Susahnya Menjadi Dokter Spesialis di Indonesia

calon dokter spesialis
Tidak mudah menjadi dokter spesialis di Indonesia. Setiap kali dokter muda hendak melanjutkan pendidikan, harus mendaftar ke fakultas kedokteran, membayar sumbangan sukarela dalam jumlah fantastis, bayar SPP, kerja full time, dan tidak digaji. Ilustrasi by dr. Erta.

Untuk jadi dokter spesialis di Indonesia, seorang dokter harus melamar ke fakultas kedokteran, bukan ke rumah sakit. Kalau diterima, siap-siap rogoh kocek dalam-dalam. Kadang harus setor “sumbangan sukarela” yang nilainya cukup untuk beli mobil mewah baru, tetap bayar SPP setiap semester, tidak digaji, dan bekerja full time.

Dalam riuhnya percakapan tentang kesehatan, ada satu fakta yang tak bisa dibantah: kualitas layanan kesehatan adalah cerminan kemajuan suatu bangsa. Bukan cuma soal siapa yang punya MRI paling mahal atau IGD paling wangi. Tapi tentang siapa yang sembuh, siapa yang dididik, dan siapa yang terus meneliti. Nah, kalau kita berkaca ke Indonesia, kadang pantulan di cermin itu bikin kita nyengir kaku. Antrean panjang, fasilitas seada-adanya, dan kalimat sakral “mending ke luar negeri” sudah jadi bagian dari budaya pop.

Kalau mau jujur, “berobat ke luar negeri” itu bukan gaya-gayaan. Tapi bukti bahwa masyarakat sudah kehilangan harapan pada sistem dalam negeri. Kita bukan kekurangan dokter spesialis pintar, tapi kekurangan sistem yang mendukung mereka berkembang. Yang dibutuhkan bukan tambahan bangunan rumah sakit, tapi revolusi dalam cara kita mencetak dan memanfaatkan sumber daya manusianya. Kalau kita cuma menambah gedung tapi SDM-nya tetap ngos-ngosan, itu namanya bangun hotel, bukan rumah sakit.

Baca: Orang Miskin Dilarang Jadi Dokter?

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari lima rumah sakit terbaik dunia? Banyak. Dan bukan cuma tentang teknologi, tapi tentang filosofi mereka. Rumah sakit itu bukan pabrik pelayanan, tapi pusat kehidupan akademik, riset, dan pembentukan karakter dokter. Dari Mayo Clinic, Cleveland Clinic, Toronto General Hospital, The Johns Hopkins Hospital, hingga Massachusetts General Hospital—semuanya sepakat: pelayanan terbaik itu lahir dari pendidikan terbaik.

Mayo Clinic misalnya, itu rumah sakit, bukan toko mayones. Di sini, pasien adalah pusat dari semua aktivitas. Para dokter, perawat, peneliti, sampai cleaning service—semua paham bahwa kesembuhan pasien bukan hasil dari satu orang pintar, tapi kerja tim yang solid dan sistem yang mendukung. Dan ya, residensinya super kompetitif. Tapi jangan salah, ini hospital-based residency. Calon dokter spesialis melamar ke rumah sakitnya, bukan ke fakultas kedokteran. Kalau diterima, calon dokter spesialis  digaji, dibimbing, dan dijaga kesejahteraannya.

Begitu juga di Cleveland Clinic. Jantung Anda bermasalah? Ke sini. Klinik ini kayak bengkel resminya organ kardiovaskular. Sistemnya efisien, inovatif, dan program pendidikannya sekelas Avengers: selektif, ketat, dan penuh tantangan. Sama seperti Mayo, ini juga hospital-based residency. Pelamar dipilih berdasarkan kompetensi, bukan kemampuan setor uang muka.

Toronto General Hospital di Kanada juga tidak kalah mentereng. Mereka tidak hanya unggul dalam transplantasi organ, tapi juga dalam mencetak dokter-dokter brilian. Dan ya, hospital-based juga. Sistem mereka memungkinkan residen berkembang lewat bimbingan langsung dari para konsultan, sambil digaji oleh negara. Negara loh, bukan orang tua.

Lalu ada The Johns Hopkins Hospital. Nama ini kalau disebut di dunia kedokteran tuh kayak nyebut Einstein di dunia fisika. Mereka punya sistem pendidikan yang membentuk dokter jadi ilmuwan dan praktisi dalam waktu yang sama. Residen bukan cuma kerja, tapi juga mikir. Bukan cuma disuruh, tapi juga diajak diskusi. Dan tentu saja, mereka digaji. Karena ya masa iya, kerja 24 jam, tanggung nyawa orang, tapi malah disuruh bayar?

Massachusetts General Hospital, yang biasa dipanggil Mass General, adalah rumah sakit dengan sejarah panjang dan afiliasi langsung ke Harvard. Tapi jangan kira jadi residen di sini harus daftar ke fakultas. Enggak, mereka tetap melamar langsung ke program residen di rumah sakit. Ini bukan sekolah teori, ini medan pertempuran medis. Mereka belajar dengan cara menyembuhkan, bukan cuma dengan membaca diktat.

Yang menarik, empat dari lima rumah sakit tadi adalah rumah sakit swasta nirlaba. Tapi jangan salah paham. Swasta di sini bukan berarti jualan vitamin sambil menunggu pasien. Mereka digerakkan oleh sistem yang transparan, audit yang ketat, dan misi pelayanan serta pendidikan yang jelas. Mereka tidak berpikir “berapa yang kita hasilkan dari pasien”, tapi “berapa banyak yang bisa sembuh, belajar, dan meneliti”.

Dan satu lagi: kelima rumah sakit itu adalah teaching hospital. Artinya, mereka punya tanggung jawab untuk mendidik dokter-dokter spesialis baru. Ini bukan pilihan, tapi DNA mereka. Tanpa fungsi pendidikan, mereka tahu kualitas layanan akan menurun. Karena dokter yang tidak terus belajar adalah dokter yang pelan-pelan berubah jadi mesin penulis resep.

Bandingkan dengan sistem kita. Di Indonesia, untuk jadi dokter spesialis, seorang dokter harus melamar ke fakultas kedokteran, bukan ke rumah sakit. Kalau diterima, siap-siap rogoh kocek dalam-dalam. Kadang harus setor “sumbangan sukarela” (yang nilainya cukup untuk beli mobil mewah baru), tetap bayar SPP setiap semester, dan tidak digaji. Iya, Anda tidak salah baca. Sudah bayar masuk, bayar SPP, lalu bekerja full time di rumah sakit, tanpa dibayar.

Jadi kalau di negara maju, calon dokter spesialis itu diseleksi ketat, digaji, dan dibimbing profesional, di sini malah disaring lewat kemampuan setor, tidak digaji, tapi diminta kerja layaknya pegawai tetap. Ini bukan sistem pendidikan, ini nyaris seperti magang paksa plus utang. Residen jadi mesin pelayanan yang dibayar dengan… harapan.

Sementara itu, rumah sakit-rumah sakit swasta berkualitas di Indonesia cuma bisa melongo dari kejauhan. Potensinya ada, fasilitasnya lengkap, pasiennya banyak. Tapi karena status bukan rumah sakit pendidikan, mereka tidak bisa mendidik residen. Dan karena tidak mendidik, mereka tidak bisa menciptakan regenerasi dokter spesialis dari dalam.

Ini bisa diperbaiki, tentu. Tapi kita butuh keberanian sistemik. Pemerintah harus keluar dari pola pikir “yang bisa mendidik hanya rumah sakit negeri”. Harus ada standar nasional yang memungkinkan rumah sakit swasta berkualitas ikut serta dalam pendidikan spesialis. Asalkan memenuhi syarat, berikan izin. Dan yang lebih penting: berikan dukungan.

Dukungan itu bisa berbentuk pembiayaan gaji residen, hibah alat pendidikan, atau insentif riset. Di negara maju, hal ini bukan dianggap sebagai beban APBN, tapi investasi jangka panjang. Karena kalau pendidikan dokter spesialis berkembang, pelayanan akan membaik, dan masyarakat tidak perlu antre 6 bulan untuk endoskopi.

Kita juga perlu sistem seleksi yang adil dan transparan. Supaya dokter muda terbaik dari seluruh pelosok bisa punya peluang yang sama menjadi dokter spesialis, tanpa harus menjual sawah keluarga buat bayar “sumbangan sukarela”. Kalau kita ingin pelayanan kesehatan yang adil, kita harus mulai dari sistem pendidikan yang adil.

Bayangkan jika rumah sakit-rumah sakit swasta unggulan kita bisa mendidik residen. Akan ada ribuan dokter spesialis baru yang tersebar di seluruh Indonesia. Kualitas pelayanan meningkat, inovasi medis tumbuh, dan pasien tidak perlu pasrah karena dokter spesialis “cuma ada hari Selasa, itupun kalau nggak cuti”.

Jadi mari belajar dari yang terbaik. Lima rumah sakit kelas dunia tadi tidak sukses karena keberuntungan atau karena punya bos tajir. Mereka sukses karena punya sistem yang adil, kolaboratif, dan berpihak pada pendidikan. Indonesia bisa sampai ke sana—asal kita siap berubah, dan mau membuang sistem lama yang sudah lama tak relevan.

Karena pada akhirnya, pasien tak peduli siapa pemilik rumah sakitnya. Mereka hanya ingin sembuh. Dan dokter muda pun tak butuh sistem yang glamor. Mereka hanya ingin dihargai, dibimbing, dan diberi kesempatan untuk jadi hebat. Saat semua itu terjadi, baru kita bisa bilang: kita sudah belajar dari yang terbaik. Dan kita berhasil.

Penulis dr. Erta Priadi Wirawijaya, Sp.JP. Dokter Spesialis Jantung & Pembuluh Darah, pengalaman 15+ tahun. Tulisan ini pertama kali di unggah di Facebook-nya dengan judul Belajar dari 5 Rumah Sakit Terbaik Dunia: Jangan Cuma Kagum, Yuk Tiru Sistemnya!

1 COMMENT

  1. Buat saya, dokter yang nulis itu nggak napak tanah. rumah sakit yang ditulis oleh penulis tersebut adalah rumah sakit d amerika serikat. biaya rumah sakit di amerika bisa bikin orang pingsan seketika, ketika mendengar biaya berobat yang super mahal, jadi jangan heran klo nonton video dan baca-baca di internet klo orang amerika lebih milih berobat ke eropa karena biaya murah daripada berobat di negaranya sendiri atau bahkan lebih milih mati daripada punya hutang di rumah sakit karena nggak sanggup bayar.

    seharusnya perbandingannya ya misal indonesia dengan malaysia. lebih fair, dekat, sistemnya bagus. malah bandingin dengan amerika pula.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here