Seniman dan Nilai Sebuah Karya Seni

Moritza Thaher, menyebut ada beberapa alasan seniman berkarya.
Moritza Thaher, menyebut ada beberapa alasan seniman berkarya.

Seniman berkarya dilatarbelakangi oleh ragam alasan. Ada yang untuk mencari sesuao nasi, ada pula untuk apresiasi. Nilainya tentu beda.

HAMPIR tiga minggu lalu, seorang teman yang pelukis—seniman lukis– Nourman, minta pendapat saya untuk lukisan temannya, Zul MS, yang mereka nilai dikembalikan dalam keadaan tidak baik-baik saja oleh penyelenggara lomba lukis, Erlangga.

Baca juga: Made in Made Akan Live Concert Reggae di Banda Aceh

Via WA Saya mengirim pendapat dalam sebait puisi:

𝘚𝘦𝘯𝘪𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘳𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘱 𝘯𝘢𝘴𝘪? 𝘉𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘪𝘵𝘶.

𝘜𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘥𝘪𝘢𝘱𝘳𝘦𝘴𝘪𝘢𝘴𝘪? 𝘛𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘪𝘵𝘶.

𝘈𝘴𝘢𝘭 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘪𝘤𝘢𝘤𝘪, 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘯𝘨𝘨𝘰𝘭 𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘥𝘪𝘳𝘪,

𝘚𝘦𝘯𝘪𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘪𝘬-𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘴𝘢𝘫𝘢.

𝘔𝘰𝘳𝘪𝘵𝘻𝘢 𝘛𝘩𝘢𝘩𝘦𝘳, 𝘮𝘶𝘴𝘪𝘴𝘪.

Tapi yang sering terjadi, seniman tidak baik-baik saja.

Kenapa?

Apakah karena seniman makhluk naif?

Oh, tentu bukan!

Lihat saja 𝘮𝘰𝘥𝘦𝘳𝘯 𝘮𝘢𝘴𝘵𝘦𝘳 Indonesia seperti pelukis Mahdi Abdullah, Said Akram, Ahmad Sadali, Mochtar Apin, Umi Dachlan, Popo Iskandar hingga pelukis Indonesia dari masa lalu; Affandi, Basuki Abdullah dan tak terhitung nama besar lainnya.

Semua mereka memperlakukan karya-karyanya layaknya anak kandung.

Maka tidak heran, bila ada yang ingin mengadopsi lukisan itu, para calon pemilik baru berlomba menaikkan sendiri harga lelang agar ‘hak asuh’ lukisan jatuh padanya.

Lukisan Minum Tuak karya Affandi pernah terjual sekitar Rp 4,26 miliar pada  acara “Asian 20th Century & Contemporary Art 2013” silam di Hong Kong. Sedangkan lukisan karya Leonardo da Vinci berjudul Salvator Mundi dibeli Mohammed bin Salman di New York seharga 6,6 triliun pada 2016. Kedua lelang tadi diselenggarakan balai lelang Christie’s.

Jelas yang ingin disampaikan pemilik baru lukisan-lukisan tadi adalah, “Kami mengapresiasi lukisan karyamu melebihi biaya membesarkan anak kandung kami sendiri.”

Maka ketika lukisan dijual dengan harga sesuap nasi, dia bukan lagi karya seni, itu barang dagangan biasa.

Mengirimkan lukisan asli untuk lomba menggambar itu lebih gila lagi!

Bayangkan kalau ribuan karya anak-anak minta dikirim kembali setelah Pak Tino Sidin memamerkan di TVRI dalam acara ‘Ayo Menggambar’ setiap minggu selama bertahun-tahun pada era 80-an, tentu Pak Tino akan ragu memberi komentar: baguuuss, baguuuss.

Lebih baik, jika tidak ada perjanjian lukisan dikembalikan dalam keadaan utuh setelah acara, saran saya hindari lomba tersebut. Itu lebih buruk dari pada menjualnya dengan harga sesuap nasi.

Sepanjang seniman tidak dicaci pribadinya dan tidak tersenggol harga dirinya, semua orang bebas menilai karyanya. Pun bila ada orang membeli dengan niat karya itu untuk ditaruh di kolong tempat tidur, mereka juga berhak.

Tulisan ini bukan bentuk kecaman dan bukan bentuk kekecewaan saya. Tulisan ini hanya pengingat, terutama untuk saya sendiri untuk tetap santun dalam bersikap dan bertutur.

Asal tidak dicaci, menyenggol harga diri, seniman akan baik-baik saja. Demikian juga semua orang, akan baik-baik saja.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here