Warung kopi sangat sederhana itu dibangun di atas saluran irigasi di ruas jalan Lingkar Kampus, Limpok, Kopelma Darussalam. Pemiliknya sering disapa Cut Mat. Warungnya diberi nama Cut Mat Ie Phet (Cut Mat Air Pahit-red), demikianlah bila diterjemahkan secara harfiah.
Warung tersebut boleh sederhana, bahkan untuk ukuran warkop di kampung udik di Aceh, tapi tidak dengan konsumennya. Mulai professor organik, hingga guru besar dari kampus luar Serambi Mekkah pernah menyeruput kopi di sana. Bahkan Rektor UIN Ar-Raniry Prof. Dr. H. Warul Walidin AK, M.A, sering menikmati kopi hasil jerangan Cut Mat.
“Kursi tempat saya duduk ini, merupakan kursinya Prof. Warul bila beliau ke sini,” kata Dr. Mawardi Hasan, M.Ed, Kamis (26/5/2022), ketika menyambut Komparatif.id.
Ia menerangkan itu sembari menunjuk kursi panjang yang dibuat dari kayu. Kursi tersebut tidak lagi sangat kokoh. Bila badan kita bergeser, suara ‘at ‘it-nya akan terdengar.
Mawardi Hasan merupakan seorang akademisi yang mengajar di Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Lelaki yang tidak pernah merokok sepanjang hidupnya itu, merupakan manusia serba bisa. Jago memperbaiki alat elektronik, bisa membuat mobiler dengan sangat baik, pernah berjualan kopi, serta bagus juga Ketika menggurat kalimat menjadi tulisan panjang.
Dalam diskusi informal di bawah naungan atap warung Cut Mat, Mawardi bercerita tentang masa lalunya di kampung. Pernah menjadi orang kepercayaan Atase Pendidikan Kedubes RI di Malaysia, pernah menyiram preman dengan air panas di Medan karena mencoba memalak dirinya kala berjualan kopi di Sumut, hingga mengumpulkan botol bekas Coca-Cola ketika menempuh studi di Oregon State University di Kota Corvalis, Amerika Serikat. Serta kisah-kisah lainnya yang ia lalui baik di Singapura, dan di beberapa tempat yang pernah ia singgahi dalam rangka studi dan bekerja part time.
“Setiap sore saya bersama Pak Irwandi Yusuf, mengumpulkan botol bekas itu di kampus. kami bagi area. botol-botol itu kami tukar di outlet-nya. Meskipun tidak besar, tapi cukup untuk membayar biaya parkir di kampus selama setahun,” katanya mengenang kisah kala studi di Amerika Serikat.
Cerita-cerita itu disampaikan secara tidak beraturan. Ia melangkah dari satu kisah ke kisah lainnya secara acak, sesuai dengan aliran diskusi kami yang cair dan sering diselingi gelak Komparatif.id.
Kembali ke warung kopi Cut Mat di Limpok. Tempat itu sangat sederhana. Tapi konsumennya rata-rata akademisi. Bila pagi hari, nyaris tak ada kursi kosong. Segelas kopi, satu gelas air pahit adalah sajian utama di sana. Siapa saja yang memesan segelas kopi, akan digratiskan ie phet oleh pemilik kedai. Kalau ingin mendapatkan kursi, maka yang bukan pelanggan tetap harus datang pukul 10.00 WIB. karena pada jam demikian, para akademisi sedang mengajar di kampus masing-masing.
Ie phet itu merupakan minuman berupa hasil campuran berbagai tetumbuhan yang berkhasiat untuk kesehatan. Berbagai macam tetumbuhan yang memiliki khasiat tertentu, disatukan oleh Cut Mat dan kemudian direbus dalam sebuah kuali.
Ie phet itu tidak bisa dinikmati sedikit demi sedikit. karena rasa pahitnya itu akan membuat lidah tidak nyaman. “Minum saja sembari menahan nafas. Sekalian saja, jangan dicicil,” kata Mawardi.
Komparatif.Id meneguk satu gelas ie phet itu. Hmm, rasanya benar-benar pahit. Rasa pahitnya lengket di lidah.
“Saya bisa menghabiskan satu gelas besar,” kata Mawardi terkekeh. Komparatif.id juga terkekeh, karena kalah saing dengan sosok humoris dan filantropis itu.
Ketika azan berkumandang, Komparatif.id pamit. Saat hendak membayar kopi, Mawardi melarang. “jangan, saya punya deposit di sini. Sekarang juga ada beberapa orang ikut mendepositkan uang di sini,” kata Mawardi. Dan cerita baru pun mengalir.
Kisah deposit uang di Cut Mat Ie Phet bermula Ketika seorang tukang becak singgah di warung itu. Ketika sudah duduk ia tidak memesan apa-apa. Padahal nyaris tidak mungkin seorang lelaki, pekerja keras, singgah di warung tidak memesan secangkir minuman.
Setelah Mawardi mengajak ngobrol, ternyata lelaki itu tidak punya uang. Dari itulah muncul program kopi duafa. Siapa saja dari ekonomi lemah yang singgah di warung itu, akan diberikan segelas kopi dan dua potong kue gratis. Mawardi menitipkan deposit kepada Cut Mat.
Apa yang dilakukan oleh Mawardi lambat laun diketahui oleh kolega-koleganya. Mereka juga minta bergabung dalam program filantropi tersebut. Akhirnya sampai sekarang masih berjalan.
Perihal kopi yang diberikan kepada Komparatif.id, tentu bukan kopi duafa, tapi kopi pertemanan. Di Aceh saling mentraktir teman di warung kopi merupakan kebudayaan yang telah lama hidup. Apalagi ketika ngopi dalam jumlah yang sedikit, dua atau tiga orang, pasti tidak ada istilah bayar masing-masing. Karena itu tabu dalam pergaulan di kelas menengah di Aceh.