Komparatif.ID, Banda Aceh—Organisasi PGRI Aceh harus kembali dipimpin oleh guru. Sebagai organisasi profesi, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Aceh, tidak boleh terlalu lama kehilangan arah.
Ketua Forum Komunikasi Khusus Guru Aceh (FIKGA) Musriadi, M.Pd, Senin (20/1/2025) kepada Komparatif.ID mengatakan pada Konferensi PGRI Aceh yang akan berlangsung pada 24 Januari 2025, nakhoda lembaga tersebut harus dikembalikan kepada guru.
Sebagai seorang guru, Musriadi mengatakan, dirinya tidak hendak mencampuri Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PGRI, yang membuka ruang siapa saja dapat menjadi ketua. Ia melihat dari sisi efektivitas dan keberlanjutan organisasi tersebut.
“Dalam AD/ART PGRI memang tidak dibatasi. Siapa saja bisa menjadi ketua. Apakah ia guru, praktisi pendidikan, akademisi, bahkan pejabat dan politisi pun dibolehkan. Tapi sebagai organisasi profesi, sepertinya itu kurang elok,” sebutnya.
Secara sumber daya manusia, PGRI tidak kekurangan kader potensial. Terdapat banyak kepala sekolah yang memiliki jaringan luas dan juga memiliki daya nalar intelektual yang sangat mumpuni. Banyak di antara mereka merupakan pakar di bidang pendidikan. Mengetahui masalah dan potensi dari hulu ke hilir.
Baca juga: Guru SLB Bukesra Dapat Hadiah Umrah dari Disdik Aceh
Para kepala sekolah tersebut selama ini lahir dari proses panjang. mulai dari pendidikannya yang memang khusus keguruan dan kependidikan, meniti karir dari bawah sebagai guru mata pelajaran, hingga kemudian diberikan tugas tambahan di sekolah sebagai kepala sekolah. Bahkan banyak juga yang kemudian ditarik ke dinas pendidikan.
Ia menamsilkan, organisasi wartawan dipimpin oleh wartawan. Organisasi dokter dipimpin oleh dokter. Organisasi dosen dipimpin oleh dosen, organisasi perawat dipimpin oleh perawat.
Jadi aneh, profesi guru justru dipimpin oleh yang bukan guru. “Seharusnya bila bicara PGRI, Ketuanya juga dari kalangan guru. Tapi kan beberapa waktu ke belakang tidak demikian. PGRI dipimpin oleh non-guru,” katanya prihatin.
Kepala SD Negeri 25 Banda Aceh tersebut melanjutkan, sejak berdiri hingga saat ini, usia PGRI telah mencapai 79 tahun. Organisasi ini sudah sangat besar dan matang.
Oleh karena itu, PGRI Aceh harus dikembalikan ke khittahnya sebagai organisasi yang memperjuangkan kepentingan guru dan dunia pendidikan.
Sebagai organisasi profesi guru, PGRI tidak berstatus lembaga swadaya masyarakat. Meski organisasi lain terus bertumbuh setelah reformasi seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI), Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU), tapi eksistensi PGRI tetap diakui.
Uniknya lagi, semua organisasi profesi guru di luar PGRI, sejak didirikan hingga saat ini, ketuanya dipilih dari unsur guru. Baik di tingkat pusat hingga ke kabupaten/kota. Hanya PGRI yang justru “merantau terlalu jauh”, sehingga organisasi tersebut dipimpin oleh non guru.
Musriadi mengimbau kepada seluruh pengurus PGRI se-Aceh yang memiliki hak suara, supaya pada konferensi kali ini, memberikan suaranya kepada calon yang berasal dari guru.
“kita adalah guru. Mari pilih calon dari Kalangan guru. Ini profesi kita, kitalah yang harus berjuang menjaganya. Jangan lagi memilih Ketua PGRI Aceh dari kalangan non guru, karena mereka tak punya cukup waktu melakukan advokasi kepentingan guru dan dunia pendidikan,” sebutnya.
Ia juga berpesan, sudah cukuplah organisasi PGRI Aceh meuwet-wet hana meuhoe keu. “Organisasi ini tempat kita berhimpun dan berjuang. Banyak persoalan yang perlu diadvokasi. Ini tempat kita berjuang, bukan wahan bagi orang lain mencari popularitas,” imbuhnya.