Simalakama Etnis Rohingya; Tak Lari Berarti Mati

Camp Pramuka Seulawah Etnis Rohingya.
135 pengungsi Rohingya , Minggu malam (10/12/2023) dievakuasi ke Camp Pramuka Seulawah. Mereka mendarat di Pantai Lamreh,Aceh Besar, pada Minggu pagi pukul 05.30 WIB. Foto: Komparatif.Id/ Muhajir Juli.

Etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, merupakan minoritas yang terpinggirkan. Sejak pemberlakukan Undang-Undang Kependudukan Tahun 1982 etnis Rohingya tidak lagi diakui sebagai warga negara oleh Pemerintah Myanmar. Penyebab utama karena Rohingya dan komunitas Buddha di sana yang menjadi mayoritas berbeda dalam kebudayaan. Tapi hal yang pasti karena perbedaan keyakinan.

Sejak militer berhasil menggulingkan kekuasaan demokratis Aung San, ayah dari Aung San Suu Kyi pada tahun 1962, proyek politik birmaisasi dimulai. Pemerintah militer yang didominasi oleh etnis Birma, yang dipimpin oleh Ne Win, menggulingkan Aung San, demi mewujudkan cita-cita politiknya yang sangat rasis; tidak boleh ada etnis lain di Burma—nama negara kala itu—selain etnis Birma.

Pemerintah Myanmar dan militernya tidak mengakui keabsahan identitas Rohingya. Karena etnisitas dan masyarakat adat merupakan inti dari Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1982, masyarakat Rohingya secara rutin dicegah untuk mengakses hak kewarganegaraan.

Baca: Jumlah Pengungsi Rohingya di Aceh Mencapai 1.685 Orang

Masyarakat Rohingya juga mengalami pembatasan hak yang serius lainnya, termasuk pembatasan yang ketat terhadap kebebasan bergerak, akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, peluang mata pencaharian, dan kemampuan mereka untuk menikah dan memiliki anak.

Dalam laporan Amnesty Internasional, perlakuan buruk yang dilakukan Pemerintah Myanmar selama berpuluh-puluh tahun terhadap etnis Rohingya telah disorot oleh kelompok hak asasi manusia dan para akademisi. Amnesty International menggambarkan orang-orang Rohingya sebagai korban politik apartheid di Myanmar.

Etnis Rohingya Alami Genosida

Para peneliti di International State Crime Initiative –Inisiatif Kejahatan Negara Internasional– menganggap penganiayaan resmi terhadap orang-orang Rohingya memenuhi ambang batas yang dapat dianggap sebagai genosida. Deportasi paksa terhadap warga Rohingya pada tahun 2017 sedang dalam penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional. Dalam laporan International Criminal Court menyebutkan Negara Gambia di Afrika telah mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional yang menuduh Myanmar melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida dengan melakukan genosida terhadap Rohingya.

Pengusiran yang diperhalus dengan bahasa migrasi paksa terhadap etnis Rohingya pada tahun 2016 dan 2017 ke Bangladesh bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh Pemerintah dan militer Myanmar.

Operasi militer yang diklaim bertujuan untuk mengatasi imigrasi ilegal dan membasmi pemberontak pada tahun 1978 (Operasi Nagamin) Operasi Pyi Thaya tahun 1991-1992 menyebabkan ratusan ribu warga Rohingya mengungsi melintasi perbatasan ke Bangladesh pada setiap kesempatan.

Baca: Diusir dari Scout Camp, Rohingya Ditempatkan di Depan Pagar Kantor Gubernur

Ketegangan etnis dan agama antara penduduk Buddha di Rakhine (kebanyakan merupakan anggota kelompok etnis yang dikenal sebagai Rakhine) dan komunitas Muslim Rohingya sebagian besar tetap terkendali selama periode pemerintahan militer.

Namun, hal ini berubah ketika kebangkitan nasionalisme Buddha yang terdokumentasi dengan baik menyertai transisi Myanmar menuju pemerintahan kuasi-sipil setelah pemilu tahun 2010.

Meskipun ada bukti jelas meningkatnya ketegangan etnis dan agama di negara bagian Rakhine, pihak berwenang hanya melakukan sedikit persiapan untuk mencegah kekerasan selama tahun 2012. Kekerasan tersebut menyebabkan hampir 200 orang tewas dan sekitar 140.000 orang mengungsi, sebagian besar dari komunitas Rohingya.

Menurut catatan Human Right Watch yang dipublikasikan pada 31 Juli 2012, tindakan pihak berwenang Myanmar pada akhirnya adalah dengan memisahkan populasi Budha dan Muslim, sebuah strategi yang mencakup mengurung warga Rohingya di kamp pengungsian yang disebut sebagai kamp konsentrasi.

Andrea Pitzer dalam catatannya One Long Night: A Global History of Concentration Camps, 2017, menyebutkan kamp-kamp di Myanmar ini telah menjadi rumah permanen bagi sekitar 120.000 warga Rohingya yang awalnya mengungsi pada tahun 2012 dan kini dilarang keluar oleh penjaga bersenjata.

Dalam laporan Human Rights Watch: An Open Prison without End: Myanmars Mass Detention of Rohingya in Rakhine state, bertanggal 8 Oktober 2020, mengungkap temuan bahwa dengan berbagai pembatasan terhadap Etnis Rohingya, termasuk tidak diberikan akses pekerjaan,juga berkontribusi terhadap kepergian warga Rohingya dari Myanmar melalui jalur laut, dan menjadi migran maritim tidak resmi.

Salah satu negara tempat pelarian paling umum yaitu Bangladesh. Mengapa mereka menuju negara miskin tersebut? Karena operasi militer pada 2016 dan 2017 yang dilakukan secara besar-besaran, dengan menargetkan muslim Rohingya.

Mereka tidak memiliki pilihan selain mencari selamat ke Cox’z Bazar, Bangladesh, yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Kedua daerah tersebut berada di Teluk Bengal.

Saat ini jumlah pengungsi Rohingya telah melebihi satu juta jiwa di pengungsian terbesar di dunia. Dengan segala keterbatasan, mereka memilih hidup di sana, karena tak berani kembali pulang ke Rakhine.

Nurul Amin (40) pengungsi di Cox’s Bazar lari dari kampung halamannya di Rakhine, karena trauma setelah ayah, suadara laki-laki, saudara perempuan, dan seorang keponakannya dibantai oleh tentara dan ekstrimis non Islam yang didukung pemerintah. Keluarga Nurul Amin dibantai.

“Saya tidak berani lagi pulang ke sana. Tak lari berarti mati, karena mereka membenci etnis Rohingya, bersebab kami Muslim,” kata laki-laki itu kepada Norwegian Refugees Council.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here