok, serta aktivitas lainnya.
Si kawan Tionghoa ini mengatakan sudah tenang setelah berlibur bersama kami. Ia pun mengaku siap untuk menjalani khitan, dan berencana masuk Islam. Apakah ia benar-benar menjadi mualaf, saya tidak tahu.
Seperti di awal tulisan singkat ini, pertautan saya dengan etnis Tionghoa Lhokseumawe telah terjalin sejak dari kakek, yang dalam bahasa aceh disebut abunek. Abunek saya bergaul akrab dengan orang Tionghoa. Demikian juga ayah saya, punya hubungan dagang yang baik dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa Lhokseumawe dan Medan, Sumatera Utara.
Saking dekatnya, ada satu tauke di Medan yang saya panggil dengan sebutan Pakwa Cina. Pakwa Cina tersebut sering memberikan saya hadiah seperti sepatu atau tas baru.
Ketika saya mulai berdagang, tauke Cina di Medan juga banyak membantu. Atas bantuan tersebut saya mengucapkan terima kasih.
Demikianlah hidup. Kita tidak bisa menentukan di mana tanah kelahiran, dari siapa dilahirkan, dengan siapa berteman, dan dengan bangsa apa akan berhubungan. Keberagaman merupakan rahmat. Perbedaan suatu hal yang sunnatullah. Saya menikmatinya, dan saya sangat bersyukur karenanya.