Irwandi (39) tidak punya akun media sosial. Telepon genggam yang ia gunakan masih seri lawas. Tak ada layar sentuh, dan tidak membutuhkan jaringan internet.
Irwandi merupakan ayah dengan satu anak dan dua istri. Istri pertama telah ia ceraikan karena hubungan cinta keduanya telah berakhir. Istri kedua—meski janda—sangat ia cintai. Mereka hidup bahagia, meski serba terbatas.
Dunia politik yang dipahami Irwandi hanyalah pemilu. Pun demikian ia tidak begitu ambil pusing.
Ia tidak lulus SD. Tak juga terlalu lama mengaji. Hari-hari di masa mudanya dihabiskan dari satu rimba ke rimba lain. Bukan sebagai gerilyawan. Tapi bekerja sebagai buruh lepas demi memenuhi kebutuhan logistik pangan dan sandang.
Irwandi ini teman saya. Pernah satu kelas di SD Inpres Teupin Mane. Ia mundur dari dunia pendidikan formal ketika guru menyatakan dirinya tidak naik kelas.
Baca: 7 Alasan Kamu Harus Berkunjung ke Aceh
Kami memiliki beberapa persamaan. Gemar bercanda, dan sama-sama belum mampu membangun rumah. Ia tidak percaya bila saya belum memiliki rumah sendiri. Karena menurutnya siapa saja yang hidup di kota dan bekerja di sektor media, tak mungkin belum memiliki kemampuan mendirikan rumah sendiri.
Setiap kali ia tidak percaya, saya hanya tertawa. Karena itulah satu-satunya cara melucu paling murah, di tengah berbagai kelucuan di Serambi Mekkah yang katanya sangat religius.
Aceh memang unik. Banyak orang miskin yang belum memiliki hunian, di tengah banyaknya rumah bantuan yang diperjualbelikan. Banyak orang punya skill tidak punya pekerjaan, di tengah orang-orang yang memonopoli pekerjaan. Banyak kontraktor yang tidak punya proyek, di tengah sedikit kontraktor yang menguasai banyak proyek.Banyak orang yang hidup pas-pasan bahkan banyak yang tidak cukup makan yang layak, di tengah segelintir birokrat dan politisi yang memiliki rumah mewah lebih dari tiga di kota-kota besar.
Beberapa waktu lalu, seorang lulusan Inggris mengeluh bahwa tak ada tempat untuk dirinya unjuk kemampuan. Ide-idenya tersangkut di para-para rumah, sedangkan job yang seharusnya ia emban, justru dikerjakan oleh orang yang tak memiliki kompetensi. Terjun ke dunia bisnis, ia tak paham, selain karena telah terlalu lama menimba ilmu –teori—di kampus, ia juga tak punya modal selain pengetahuan sosial.
Di Aceh ia mati akal. Tak ada kesempatan untuk berkreasi. Ia nyaris frustasi. Si kawan tak memiliki kekebalan yang cukup, berbeda dengan Irwandi, yang telah sangat imum dengan Aceh yang lucu.
Setiap kali bertemu Irwandi, saya selalu teringat kepada bocah-bocah kampung yang setiap hari bermain di tanah. Berguling-guling di dekat kendang sapi, ataupun berenang di alur kecil yang juga dialiri pipa kasus warga. Bocah-bocah itu tidak pernah sakit. Bilapun ada masalah, biasanya hanya cacingan yang bisa sembuh dengan satu sendok sirup yang diberi gratis di puskesmas.
Orang-orang seperti Irwandi tidak boleh mengeluh. Bila sekali saja dia mengeluh, dan keluhan itu didengar oleh orang-orang yang hidupnya mapan, maka ia dituding sebagai lelaki pemalas. Meski seluruh kampung tahu bila Irwandi dan orang sejenisnya, merupakan petarung di bawah terik matahari. Bergerak dengan peluh bercucur sembari mempertaruhkan keselamatan. Di ujung hari ia hanya dibayar dengan angka yang sangat kecil. Sekadar dua piring kuliner berlabel Korean Food murah yang di jual di kota.
Irwandi seperti Isnawi, seorang ayah beranak empat yang berprofesi sebagai sopir truk jungkit. Ia yang sering harus meninggalkan anak dan bini demi bekerja di berbagai daerah, seringkali tak membawa pulang uang yang cukup karena ongkos kerjanya seringkali dibayar sangat murah.
Orang-orang kecil tidak boleh mengeluh. Irwandi, Isnawi, atau yang lainnya tidak boleh mengeluh. Bila mereka curhat, maka akan dianggap sebagai pemalas. Meski seringkali mereka kehabisan rumus untuk melogikakan teori dan praktik kerja yang tidak seimbang. Orang kecil harus ikhlas, karena itu satu-satunya obat penenang supaya tidak gila.
Uang di Aceh melimpah. Proyek di Aceh bertaburan. Bantuan ekonomi di Aceh tak sanggup dihitung dengan jari. Bahkan tak muat kalkulator bila dikalkulasikan. Tapi semua itu menjadi gaib, ibarat kabut, terlihat tapi tak teraba.
Mereka yang tidak sabar menempuh jalan pintas. Menjadi pengedar narkotika. Dengan risiko bila tertangkap akan bermuara pada dua kondisi. Bila bukan dipenjara, ya di tembak mati di tempat. Bila itu terjadi, stigma buruk akan menimpa keluarga mereka.
Ada pula yang merantau ke luar Aceh, bekerja di toko-toko kosmetik, yang bisnis utamanya menjual tramadol yang oleh beberapa dokter menyebutnya tramadol olahan. Seringkali yang demikian lebih manjur. Setahun merantau sudah dapat membangun rumah, membeli kebun, membuka toko, dan tentunya membeli mobil.
Mereka yang merantau dan memilih penjadi bagian dari jaringan penyalahgunaan tramadol, merupakan ianya yang telah bosan hidup miskin. Mereka yang tidak lagi percaya bahwa pemerintah benar-benar bekerja untuk rakyat. Karena dengan mata kepala sendiri mereka melihat siapa saja yang menjadi pejabat, maka hanya si pejabat yang kaya. Sedangkan rakyat yang dielu-elukan di dalam tiap pidato, hanya menjadi objek penerima remah terkecil.
Hmmm, Irwandi, Isnawi, dan para pekerja sektor informal lainnya yang berkomitmen tidak putus asa, merupakan para penggawa ekonomi, supaya pemerintah tetap terlihat bekerja dengan baik. Mereka yang siang malam mencoba mempertahankan rezeki halal, adalah bingkai rapuh yang ada untuk menutup berbagai kekurangan pemerintah yang ada, tapi sejatinya hanya predator anggaran negara.