Sejumlah Pengamat Ekonomi Tak Adil Terhadap Qanun LKS

Pengamat Ekonomi
Amal Hasan. Foto. Dok. pribadi.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Sejumlah pengamat ekonomi tidak bersikap adil terhadap Qanun LKS. Meskipun data yang disajikan merupakan statistik resmi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), tapi masih ada hal yang tidak disampaikan ke publik, mengapa ekonomi Aceh tumbuh tidak mengembirakan selama ini.

Amal Hasan,S.E, yang merupakan mantan Direktur Bank Aceh Syariah, Sabtu (17/6/2023) kepada Komparatif.ID, menyebutkan Aceh sudah sangat lama dibekap oleh masalah ekonomi. Kemiskinan yang banyak, minimnya permodalan, serta banyaknya jumlah pengangguran.

Kondisi tersebut sudah ada jauh sebelum pemberlakuan Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS).

Baca: 83 Ribu KK Petani Pinang di Aceh Terancam

Masalah utamanya Aceh hanya memiliki satu sumber utama keuangan, yaitu anggaran pemerintah, yang merupakan tranfer dari Pemerintah Pusat. Persoalannya, anggaran pemerintah secara persentase lebih besar untuk operasional pemerintah itu sendiri yaitu gaji dan hal-hal lain yang berkaitan dengan administrasi.

Anggaran pemerintah yang berbentuk belanja langsung, meski diperuntukkan untuk rakyat, tapi lebih dari 60 persen dibelanjakan ke luar daerah. Minimal dihabiskan ke Sumatera Utara. Mayoritas untuk belanja kebutuhan material pembangunan fisik seperti besi, semen, makanan pokok, dan sandang.

“Dana sisa [belanja langsung] tidak melahirkan multiplier effect di Aceh. Bila dana itu bergulir di tempat kita, akan terjadi multiplier effect sampai enam kali. Tapi karena hanya singgah saja, maka dampak ganda ekonomi didapatkan oleh Sumut,” terang Amal Hasan.

Sementara itu Aceh tidak memiliki industri hilir. Sumber daya alam yang ada di Serambi Mekkah hampir seluruhnya merupakan bahan baku yang dibawa keluar untuk diproduksi menjadi berbagai macam barang setengah jadi dan barang jadi. Barang-barang itu sebagian dijual kembali ke Aceh, dan sebagian lagi dijual ke daerah lain. Bahkan ke luar negeri.

Di sisi lain, bilapun ada usaha-usaha seperti peternakan ayam pedaging, mayoritas orang Aceh merupakan mitra yang selalu mendapatkan keuntungan paling kecil. Meski harus menyediakan tanah dan kandang sendiri, tapi sistem bagi hasil dengan perusahaan pemilik bisnis ayam pedaging tidak fair. Keuntungan untuk “buruh ternak” sangat tidak ideal.

Aceh memiliki Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang, tapi tidak memberikan dampak positif untuk Aceh. Kehadiran kawasan itu seperti macan ompong, ada tapi sebatas pengembira suaka marga satwa. Meskipun usianya sudah 20 tahun lebih, tapi belum juga mampu menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Aceh.Terlalu banyak peraturan pemerintah yang membuat Pelabuhan Bebas Sabang sekadar ada di dalam dokumen, tapi tak memiliki aktivitas ekonomi.

Menurut Amal Hasan, fakta-fakta tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan para pengamat ekonomi di Aceh dalam menyusun bahan kajian mereka. Sandaran para pengamat ekonomi hanya sebatas angka statistik yang diterbitkan BPS.

“Kalau pengamat ekonomi sekadar menghitung berdasarkan data statistik [BPS] maka tidak akan terlihat apa penyebab yang sebenarnya sehingga ekonomi Aceh tak maju. Apakah pertumbuhan ekonomi Aceh yang lemah akibat lahirnya Qanun LKS? Bukan! Dari dulu masalah kita sama, miskin, minim investasi, tidak ada industri hilir, yang menyebabkan tingginya angka pengangguran,” sebut Amal Hasan.

Ia mengkritisi pendapat pengamat ekonomi perihal perbankan syariah yang diklaim tidak mampu menyediakan modal kerja untuk masyarakat. Menurut Amal Hasan, perbankan jenis apa pun, tidak serta merta dapat memberikan bantuan modal usaha. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya perbankan dapat memenuhi keinginan pengaju modal usaha.

Masalahnya, di Aceh, meski jumlah UMKM mencapai 38 ribu, tapi tidak ada cluster-isasi Bahkan tidak ada data valid tentang UMKM tersebut. Pemberdayaan UMKM selama ini sekadar berorientasi pada program pemerintah, tidak berdasarkan kebutuhan pasar.

“Harusnya ada pembinaan serius. UMKM harus dikelompokkan dalam tiga jenis. Hyper mikro, menengah, dan yang sudah bankable. Sekarang ini, baru ada ide sudah mengajukan permohonan pembiayaan kepada perbankan. Bank mana yang akan bersedia membiayainya? Tidak ada. Akhirnya, karena ditolak, marah-marah kepada bank. Bank mana yang berani ambil risiko membiayai usaha yang baru dibentuk? Bank mana yang berani membiaya usaha yang belum berjalan dengan baik? Bank apa yang akan membiayai usaha yang bisninya tidak punya prospek cemerlang? Bank itu mengelola dana masyarakat, bukan mengelola dana hibah,” terang Amal Hasan.

Perihal adanya 40.000 pelajar di Aceh yang masih menggunakan rekening bank konvensional yang berakntor di Sumut, untuk menampung beasiswa PIP, menurut Amal Hasan, seharusnya tidak perlu terjadi, andaikan pemerintah mau menempuh diskresi. Untuk Aceh dana PIP harus dimasukkan dalam rekening bank syariah, karena tiak ada bank himbara.

Sayangnya, tidak ada yang membangun komunikasi dengan Pemerintah Pusat, sehingga timbul image negatif seolah-olah penyebab 40.000 pelajar harus ke Sumut tiap kali mengambil beasiswa, akibat dari kesalahan Qanun LKS.

Ia juga mengambil contoh lain. Bahwa kemiskinan di Aceh masih terlihat sangat banyak karena data utama yang digunakan yaitu jumlah penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Berapa banyak di antara mereka yang sebenarnya tidak masuk kategori miskin, tapi mendapatkan bantuan PKH? Seperti apa pendataan awal calon penerima PKH di Aceh yang berjumlah 203.806 orang? Apakah datanya sudah di-screening ulang?

“Saya kira terlalu berlebihan bila pengamat ekonomi menimpakan semua persoalan ekonomi kepada Qanun LKS. Seakan-akan qanun tersebut yang menyebabkan Aceh terpuruk. Padahal masalah tak kunjung bangkitnya ekonomi Aceh sudah menjadi persoalan serius jauh sebelum qanun tersebut lahir,” kata pria kelahiran Aceh Jaya tersebut.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here