Komparatif.ID, Bireuen—Al Ichlas Djuli, merupakan lembaga pendidikan yang didirikan demi meningkatkan taraf pendidikan anak bangsa di tengah gempuran penjajah. Al Ichlas Djuli sempat ditolak keberadaannya oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan dalih telah ada lembaga serupa di Peusangan yaitu Jamiatul Almuslim, yang kini telah menjadi Yayasan Almuslim Peusangan.
Al Ichlas Djuli berdiri pada tahun 1932. Saat itu Teungku Keuchik Ibrahim Djuli, beserta kawan-kawannya merencanakan pendirian sebuah lembaga madrasah pengajian Al Ichlas untuk anak-anak tingkat umum.
Akan tetapi ide luhur tersebut mendapatkan tantangan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Melalui Ampon Chiek Peusangan , Belanda melarang pendirian Al Ichlas, karena lembaga pendidikan serupa telah ada di Matang Glumpang Dua, Peusangan. Bahkan di tempat-tempat lain juga telah banyak berdiri.
Teungku Keuchik Ibrahim Djuli dan teman-temannya sangat memahami penolakan oleh Belanda melalui Ampon Chiek Peusangan. Islam phobia memang salah satu penyakit yang diderita oleh Belanda.
Baca: Sengketa di Atas Tanah Musara Blang Padang
Alasan politik lainnya, karena di Eropa, Jerman sedang mempersiapkan Perang Dunia II. Belanda merupakan salah satu anggota Sekutu yang ikut terlibat dalam politik global itu.
Akan tetapi, meski Pemerintah kala itu menolak, Al Ichlas tetap didirikan. Tempat pendidikan digelar di bawah kolong meunasah Meulasah Tambo. Karena tempatnya di sana, maka diberi nama Al Ichlas Tamboriyah.
Para pendiri Al Ichlas Djuli kala itu yang namanya dicatat di dalam Konsep Laporan Kronologis dan Hasil Rapat Umum Yayasan Al Ichlas Juli, yang digelar 3-4 Agustus 2006, terdiri dari Teungku Keuchik Ibrahim, yang merupakan pemrakarsa sekaligus koordinator lapangan. Kemudian Teungku Ben latief, Teungku Mahmud alias Pang Insya/Peutua Mud Blang Keutumba; syahid di Meudang Ara, Langsa, Teungku Peutua Hasan Paloh Meunuang, Teungku Keurani Budiman keude Trieng Patok Nam, Teungku Haji Piyah Keude II.
Teungku Adam Keude Dua (Toke Adam), Teungku Muhammad Amin (Toke Min Lampoh Kiroe), Teungku Husen Meulasah Baro (Toke Usen), Teungku Keurani Yusuf Meunasah Lampoh, Teungku Abdullah (Toke Lah Meunasah Tanjong), Teungku Abu Lam Jabat Patok Sa Bireuen, Teungku Arifin (Teungku Refin Meunasah Tambo).
Teungku H. Abubakar Simpang Peut Bireuen, Teungku Ridwan Cot Meurak, Teungku H. Affan Cot Meurak, Teungku Cheh Peusangan, Teungku Ishak Meusee, Teungku Ismail (Mae Kuprai), Teungku Ali Meunasah Tambo, Teungku Muhammad Abbas Meunasah Tanjong, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat lagi diketahui nama-namanya.
Orang-orang itu di bawah koordinator Keuchik Ibrahim Djuli, terus bergerak membangun lembaga pendidikan. Dalam prosesnya, berkat lobi-lobi, para pendiri berhasil mendapatkan sebidang tanah seluas lebih kurang 2.000 meter di kilometer 3,5, Juli Keude Dua, yang merupakan wakaf Masjid Djuli. Penyerahan tersebut ditandai dengan sepucuk surat bertulisan Arab berbahasa melayu, disertai lafaz/lisan. Akan tetapi dokumen otentik tersebut hilang pada zaman Jepang.
Baca: Kolonel Husein Jusuf, dari Bireuen untuk Republik
Penyerahan tanah tersebut untuk kepentingan pembangunan gedung sekolah pengajian Al Ichlas. Para inisiator berhasil membangun gedung semi permanen dengan tiga ruang belajar, serta satu pintu ruangan guru-guru yang dibangun terpisah.
Setelah pembangunan ruang belajar selesai dilakukan, proses belajar mengajar dipindahkan ke tempat baru. Akan tetapi baru beberapa waktu menikmati ruangan baru, Jepang masuk ke Aceh.
Menurut catatan Anthony Reid dalam buku The Contest for North Sumatera Acheh, tentara Jepang masuk ke Aceh pada tanggal 12-13 Maret 1942. Tidak ada perlawanan saat mereka masuk ke Aceh. Belanda saat itu telah berada di pedalaman Aceh dan Sumatra Timur karena perlawanan rakyat.
Dalam buku The Long And Winding Road To Helsinki Aceh Dalam perang & Damai, yang ditulis oleh M. Nur Djuli, Jepang masuk ke Bireuen melalui Pandrah. Saat itu marsose Belanda telah melarikan diri ke Tanoh Gayo.
Empat tahun sebelum Jepang masuk, di Kota Bireuen telah tinggal sepasang orang Jepang. Mereka membuka toko foto bernama Sakura. Ternyata Toko Sakura merupakan stasiun radio intelijen marinir Jepang.
Berbekal keterangan dari pemilik Toko sakura, Jacoub yang merupakan putra dari Keuchik Ibrahim, diperkenalkan kepada pasukan Jepang. Perkenalan tersebut sangat besar artinya tatkala Jepang hendak membangun tangsi di Djuli. Tangsi itu akan dibangun di atas bukit yang mengelilingi perkampungan Djuli kala itu.
Baca: Ampon Chiek Membangun Ketahanan Pangan Nanggroe Peusangan
Perbukitan tersebut sejatinya milik Tuhan. Tapi Jacoub mengubah sedikit diksi, bila hutan dan perbukitan itu milik ayahnya. Jepang pun membayar sejumlah uang kepada Jacoub. Uang itu sebagian dibagi-bagikan kepada warga Djuli. Sisanya dipergunakan oleh dirinya kembali ke Jawa.
Dalam proses pembangunan tangsi militer di perbukitan Djuli, Jepang mengambil gedung Al Ichlas Djuli. Akan tetapi mereka di sana hanya tinggal beberapa bulan, karena warga dan tokoh masyarakat mengajukan keberatan. Kemudian Jepang pindah setelah membangun asrama kavaleri di Djuli Keude II. Mereka juga membangun gudang mesiu dan bungker pertahanan di Pulo Djuli. Di Paloh Meunuang kilometer 5, Jepang membangun asrama dan rumah komandan.
Al Ichlas Djuli di Masa Orde Baru
Tidak ditemukan catatan kiprah Al Ichlas Djuli di masa Orde Lama. Akan tetapi terdapat sedikit catatan di masa Orde Baru. Kala itu sekularisme semakin merebak. Dasar-dasar Islam mulai pudar. Manusia hidup dengan nilai-nilai sekuler, yang mengagungkan material. Salah satu korban dari kondisi tersebut yaitu Al Ichlas. Aset-asetnya bergeser ke tangan yang tidak amanah.
Dengan semangat menyelamatkan aset-aset umat yang berada di bawah Al Ichlas Djuli, pada 5 Mei 1981, sejumlah orang yang memiliki hubungan dengan Al Ichlas bersepakat mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama Yayasan Al Ichlas. Yayasan tersebut didirikan melalui Akte Nomor 6 Tahun 1981, oleh Notaris Zahara Pohan di Banda Aceh.
Pada pendiri Yayasan Al Ichlas terdiri dari Teungku Marzuki Abubakar—saat itu sebagai anggota DPR Tingkat I Daerah Istimewa Aceh—ia juga yang menghadap notaris dan pemegang mandat lisan.
Selanjutnya H. Zakaria Juli (H.Z. Djoeli/Hazed Djoeli), Muhammad Harun Ahmad, Teungku Imum Hanafiah, Teungku Ahmad Abbas, dan Teungku Syamaun Arifin.
Yayasan Al Ichlas yang telah menjadi badan hukum terus berkiprah. Saat konflik melanda Aceh, Al Ichlas Djuli terus melayani anak bangsa. Kaum ibu yang memiliki pengetahuan agama yang cukup, menjadi tenaga pengajar. Gedung lama yang dibangun semi permanen, dibongkar dan dibangun baru di belakang meunasah. Pembongkaran itu tidak mendapatkan izin tertulis dari pihak Yayasan. Tapi kala itu, tidak ada yang bisa berbuat banyak.
Dalam Konsep Laporan Kronologis dan Hasil Rapat Umum Yayasan Al Ichlas Juli,menyebutkan bahwa pengajian Al Ichlas Djuli tidak berhenti. Hanya saja para pengajar tidak dapat mengakses gedung karena dikunci.
Lalu, kabar tentang lembaga pendidikan legendaris tersebut kini tak terdengar lagi. Bahkan nyaris tak ada lagi yang membicaraknnya. Seperti apakah kini Al Ichlas Djuli? Mati surikah lembaga itu? Ataukah telah benar-benar pergi untuk selamanya?