Sejarah Kebudayaan Aceh: Dari Catatan ke Catatan

Aceh Salem City, kebudayaan aceh
Figure Kota Salem berupa seorang pria Aceh. Foto: KasKus.

“Tentang partisipasi perempuan dalam rentak sejarah dan kebudayaan Aceh juga tidak lekang dari persepsi tentang tubuh dan ini penting kita sitir di sini untuk melihat apa yang berbeda antara dulu dan kini.”

Pada medio 2014 saya berada di Kota Salem, Massachussetts, di Amerika Serikat. Satu kunjungan biasa untuk menghindar dari tekanan belajar. Saat itu saya baru memulai pendidikan pascasarjana di kota yang berada sekitar satu jam perjalanan darat dari Salem. Saya menikmati berkunjung ke tempat-tempat bersejarah dan Salem masuk ke radar saya karena cukup dikenal sebagai kota pelabuhan tua dengan sejarah perburuan dan pembunuhan para tukang sihir.

Tujuan utama saya adalah berkunjung ke museum dan monumen sidang penghukuman lebih dari 200 orang, kebanyakan Wanita, yang dituduh mempraktikkan ilmu sihir antara tahun 1692 dan 1693 M.  Saya juga menyempatkan diri masuk ke sebuah monument replika kapal di bekas pelabuhan tua.

Tak saya sangka ketika memperkenalkan diri pada pemandu dalam kapal bahwa saya berasal dari Aceh, Indonesia, pemandu tersebut mengatakan kapal serupa replika itu adalah kapal yang digunakan oleh peniaga Salem untuk mengangkut lada dari Aceh ke Amerika di abad ke-17.

Lalu sang pemandu menambahkan bahwa pada saat gempa dan tsunami 2004 yang melanda Samudera Hindia memori hubungan Salem dengan Aceh memicu gelombang donasi yang tidak sedikit dari warga Salem. Dalam percakapan kami ia turut menyinggung bahwa logo Kota Salem menggunakan figure dari jejak perdagangan lada ke Sumatera yang dimulai dari tahun 1654.

Baca: Sultan Aceh & Kisah Saling Tikam dari Belakang

Atas keterangan sang pemandu saya melihat logo kota tersebut dan menemukan keterangan sebagai berikut:

Pada tahun 1654, Elihu Yale mengirimkan dua tangan kanannya ke Aceh, kerajaan terbesar di Sumatera, untuk membangun kongsi perniagaan lada. Kapal yang kemudian mengangkut lada dari Aceh dan daerah lain di Sumatera ke Amerika diberi nama RAJAH yang muatan terakhirnya dibongkar tahun 1846. Dengan lada berkualitas dari Aceh, Salem memperoleh reputasi sebagai penyuplai lada terbaik di Amerika Utara.

Yang menyita perhatian saya dari logo kota dan keterangannya tentunya lukisan orang yang mengenakan penutup kepala (turban), baju panjang dan celana merah. Orang tersebut memegang payung dengan latar jajaran pohon kelapa dan kapal RAJAH yang melintas di belakangnya. Logo tersebut pertama kali dilukis oleh George Peabody, putra saudagar rempah Salem dan pemilik kapal. Keterangan gambar juga menyebutkan bahwa figure itu adalah gambar orang Aceh.

Sebelumnya saya hanya membaca sedikit tentang hubungan Amerika-Aceh yang tidak harmonis di akhir awal abad ke-19 dengan insiden Kuala Batee. Keputusan Amerika mengirim ekspedisi Potomac membombardir Kuala Batee pada tahun 1832 memang cukup popular bagi sejarawan.

Ekspedisi itu adalah hukuman balasan bagi tindakan sejumlah bangsawan dan pelaut Kuala Batee yang membajak dan membunuh pelaut Amerika dan merampas kapal mereka yang bernama Friendship setahun sebelumnya.  Ternyata kedatangan pedagang Amerika ke Aceh telah jauh sebelumnya. Memang tidak banyak catatan dari Amerika, apalagi lokal, tentang keberadaan mereka di Aceh sebelum abad ke-19 yang ditandai dengan insiden tersebut di atas.

Memilih figure orang Aceh sebagai logo kota di benua yang jauh tentu memiliki alasan. Meski masih mencari sumber-sumber tambahan, saya meyakini ada kesan mendalam bagi delegasi niaga Salem berhubungan dengan orang Aceh dan kebudayaan Aceh. Pemandu menyebut bahwa beberapa kali kapal-kapal yang kembali ke Amerika mengangkut pekerja kapal dari Aceh untuk menggantikan anggotanya yang sakit dan meninggal dalam perjalanan. Logo tersebut bisa kita lihat sebagai satu pengakuan atas Etos Aceh yang juga diakui dalam catatan-catatan pelawat asing yang lebih familiar bagi pengkhidmat sejarah Aceh seperti pembahasan berikut.

Periode terbaik dalam sejarah dan kebudayaan Aceh sebagai negara-bangsa, dibangun dari hubungan dengan negara-negara kuat lainnya di berbagai belahan dunia. Bangsa Cina telah berdagang dan menjalin diplomasi politik dengan Aceh sejak kawasan ini masih berupa kerajaan-kerajaan yang lebih kecil dan dikenal sebagai Lamuri dan Daya. Hubungan tersebut menurut Amirul Hadi tercatat dalam buku Ying-Yai Sheng-Lan (1416) dan History of the Ming Dynasty.

Hubungan dengan berbagai negara kuat pada masa itu di antaranya Turki, Inggris, Cina dan India mampu membangun jaringan sekutu yang sangat menyulitkan negara rival seperti Portugis dan Belanda untuk melakukan penetrasi pengaruh ke Aceh. Agaknya komoditi dagang Aceh, terutama rempah yang amat bernilai, bisa ditukar dengan perlengkapan paling canggih apa pun masa itu, sehingga kemampuan produksi alat, non-komoditi, luput dari keahlian masyarakatnya, bahkan hingga sekarang.

Turki dan Inggris menyuplai persenjataan dan teknisi yang bergabung dengan bala tentara kesultanan, sementara Luzon (sekarang Philipina), Gujarat, Malabar dan Abyssinia menyumbang tentaranya sebagai pelengkap berbagai operasi dan agresi militer Kesultanan Aceh.Turki, sebagai imperium Islam terbesar pada masa itu menjadi penopang kekuatan militer Aceh. Segala keistimewaan tersebut tidak mungkin terjadi tanpa kemampuan komunikasi yang bagus dan keluhuran budi dari para diplomat kerajaan Aceh sehingga punya posisi tawar yang tinggi di hadapan bangsa-bangsa lain.

Panglima dalam ketentaraan Aceh berulangkali dijabat oleh orang utusan, yang merupakan titah bala bantuan dari khalifah di Turki, termasuk dalam pengejaran armada Portugis ke Aru tahun 1539, panglima perang Aceh dijabat oleh Mahmud Khan, seorang Abysinia yang didatangkan dari Jeddah. Beberapa rekam perjalanan delegasi Aceh dalam merintis hubungan bilateral maupun hubungan trans-nasional masih bisa diakses dengan baik.

Demikian juga dengan jenis meriam dan peralatan perang lainnya yang menyatakan hubungan dengan negara-negara yang jauh telah terjalin dengan baik. Meskipun sisa-sisa persenjataan perang milik Kesultanan Aceh bisa ditemukan hari ini baik di Aceh maupun di sejumlah museum Eropa (terutama di Broenbeek Museum, Belanda), namun pabrik senjata dan keahlian merakit senjata tidak lagi kita temukan jejaknya di Aceh.

Gambaran awal tentang Aceh, termasuk kebudayaan Aceh dan masyarakat serta ekspresi seninya, didominasi oleh diari para pelawat dari negeri asing yang singgah ke Sumatera. Dari pelaut-pelaut Cina, Eropa dan Timur Tengah yang memiliki teknologi pelayaran dan tradisi menulis catatan yang lebih baik dari kita, kanvas masa lalu itu sedikit terbuka. Kompilasi catatan-catatan pelawat tersebut tentang kebudayaan Aceh, utamanya dari para petualang Eropa dan Afrika Utara, telah dikumpulkan oleh Anthony Reid, bengawan ilmu sejarah untuk studi Asia Tenggara dan Samudera Hindia, dalam buku yang berjudul Witnesses to Sumatera: A Traveler’s Anthology (Oxford University Press, 1995).  Sumbangan Tony Reid tersebut saya kira cukup memudahkan kita memperoleh rujukan “saintifik” bagi topik diskusi kebudayaan Aceh dari sudut pandang sejarah yang dibebankan kepada saya dalam kongres ini.

Dari abad ke-13 hingga ke-19 Marco Polo (1292), Ibn Battuta (1345), Giovanni de Empoli (1511), John Davis (1599), Fernao Mendez Pinto (1540), Francois Martin (1602), Agustin de Beaulieu (1621), Peter Mundy (1637), Ibn Muhammad Ibrahim (1685), Thomas Bowrey (1678), William Dampier (1688), William Marsden, Fredrick de Houtman,James Lancaster, Nicolous De Graaf, dll menjadi sumber-sumber tertulis yang melukis kebudayaan Aceh.

Tulisan-tulisan mereka kerap disertai detail terkait keadaan masyarakat, ilustrasi istana, suasana pelabuhan, teknologi persenjataan, perayaan-perayaan agama, parade militer, bentuk hukuman, fashion style, hiburan istana, arsitektur pemukiman, permainan rakyat, hingga jenis makanan dan minuman.

Selain catatan-catatan yang memiliki “tone” positif, beberapa penulis yang tiba sebelum posisi Kerajaan Aceh menjadi demikian penting tidak luput menuliskan uneg-uneg tentang kebudayaan Aceh yang bergema negatif, seperti liciknya para pedagang lokal, raja yang hanya sibuk mengadu ayam dan hanya peduli tentang makanan, serta kanibalisme yang dicatat Marco Polo sebagai bagian tak terpisahkan dari praktik pengobatan orang-orang di pedalaman Aceh.

Aceh mendaki ke puncak keemasan pada awal abad ke-17 di bawah kendali Sultan Iskandar Muda yang Agung. Teritori Kesultanan di zaman Iskandar Muda membentang dari Sabang hingga Siak, dari Pahang hingga ke Palembang (di mana bekas kerajaan besar Hindu Sriwijaya diklaim turut menyatakan tunduk pada raja Aceh), dan memiliki armada maritim yang amat kuat untuk menghalau upaya penaklukan-penaklukan dari Mongolia maupun Eropa.

Augustin de Beaulieu, Laksamana Prancis yang tiba di Aceh tahun 1621 pada zaman Iskandar Muda menyajikan laporan pandangan mata yang rinci tentang kebesaran sang Sultan, tata wilayah dan armadanya yang gagah.  Menurut Anthony Reid laporan de Beaulieu merupakan catatan pelawat Eropa paling lengkap tentang Aceh di puncak keemasannya.

Saya kira klaim tersebut tidak keliru. Augustin de Beaulieu menyumbang catatan amat terperinci dan menggugah banyak hal bagi interpretasi saya bagaimana kehidupan Aceh bisa menyentuh titik tertinggi peradabannya di Abad ke-17. De Beaulieu memberi penekanan tentang budaya hukum yang begitu kuat dan terpusat pada sosok pemimpin.

Gambaran de Beaulieu sangat mencekam seputar tubuh-tubuh yang dimutilasi oleh juru hukum, namun pada saat bersamaan memberi laporan tentang tegaknya hukum dengan cara amat sublime, semisal kisahnya melihat seorang anak di bawah umur yang kebetulan melihat seseorang mencuri di pasar dan bisa langsung menangkap tangan pencuri tersebut dan menyeretnya. Si pencuri, orang dewasa, yang ketahuan tidak melawan dan langsung bersama-sama mereka menuju mahkamah yang terletak di samping masjid agung kerajaan.

De Beaulieu menulis tentang orang-orang yang dimutilasi tangan, kaki, telinga atau hidungnya atas titah pengadilan karena kesalahan yang dilakukannya jarang sekali mati karena mereka langsung diperkenankan mencuci bekas penghukuman ke sungai yang mengalir di pinggir istana. Jernihnya air Krueng Aceh dan khasiat yang dikandungnya juga ditulis oleh beberapa pelawat yang datang ke Aceh sebelum De Beaulieu.

Kutipan De Beaulieu yang amat penting bagi saya adalah: “Mereka yang dihukum seperti ini, baik atas perintah raja atau hakim, sama sekali tidak dicela akibat perbuatannya, apa pun kejahatan yang telah ia lakukan. Apabila ada orang yang mengejek perbuatannya lalu membunuh orang tersebut sebagai balas dendam, ia tidak akan dihukum karena dianggap sudah pernah dihukum oleh hakim dan telah menerima hukuman yang cukup. Ia tidak akan dipersalahkan lebih jauh atas kejahatan ini karena siapapun bisa saja berbuat salah.”

Kutipan tersebut tidak hanya menyiratkan supremasi dan konsistensi hukum yang luar biasa. Titik berat penghukuman ada pada tubuh. Semua rakyat percaya bahwa sultan bisa saja memotong bagian apapun dari tubuh mereka, bahkan mengambil nyawanya. Namun tubuh yang sudah didera dan telah menyerahkan diri pada hukum adalah tubuh yang kembali punya harga dan tidak bisa dihinakan lagi. Budaya hukum ini tentu berbeda dengan kondisi Aceh ratusan tahun kemudian ketika masyarakat Aceh tiba-tiba punya semacam kebudayaan baru turut serta dalam proses penghakiman jalanan, menyoraki dan mengambil foto atau video yang akan terus menghinakan orang-orang yang telah dihakimi tersebut.

De Beaulieu, sebagaimana penulis-penulis sebelum dan sesudahnya, turut menyitir tentang upacara-upacara dan atraksi yang digelar kerajaan. Musik dan tari-tarian, pakaian serta ornamen perhiasan dipuji sebagai ekpresi budaya yang tinggi. Dalam buku Denys Lombard yang juga membedah secara menyeluruh kondisi kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda juga menyinggung tentang pagelaran tari-tari yang melibatkan penari-penari lelaki dan pada saat bersamaan banyak perempuan-perempuan cakap aktif di militer dan menjadi penjaga utama Sultan.

Tentang partisipasi perempuan dalam rentak sejarah dan kebudayaan Aceh juga tidak lekang dari persepsi tentang tubuh dan ini penting kita sitir di sini untuk melihat apa yang berbeda antara dulu dan kini. Aceh menjadi satu-satunya kesultanan di Asia Tenggara (mungkin juga satu-satunya di dunia Islam) yang tampuk pemerintahan pernah berada di tangan empat sultanah/ratu secara berturut-turut. Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675), Nurul Alam Naqiyatuddin (1675-1678), Inayat Syah Zakiatuddin (1678-1688) dan Kamalat Syah (1688-1699) adalah nama-nama para sultanah dan periode pemerintahannya.
Beberapa ahli sejarah Kesultanan Aceh seperti Anthony Reid, Takeshi Ito, D.A Rinkes, Cheah Boon Kheng dan Sher L Banu Khan, memberi perhatian khusus untuk melihat latar belakang dari “ketidaklaziman” dari dunia Islam tersebut.
Anthony Reid dalam Female Roles in Pre-Colonial SouthEast Asia menyatakan bahwa ada kepentingan para bangsawan regional dan Orang Kaya yang bersekutu menempatkan ratu sebagai pucuk pimpinan, di mana mereka (para bangsawan/ulee balang) lebih mudah mengatur bisnis tanpa seorang patriarkh di atas mereka, seperti zaman buruk yang mereka hadapi ketika kekuasaan absolut berada di tangan Iskandar Muda yang kejam dan otoriter.

Sementara Amirul Hadi dan Boon Kheng melihat ada perubahan tafsir keagamaan yang mendasari izin pelantikan para sultanah tersebut sebagai pucuk pimpinan di mana ada peran Nuruddin Ar-Raniry dan Abdur Rauf As-Singkili, berturut-turut sebagai Syaikhul Islam di Istana Darussalam, dalam mendukung kepemimpinan sultanah.  Karena sebelumnya jelas tertulis dalam Tajus Salatin, salah satu kitab pegangang kerajaan yang ditulis pada tahun 1602, bahwa perempuan tidak memiliki kecakapan menjadi pemimpin dikarenakan agama membatasi ruang bagi perempuan di hadapan yang bukan muhrimnya. Tanpa pengaruh Ar-Raniry maupun As-Singkili, tidak mungkin ada pengingkaran terhadap kitab pegangan para sultan tersebut.

Bagaimanapun, diawali dengan satu upaya kudeta yang dilakukan oleh persukutuan Orang Kaya yang menyerang istana pada masa kekuasaan dipegang oleh Sultanah Kamalat Syah, pemerintahan ratu di Aceh berakhir pada tahun 1699 bersamaan dengan datangnya fatwa dari Mekkah tentang haramnya seorang perempuan menjadi pemimpin negara. Sultanah Kamalat Syah diganti oleh seorang keturunan Arab, Sultan Badrul Alam Sharif Hashim Jamaluddin.

Tulisan ini disitat dari paper berjudul: Kuasa, Tubuh dan Sastra (Kilas Kebudayaan Aceh dalam Rihlah dan Catatan Sejarah), yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan Aceh 2024 di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, Kota Jantho, Aceh Besar, Selasa, 7/5/2024.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here