Tak Mudah Menjadi Koruptor Kakap

koruptor kakap muhajir juli
Muhajir Juli. Foto: Dok. Pribadi.

Seorang teman cemburu melihat Harvey Moeis yang merupakan salah satu koruptor kakap di Indonesia. Ia cemburu melihat privilege yang dimiliki Harvey Moeis. Bagi sang teman, koruptor kakap yang mendapatkan vonis ringan tersebut, merupakan pria muda paling ideal.

Istri cantik, uang tak berseri, fasilitas wah, bahkan patut diduga tidak pernah melihat uang receh Rp1000. Bila ia merokok, pasti cerutu seharga satu jutaan rupiah per batang.

Sang teman hanya sebatas cemburu. Ia tidak dapat menjadi seperti Harvey Moeis dan kawan-kawan grup koruptor kakap. Sang teman hanya lulusan SD, menetap di udik, tak pernah berlibur di akhir tahun, dan ia belum pernah menginjakkan kaki ke Banda Aceh, ibukota Aceh.

Baca: Korupsilah Seperti Harvey Moeis, Supaya Hakim Membelamu

Sembari menyeruput kopi pancung di sebuah warkop, ia mengaku tak memiliki syarat yang cukup menjadi koruptor, konon lagi koruptor kakap.

Hari-harinya bekerja sebagai buruh tani. Meski tinggal di Aceh yang notabenenya negeri kaya raya dengan segala sumber daya alam, ia tetaplah warga kelas paria yang tidak memiliki lahan satu meter pun. Ia masih menumpang tinggal di rumah mertuanya yang dibangun dari papan-papan murah dari program rehabilitasi rumah warga miskin.

Sang teman sangat tergantung kepada toke-toke kecil. Bilamana tidak ada orang yang mengajaknya nguli, ia tidak memiliki pendapatan. Pernah suatu hari ia menangis sendirian di dapur karena tak memiliki uang. Hari itu dia terpaksa meliburkan anak-anaknya bersekolah.

Utangnya tidak sampai 300 ribu rupiah. Meski merasa utangnya besar, ia yakin, bila musim hujan berakhir, utang tersebut akan dapat dia lunaskan.

Ia tidak membenci hujan. Karena hujan adalah rahmat dari Tuhan. Hanya saja hujan yang terus-menerus membuat pekerjaan untuk dirinya tidak tersedia. Nguli menyemprot gulma di kebun orang membutuhkan sinar matahari yang cukup. Nguli olahan kayu di hutan, tidak bisa dilakukan di tengah musim hujan.

Dia sangat marah ketika membaca berita bahwa Harvey Moeis dipenjara enam tahun. Padahal kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh koruptor kakap itu mencapai 300 triliun rupiah. Meski marah, ia sekaligus cemburu kepada pria tersebut. Dalam usia yang belum mencapai 40 tahun, sudah mampu membuat negara rugi hingga 300 triliun rupiah. benar-benar koruptor kakap. Ia geleng-geleng kepala.

Ia teringat seorang temannya yang telah ditangkap karena mencuri televisi milik tetangga. Saat ini temannya telah mendekam di dalam penjara. Hukumannya beberapa tahun. Bahkan saat ayah sang teman meninggal dunia, pria itu tidak mendapatkan cuti pulang. Padahal tak ada kerugian negara. Meski meresahkan, si pencuri televisi tersebut hanya membuat sesama orang miskin sakit kepala.

Menjadi penjahat kelas teri, tidak akan mendapatkan pembelaan. Semakin kecil kejahatan, maka semakin banyak orang yang membicarakan dengan mimik penuh kebencian. Sedikit yang bersimpati. Karena pencuri kecil dianggap sampah masyarakat.

Saya menyimak kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut sang teman. Dia begitu bersemangat. Dia seolah-olah sedang berorasi di atas mimbar besar, di harapan ribuan pendengar. Tak sedikitpun ia memberi tempo saya menyela.

Setelah puas menyampaikan pendapatnya, ia berhenti. Menyeruput kopi yang telah dingin. That teuga ka kupeugah haba, kupi kabayeu le drokeuh, katanya sembari tertawa.

Saya tertawa. Kami tertawa dalam gelak yang penuh makna. Ada kelucuan yang tak berujung. Mungkin kalau si teman mendapatkan kesempatan stand up, ia akan semakin liar mengajukan uneg-unegnya.

Teman yang lain, sedari tadi hanya mendengar, kemudian menyelutuk. Bahwa orang-orang seperti mereka tidak cukup syarat menjadi koruptor kakap. Mereka hanya lulusan SD, tidak mengenal banyak orang besar, tidak dikenal oleh orang besar. Bahkan untuk menjadi pejabat desa saja tidak memenuhi syarat.

“Kita tidak memenuhi syarat menjadi koruptor. Dalam segala hal kita bukan siapa-siapa. Untuk menjadi koruptor besar seperti Harvey Moeis, kamu dan aku tak punya kesempatan. Kecuali si Muhajir, mungkin ada,” kata teman satunya lagi sembari tertawa. Kami kembali tergelak.

Karena mulai “di-roasting” saya pun memberikan argumen. Siapa saja bisa menjadi koruptor kelas kakap. Tapi prosesnya tidak mudah. Seseorang yang ingin menjadi penjahat dia harus memiliki keahlian, “integritas”, dan tekad yang kuat.

Harvey Moeis dan orang-orang yang serupa dengannya, tidak serta merta dapat menjadi koruptor. Butuh waktu, dedikasi, dan alokasi. Alokasi baru didapatkan bila sudah mencapai waktu yang dibutuhkan.

“Seseorang yang kita kenal sebagai koruptor besar, haruslah memiliki kepercayaan di lingkungannya. Setidaknya di menjadi sosok yang dapat dipercaya di komunitasnya. Tak mungkin seseorang bisa melakukan kejahatan besar bila tidak mendapatkan kepercayaan dari orang-orang di sekelilingnya.”

Mereka tertegun. “Kalian juga dapat menjadi koruptor, bahkan koruptor kakap. Tapi syaratnya bertambah, harus ada situasi tertentu. Misalnya perang, bencana, atau lainnya. Harus ada kondisi extra ordinary.”

Saya menutup percakapan itu dengan mengatakan,”Korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Korupsi bukan pekerjaan mulia. Korupsi sangat buruk. Bisa menyebabkan banyak orang lain celaka.

“Kita semua berpeluang menjadi orang kaya. Syarat utama perbaiki salat. Syarat kedua tingkatkan skill, syarat ketiga perbanyak doa. Syarat keempat, berterima kasih atas apa yang telah kita capai.”

“Syarat kelima?” tanya mereka barengan.

“Tunggu keajaiban.” Kami kembali tergelak.

Artikel SebelumnyaHukum Qashar dan Jamak Salat Dalam Perjalanan Liburan Akhir Tahun
Artikel SelanjutnyaJokowi Masuk Finalis Tokoh Terkorup Versi OCCRP
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

1 COMMENT

  1. Kata “berpeluang” adalah maybe yes, maybe no. bukan keajaiban. tapi takdir Allah. klo Allah bilang jadi kaya, ya kaya. klo nggak takdir? mau sekeras apapun, namanya sudah takdir nggak bisa dielak. nggak perlu berdoa jadi kaya. berdoa berkecukupan. karena untuk ibadah yang khusy’uk, enak, tenang itu harus berkecukupan. sama halnya dengan ibadah di mesjid yang lengkap fasilitas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here