Sersan Wakidin merupakan seorang pemberani. Dia berhasil membongkar rahasia hantu Aceh yang telah meneror seluruh penghuni benteng yang dibangun tidak jauh dari Kutaraja. Kisah tentang keberanian Sersan Wakidin diabadikan dalam buku Tjerita-Tjerita dari Negeri Atjee, yang diceritakan Letnan J.P. Schoemaker,dan disalin oleh Letnan H. AARS. Buku tersebut diterbitkan oleh G. Kolff & Co di Batavia, 1891.
Letnan J.P Choemaker mengisahkan, pada suatu ketika seluruh penghuni benteng yang dibangun tidak jauh dari Kutaraja dilanda ketakutan. Mereka gentar karena seringnya melihat hantu di dekat benteng bila malam telah beranjak ke pukul 00.00 dinihari.
Benteng tempat Sersan Wakidin bertugas bersama marsose—tentara pribumi asal Jawa dan Maluku—lainnya, merupakan sebuah objek pertahanan yang dikelilingi rawa. Nyamuk merupakan binatang paling banyak di sana. Banyak serdadu yang jatuh sakit akibat digigit nyamuk.
Baca: Belanda Akui Aceh Bangsa Besar
Untuk menuju benteng tersebut, para serdadu harus melalui satu-satunya jalan, dan wajib melintasi sebuah hutan besar. Setelah keluar dari hutan, serdadu akan bertemu dengan sebuah galangan. Di depan galangan terdapat sebuah kebun tebu yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Setelah melewati kebun tebu barulah sampai di benteng.
J.P Schoemaker tidak menyebut nama tempat. Dia hanya menggambarkan kondisi wilayah saja. Berawa-rawa merupakan khasnya Kutaraja yang memang berada di teluk, dengan pantai karang yang tidak ramah untuk mandi.
Di depan benteng tersebut terdapat 20 serdadu bersenjata api. Tidak ada perbedaan bentuk dengan benteng-benteng lain. Kecuali penghuninya yang kurus dan sakit-sakitan. Di dekat benteng terdapat sebuah kuburan kecil. Kekuatan benteng itu yaitu dua opsir, dan seratusan serdadu.
Tidak mudah keluar-masuk benteng. Selalu saja terdapat pejuang Aceh yang menyerang. Mereka rata-rata sangat berani, tidak takut mati. Meski bersenjata ala kadar, nyali mereka sangatlah besar.
Pada suatu malam, tepat pukul 00.00, sejumlah penjaga benteng (sekilwak) di utara (lor) melihat sesosok berjubah putih di dekat kuburan. Dia buru-buru melaporkan kepada littenan. Sang littenan tidak percaya. Sosok berjubah putih yang dilihat oleh sekilwak mungkin saja onggokan kayu. Tapi si sekilwak tetap yakin bila yang dilihatnya adalah hantu.
Empat malam berturut-turut hantu itu menampakkan diri tepat pukul 12 malam. Seluruh sekilwak yang bertugas melihatnya secara bergantian. Ketakutan melanda seluruh tangsi yang umumnya merupakan serdadu Jawa.
Sang komandan memerintahkan pengintaian. Akan tetapi sepanjang pengintaian selama tiga malam, hantu itu tidak muncul. Penjagaan ditambah di pos-pos bastion. Ditambah pula pelor kembang api. Seluruh sekilwak mengintip dari balik bastion. Hantu Aceh muncul lagi, tapi belum sempat serdadu melakukan rencana, hantu Aceh itu hilang lagi.
Di tengah ketakutan yang melanda seluruh penghuni tangsi, Sersan Wakidin mengajukan diri melakukan pemeriksaan.Di dekat lokasi benteng ada rumah Aceh. Sersan Wakidin hendak mengintai rumah itu. Dia minta izin keluar benteng selama 24 jam. Izin diberikan.
Sersan Wakidin Mengendap di Kolong Rumah Aceh
Pukul enam sore, seluruh serdadu kembali ke dalam benteng. Pintu gerbang ditutup pada jam tersebut.
Tapi Sersan Wakidin tidak masuk ke dalam benteng. Dia mengendap di semak-semak hingga pukul 19 sore, tatkala peralihan antara hari dan malam, dia keluar dari tempat mengendap.
Dengan membawa pistol dan keris, dia masuk ke dalam hutan. Sersan Jawa itu memang pemberani. Dia tidak takut kepada Pontianak ataupun hantu-hantu lainnya. Sembari mengendap-endap, dia mencapai tepian hutan.
Baca: Mukim Lamteuba, Sejarah dan Kebudayaannya
Satu jam kemudian dia berhasil mendekati permukiman kecil di tengah hutan yang dihuni oleh pejuang Aceh. Rumah-rumah Aceh seluruhnya dibangun tinggi. Menggunakan tiang-tiang tinggu untuk menghindari banjir. Juga menghindar dari serangan binatang buas.
Dengan teknik militer yang telah lama dipelajari, Sersan Wakidin berhasil bersembunyi di bawah sebuah rumah Aceh yang dijaga oleh pengawal.
Dia bersembunyi di bawah dedaunan kering. Tidak lama kemudian tiba 30 orang Aceh. Satu persatu naik ke atas rumah. Seluruhnya bersenjata. Dua orang duduk di dekat pagar; mereka berjaga-jaga.
Lantai rumah itu berupa bambu yang dipasang tidak begitu rapat. Wakidin dapat mengintip dari bawah. Dia melihat, di tengah orang yang sedang berkumpul itu, seorang lelaki berpakaian putih. Pria itu memakai sorban. Di pingganggnya disangkuitkan klewang bersepuh emas dan intan. Pria itu juga menyandang kiestol di pinggang.
Pria itu memegang tasbih dan Quran. Usianya kira-kira 40 tahun. Wajahnya kuning langsat dan berbrewok; seperti orang Arab.
Mereka membahas sesuatu. Kemudian melaksanakan salat berjamaah. Selanjutnya berzikir.
Wakidin tidak bisa lebih lama di sana. Para gerilyawan Aceh sudah dalam kondisi terlecut semangatnya. Mereka akan melakukan penyerangan.
Wakidin pun beranjak dari sana sembari mengendal-endap. Dia harus secepatnya sampai ke benteng, melaporkan apa yang baru saja dia lihat dan dengar.
Bersambung.
Artikel ini tidak diperkenankan dikutip dalam bentuk apa pun sebelum tanggal 29 Februari 2024.