Tanah yang Tak Lagi Ramah Bagi Rakyat Kecil

Tanah yang Tak Lagi Ramah Bagi Rakyat Kecil
Fifi Desi Maharani. Foto: HO for Komparatif.ID.

Aceh, provinsi yang pernah menjadi medan perjuangan panjang, ternyata belum benar-benar lepas dari beragam persoalan pelik meski hampir dua dekade pascaperjanjian damai. Salah satu persoalan yang masih terus menghantui, terutama di wilayah pedesaan, adalah konflik tanah (agraria).

Di balik semaraknya narasi pembangunan dan investasi setelah MoU Helsinki 2005, masih banyak cerita yang luput dari perhatian cerita tentang petani kecil, nelayan, hingga masyarakat adat yang perlahan-lahan terusir dari tanah mereka sendiri. 

Mereka kehilangan akses terhadap sumber daya yang selama ini menjadi penopang hidup, dan ironisnya, suara mereka nyaris tak terdengar dalam proses pengambilan keputusan.

Persoalannya bukan hanya tentang tanah, tetapi juga soal ketimpangan kuasa. Ketika korporasi besar dengan segala perangkatnya masuk ke pedalaman, masyarakat kecil nyaris tak punya posisi tawar. Bahkan tak jarang, konflik justru terjadi antara sesama warga dan elite lokal yang punya kedekatan dengan kekuasaan. Situasinya menjadi rumit, seperti benang kusut yang sulit diurai.

Kalau bicara soal konflik agraria di Aceh, persoalannya bukan semata tentang siapa yang menguasai lahan. Lebih dari itu, ini soal ketimpangan dalam distribusi kuasa, keadilan sosial yang belum terwujud, dan luka-luka lama pascakonflik yang belum sepenuhnya sembuh.

Beberapa kawasan di Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Besar, sampai Aceh Singkil, ketegangan antara warga dengan perusahaan Perkebunan terutama sawit masih terus terjadi. Banyak dari konflik ini berkaitan dengan Hak Guna Usaha (HGU), klaim sepihak atas kawasan hutan, dan tumpang tindih kepemilikan lahan yang sudah diwariskan turun-temurun.

Semakin miris, penyelesaian konflik sering kali jauh dari rasa keadilan. Negara, alih-alih berdiri di tengah sebagai penengah, justru kerap terlihat lebih condong ke pihak pemodal. Rakyat yang tak punya akses dan kekuatan politik akhirnya hanya bisa menggugat nasib dengan segala keterbatasan yang ada.

Salah satu contoh ketimpangan kuasa dalam konflik agraria terjadi di Aceh Timur. Dilansir dari bithe.co sejak 2012 lalu, ratusan petani mulai mengelola ribuan hektare lahan yang sebenarnya sudah lama dibiarkan terbengkalai oleh perusahaan pemegang HGU, seperti PT Dwi Kencana Semesta dan PT Bumi Flora yang belakangan diketahui dikuasai oleh PT Parama Agro Sejahtera. Lahan-lahan itu tak lagi digarap, padahal masyarakat di sekitarnya justru kekurangan tanah untuk bertani.

Alih-alih mendapat dukungan atau solusi dari negara, inisiatif para petani ini justru disambut dengan intimidasi. Ada pemanggilan-pemanggilan sepihak tanpa dasar hukum yang jelas, tekanan dari pihak perusahaan, hingga berbagai bentuk perlakuan yang mengabaikan hak petani. Ini jadi bukti nyata betapa timpangnya relasi antara warga kecil dan korporasi, dan betapa lemahnya posisi negara dalam melindungi rakyatnya sendiri.

Baca jugaKonservasi Tanpa Keadilan: Gajah Aman, Warga Terancam

Masalahnya bukan sekadar soal lahan, tapi juga soal struktur konflik agraria seperti ini menggambarkan bagaimana tanah sebagai sumber kehidupan justru lebih banyak dikuasai oleh segelintir pemilik modal yang tidak menjalankan tanggung jawab sosialnya. Sementara itu, petani harus berhadapan dengan berbagai tekanan, tanpa kepastian hukum, dan dengan dukungan negara yang nyaris tak terasa.

Tuntutan agar izin HGU perusahaan yang menelantarkan lahan dicabut dan dialihkan kepada petani bukan sekadar soal redistribusi tanah, tapi bagian dari perjuangan yang lebih besar untuk menegakkan keadilan agraria. Ini adalah soal siapa yang berhak hidup layak di atas tanah tempat mereka berpijak.

Konflik agraria di Aceh bukan cuma soal rebutan lahan. Lebih dari itu, ini soal ketimpangan relasi kuasa. Ketika masyarakat kecil harus berhadapan dengan perusahaan besar yang punya modal kuat dan akses langsung ke elite politik, maka yang terjadi bukan pertarungan yang adil, tapi ketimpangan yang terang-terangan. 

Warga desa yang hidup pas-pasan, tidak paham hukum, dan tak punya akses ke bantuan hukum, tentu tak punya banyak pilihan selain pasrah atau melawan dengan segala keterbatasan.

Masalahnya makin pelik ketika regulasi yang ada justru tak memihak rakyat. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang seharusnya jadi pijakan utama keadilan agraria, nyatanya belum dijalankan secara konsisten. 

Qanun Aceh tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam pun belum sepenuhnya melindungi hak-hak masyarakat adat atau komunitas lokal. Banyak keputusan penting diambil secara tertutup, tanpa melibatkan masyarakat yang bakal terdampak langsung.

Belum lagi soal tumpang tindih kewenangan antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat. Banyak lahan yang sudah digarap masyarakat selama puluhan tahun tiba-tiba diklaim sebagai “hutan negara”, hanya karena masyarakat tak punya sertifikat resmi. 

Padahal, secara sosial dan historis, lahan itu jelas-jelas sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Tapi karena aturan hanya mengakui yang “tertulis”, maka suara masyarakat kerap dikesampingkan.

Salah satu ironi paling menyakitkan dalam konflik agraria di Aceh adalah ketika negara, yang seharusnya berdiri di sisi rakyat, justru lebih sering tampil sebagai pemilik kuasa. Alih-alih melindungi masyarakat, negara hadir lewat aparat keamanan, birokrasi, dan instrumen hukum yang justru memihak perusahaan terutama mereka yang punya legalitas di atas kertas, walaupun secara sosial dan moral klaim mereka lemah.

Konsekuensi adalah kriminalisasi terhadap petani, intimidasi terhadap aktivis lingkungan, hingga kekerasan dalam proses pengosongan lahan. Ini bukan cerita lama, tapi kenyataan yang masih terus berulang. Akibatnya, masyarakat jadi takut bersuara. Banyak yang memilih diam, bukan karena tak punya argumen, tapi karena tahu risikonya terlalu besar.

Tak sedikit kasus yang akhirnya berhenti begitu saja, mandek di ruang mediasi atau di meja pengadilan. Bukan karena kurang bukti atau argumen, tapi karena tekanan politik dan kekuatan modal terlalu dominan. Dalam situasi seperti ini, keadilan terasa makin jauh dari jangkauan rakyat kecil.

Supaya konflik agraria di Aceh tidak terus menjadi bom waktu, kita butuh pendekatan baru yang lebih adil, terbuka, dan benar-benar berpihak pada rakyat kecil. Selama ini, penyelesaian konflik terlalu birokratis, terlalu teknis, dan seringkali mengabaikan suara masyarakat yang paling terdampak. Padahal, kalau mau serius, ada beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh.

Pertama, negara, khususnya Pemerintah Aceh, harus segera mengesahkan Qanun tentang Masyarakat Adat yang sudah lama mandek. Tanpa pengakuan hukum, komunitas adat akan terus dianggap “tidak resmi”, padahal mereka sudah puluhan tahun menjaga dan mengelola tanahnya sendiri. Pengakuan ini penting, bukan cuma sebagai formalitas, tapi sebagai dasar perlindungan atas hak ulayat mereka.

Kedua, reforma agraria harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar program pencitraan. Ini bukan cuma soal bagi-bagi tanah, tapi soal merombak ketimpangan yang sudah lama mengakar. Masyarakat harus dilibatkan sejak awal mulai dari pemetaan lahan, verifikasi klaim, sampai distribusi. Tanpa partisipasi rakyat, reforma agraria hanya akan jadi proyek elitis.

Ketiga, semua izin perusahaan, terutama HGU dan konsesi, harus dibuka ke publik. Tidak boleh lagi ada izin yang dikeluarkan diam-diam tanpa konsultasi dengan warga. Perusahaan yang terbukti melanggar atau menelantarkan lahan harus dicabut izinnya. Dan lahan itu, seharusnya dikembalikan ke masyarakat, bukan malah dikasih ke perusahaan lain.

Keempat, masyarakat harus diberi bekal pengetahuan tentang hukum agraria dan hak-haknya sebagai warga negara. Banyak petani kalah bukan karena salah, tapi karena tidak tahu harus berbuat apa. Di sinilah pentingnya pendampingan dari pemerintah, LSM, dan para pegiat. Kalau masyarakat dibekali pengetahuan, mereka bisa lebih percaya diri memperjuangkan haknya.

Kelima, penyelesaian konflik agraria tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan kekerasan. Sudah terlalu banyak kasus pengosongan lahan yang berakhir dengan intimidasi dan trauma. Padahal, ada cara lain yang lebih manusiawi yakni lewat pendekatan keadilan restoratif. Musyawarah, dialog, dan penyelesaian berbasis nilai-nilai lokal harus dihidupkan kembali.

Dalam perspektif Islam, tanah bukan sekadar barang dagangan. Ia adalah amanah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” Artinya, siapa yang mengelola dan merawat tanah, dialah yang paling layak atas kepemilikan itu. Bukan orang yang punya uang atau koneksi ke pejabat, tapi mereka yang bekerja dan menjaga kehidupan dari tanah itu.

Aceh sebagai wilayah bersyariat seharusnya menjadikan prinsip keadilan sosial sebagai roh utama kebijakan agraria. Ketimpangan yang membiarkan segelintir orang menguasai ribuan hektare, sementara petani kecil tak punya sejengkal tanah pun, jelas bertentangan dengan semangat Islam itu sendiri. Ini bukan cuma soal hukum negara, tapi juga soal nurani.

Konflik agraria di Aceh adalah cermin bahwa pembangunan yang tak adil hanya akan melahirkan ketegangan baru. Di tengah jargon otonomi khusus dan syari’at Islam, kenyataannya rakyat kecil masih sering jadi korban. Mereka tidak butuh belas kasihan. Mereka hanya ingin tanah yang sudah mereka rawat sejak lama tidak dirampas begitu saja.

Sudah waktunya Aceh membangun model pembangunan yang berpihak yang melihat rakyat bukan sebagai beban, tapi sebagai fondasi utama. Menyelesaikan konflik agraria bukan sekadar urusan teknis, tapi soal keberanian moral: keberanian untuk berpihak, untuk mendengar suara yang kecil, dan untuk berdiri bersama mereka yang tak punya kuasa.

Karena kalau suara yang kecil terus dibiarkan dipinggirkan, maka keadilan hanya akan jadi mitos. Dan pembangunan, hanya akan jadi proyek segelintir orang.

Penulis: Fifi Desi Maharani, Mahasiswi Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas UIN Ar-Raniry Banda Aceh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here