Komparatif.ID, Jakarta— Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Dapil Aceh II, Ir. TA Khalid MM, mengkritik sikap PDI Perjuangan yang dinilai menunjukkan inkonsistensi terkait kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Ia mengatakan kenaikan tersebut telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2025.
TA Khalid menyebut langkah pemerintah Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan kebijakan ini hanyalah melaksanakan mandat undang-undang yang telah disepakati sebelumnya.
Namun, PDI Perjuangan justru mengkritik implementasi kebijakan tersebut, yang oleh TA Khalid dianggap sebagai upaya mencari simpati publik dengan mencitrakan diri sebagai pembela rakyat.
Menurutnya, langkah ini menunjukkan kemunafikan politik. Sikap PDI Perjuangan yang kini menentang kenaikan PPN dianggap bertolak belakang dengan peran mereka sebagai inisiator utama lahirnya UU HPP.
Bahkan, dalam proses pembahasan undang-undang tersebut, PDI Perjuangan melalui anggotanya, Dolfie Othniel, yang juga Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, memimpin panitia kerja (Panja) pembahasan RUU HPP.
Baca juga: PPN 12 Persen Tetap Mulai Berlaku 1 Januari 2025
TA Khalid juga menyoroti dominasi PDI Perjuangan di parlemen dan pemerintahan selama periode 2019-2024, yang mempermudah pengesahan RUU HPP menjadi undang-undang. Dengan 128 kursi di DPR, posisi Ketua DPR yang dipegang Puan Maharani, serta Presiden Joko Widodo sebagai kader PDI Perjuangan, tidak ada hambatan berarti dalam proses legislasi ini.
Dalam risalah sidang, Fraksi PDI Perjuangan bahkan menekankan pentingnya penguatan sistem perpajakan untuk menciptakan APBN yang lebih mandiri dan tahan terhadap krisis, terutama pasca-pandemi Covid-19.
Ketika pengesahan UU HPP dilakukan pada Oktober 2021 lalu, hampir seluruh fraksi di DPR RI, kecuali PKS, menyetujui langkah ini. Dalam pidatonya, Ketua Panja Dolfie Othniel menegaskan undang-undang ini mengatur kenaikan tarif PPN secara bertahap, yaitu 11 persen pada 2022 dan 12 persen pada 2025.
Menurutnya, PDI Perjuangan sedang memanfaatkan isu ini untuk mendiskreditkan pemerintahan Prabowo. Padahal, kebijakan kenaikan PPN oleh pemerintah telah disusun dengan mempertimbangkan dampaknya.
Pemerintah memastikan tarif baru ini hanya berlaku untuk barang mewah dan kategori premium, sehingga tidak membebani masyarakat bawah. TA Khalid mengatakan Prabowo juga menjalankan kebijakan ini dengan hati-hati sebagai wujud komitmennya terhadap pelaksanaan undang-undang.
TA Khalid mengatakan seharusnya PDI Perjuangan memberikan apresiasi atas keberlanjutan kebijakan ekonomi yang telah dirancang selama 10 tahun pemerintahan mereka. Keputusan Prabowo untuk tidak merombak kebijakan tersebut menunjukkan penghormatan terhadap keberlanjutan pemerintahan.
Lebih jauh, TA Khalid menekankan Prabowo selalu berupaya menjaga hubungan baik dengan PDI Perjuangan dan Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri, bahkan dalam situasi politik yang kompleks.
Gerindra, misalnya, telah menjadi garda terdepan dalam menolak revisi UU MD3 agar Puan Maharani tetap memegang posisi Ketua DPR RI.
Selain itu, TA Khalid menuturkan Gerindra juga mendukung implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait threshold pencalonan kepala daerah, yang memungkinkan PDI Perjuangan mengajukan kandidat di wilayah-wilayah strategis pada Pilkada Serentak 2024.
TA Khalid mengingatkan langkah politik yang sarat drama dan gimik seperti yang dilakukan PDI Perjuangan dapat merusak harmoni politik antara Prabowo dan Megawati.
Ia mengimbau agar partai berlambang banteng ini berhenti memanfaatkan isu kenaikan PPN sebagai alat politik, karena upaya tersebut hanya akan memperkeruh suasana di tengah tahun politik yang sudah penuh tantangan.