Sebelum Sarapan; Lelaki Sialan & Cinta yang Gila

Teater

Putri Tasya Diana, sedang tampil pada monolog berjudul Sebelum Sarapan yang dipentaskan di teater Taman Budaya, banda Aceh, Senin (3/10/2022). Foto: Komparatif.id/Muhajir Juli.

Sebelum Sarapan, drama monolog saduran dari Before Breakfast karya Eugene O’neill, yang ditulis tahun 1916, dipentaskan cukup berani oleh Telaga Art dan Teater Rongsokan. Monolog 1/3 itu hanya saya tonton 2 saja, karena sudah dapat menyerap jalan ceritanya; tentang lelaki sialan, pemalas, pemabuk, tukang selingkuh, dan istri yang terjebak dalam cinta tidak masuk akal.

Deru kereta api terdengar melaju kencang, ketika panggung sepenuhnya terang, dan menampilkan layout dapur sebuah rumah kontrakan sangat sederhana di sebuah pinggiran kota.

Seorang perempuan muda yang diperankan oleh Putri Tasya Diana keluar dari kamar tidur. Ia masih mengenakan night dress berkonsep Hello Kitty, yang dipadukan dengan jilbab hitam dan sandal putih. Beberapa kali perempuan itu menguap sembari berdiri di pintu. Kemudian merenggangkan tangan dengan cara diayunkan—dengan malas—ke udara.

Perempuan itu memanggil suaminya yang bernama Azka. Tapi tak ada respon dari dalam kamar.

Ia melangkah ke kitchen table, merengkuh gelas plastik dan menaruhnya di bawah kran dispenser. Ia menekan knop, tapi tak ada air yang mengalir. Dengan malas, ia melepas galon dan menggantinya dengan yang berisi air. Kemudian dia kembali mengisi gelasnya, menyeruput dan meletakkan gelas di atas meja.

Ia kembali memanggil suaminya. Berharap Azka segera bangun. Tapi tak ada respon. Sang perempuan terus menerus memanggil sang suami. Tapi Azka tetap bergeming; tidur di balik selimut.

Ia melihat ke meja makan, selembar amplop ditaruh di atasnya. Dengan senyum mengembang, sang perempuan mendekat, mengambil dan membukanya, dengan harapan ada uang di dalam amplop itu. Siapa tahu ada honor dari kegiatan menulis puisi yang sering dilakukan oleh Azka.

Tapi amplop itu tidak berisi uang. Justru selembar surat yang dikirim oleh Helen; seorang kekasih Azka yang tidak dikenali oleh sang istri.Perempuan itu membaca surat dengan hati hancur. Setelah tunai membaca tiap baris kata, ia meletakkan kembali surat tersebut di atas meja.

“Azka, bangun!” serunya. Entah berapa kali ia sudah menyeru. Memanggil sang suami agar segera bangun dan sarapan pagi. Ia sudah menyiapkan roti nyaris berjamur yang dilapisi selai. Ia juga sudah menyiapkan segelas kopi.

baca juga: Bang Gaes, Mengkritik Lewat Lirik Balada Ceria

“Azka, bangunlah, Mas. Lihat sudah jam berapa ini. Sarapanmu sudah kusiapkan. Cepat bangun, setidaknya aku berharap pagi ini kamu mencari pekerjaan. Pemilik rumah ini tidak akan membiarkan kita lebih lama tinggal di sini, bila tak mampu membayar uang kontrakan.”

Tetap tidak ada sahutan. Sang istri mulai meracau. Meratapi pernikahannya yang tidak Bahagia. Mengutuk perilaku Azka yang setiap hari sibuk menulis puisi, mabuk-mabukan, dan selingkuh dengan perempuan yang mengagumi puisinya.

Ia juga mengingatkan Azka bila keluarganya yang kaya raya tidak mungkin lagi membantu mereka. karena semua sudah lelah dengan perilaku Azka.

Azka bukan lelaki bodoh. Ia lulusan kampus ternama, anak orang kaya yang ayahnya telah mati beberapa tahun lalu.

Azka juga memiliki pertemanan luas dengan orang-orang hebat di kota itu. Berbeda jauh dengan sang istri yang hanya seorang anak pedagang sayuran, yang sering dihina oleh Azka kepada teman-temannya.

Azka memang tak tahu diri. Setiap hari istrinya pontang-panting bekerja sebagai karyawan di toko jahit baju dengan gaji minim. Sedangkan Azka, bangun kesiangan, keluar rumah dengan penampilan awut-awutan, jambang tebal tak dicukur, dan berkeliling sembari menulis puisi, berdiskusi, bercinta dengan perempuan lain, mabuk, dan kemudian pulang larut malam. Begitulah setiap hari.

Sedangkan sang istri, pontang panting bekerja, bahkan seringkali tangannya tertusuk jarum. Pulang ke rumah mengurus Azka, makan seadanya, dan kemudian “gila sendirian” menghadapi sang suami yang masa bodoh dengan kondisi mereka yang morat-marit.

Bahkan, Azka tak bisa menaruh puntung rokok di dalam asbak. Demikian tak pedulinya dia kepada istri yang sudah bertahun-tahun tak pernah menguyah selain roti tawar murah.

Ia selalu berharap agar sang suami mau bekerja dan membawa pulang uang agar hidup mereka lebih baik. Tapi itu tidak terjadi. Bilakah Azka jadi pencuri? Itu tidak mungkin. Bilakah Azka meminjam uang kepada orang lain? Utang mereka sudah melilit pinggang.

Mengapa tak ada teman Azka yang memberikannya pekerjaan? Mereka tahu bila sang lelaki merupakan pemalas yang tidak bisa diberikan kepercayaan. Hanya saja karena terpelajar dan gemar menulis puisi, maka yang enak didengar hanya bualannya semata.

Mengapa Helen mau mengikat hati dengan Azka? Karena perempuan itu tidak tahu bila Azka telah menikah. Pria itu menutup tentang pernikahannya kepada banyak orang.

Mungkin Azka melakukan segenap kekejaman batiniyah itu, agar sang istri mundur dari pernikahan mereka. tapi perempuan itu tidak mau. Dia tidak akan pernah mau menceraikan Azka. Dia menikmati semua penderitaan itu dengan dua harapan, Azka berubah, atau mereka abadi dalam derita.

***

Ketika suara deru kereta api kembali terdengar, sang istri terburu-buru berangkat. Ia sempat memanggil nama Azka, berharap sang lelaki segera bangun,sarapan dan mencari kerja. Dia bergegas mengejar kereta api menuju tempat kerja yang nun di sana.

Tapi Azka tetap tak peduli. Ia terus tidur melepas penat karena masih di bawah pengaruh alcohol.

Sebelum Sarapan; Rumah Panggung Rapuh & Making Love di Ujung Cerita

Pentas menampilkan dapur dan kamar sederhana pada sebuah rumah kontrak sederhana di sebuah kampung. Rumah panggung yang rapuh, dengan dapur yang masih menggunakan kayu sebagai perapian untuk memasak.

Seorang istri yang diperankan oleh Ismatur Rahmi bangun dari tidurnya. Dia sempat sekali pula pingkui dan terbaring kembali di dekat dapur.

Sepertinya ia sangat lelah dan ingin melanjutkan tidur. Tapi pagi sudah menyapa dan ia harus segera bekerja.

Dengan langkah masih sempoyongan, dia mendekat ke kamar tidur, memanggil suaminya untuk segera bangun.

“Juned, bangun!”

Di dalam kamar hanya terdengar dengkuran sebagai jawaban bila Juned belum bangkit dari dipan kayu dengan alas seadanya.

Ismatul Rahmi dalam satu scene drama monolog satu babak Sebelum Sarapan, yang dipentaskan di Taman Budaya, Banda Aceh, Selasa (3/10/2022) malam. Foto: Komparatif.id/Muhajir Juli.
Ismatul Rahmi dalam satu scene drama monolog satu babak Sebelum Sarapan, yang dipentaskan di Taman Budaya, Banda Aceh, Senin (3/10/2022) malam. Foto: Komparatif.id/Muhajir Juli.

Sembari membersihkan dapur, menjerang air, sang perempuan terus berusaha membangunkan Juned. Tapi sang suami sepertinya memang tidak peduli.

Sang istri pun mengulang monolog seperti di atas. Persis sama, hanya diperkaya improve.

Beberapa kali, Isma menggunakan bahasa Aceh, menyanyi, dan bertingkah konyol dengan monolognya itu.

Penonton tertawa meski tidak terbahak. Isma berhasil membangkitkan simpati penonton atas derita tokoh yang ia perankan.

Ia yang menggerutu ketika menaiki dan menuruni anak tangga sembari menenteng ember penuh air, mengundang gelak puluhan penonton di dalam ruang teater Taman Budaya, Banda Aceh.

Seperempat bagian akhir, ditampilkan adegan ketika sang istri terburu-buru harus bekerja, tapi ketika sedang mengenakan sepatu, ia mendengar suara mengaduh Juned dari dalam kamar.

Perempuan itu kembali masuk ke dalam rumah. Berlari ke kamar dan melihat Juned tidak mengapa-apa. Ia kesal dan mengambil bantal; menepuk Juned yang sudah duduk di tepi ranjang.

Ketika ia balik badan dan bergegas, Juned menahannya. Menarik lengannya dengan lembut dan membujuknya.

Perempuan itu tertegun, tersenyum dan kemudian berkata “Jangan, Juned, aku akan terlambat masuk kerja.”

Tapi Juned –dalam wujud imajiner itu—terus membujuk.

“Janji hanya lima menit?” kata sang istri dengan suara manja.

Mereka menuju kamar. “Ayo cepatlah, kan kamu bilang hanya lima menit. Ayolah, agar aku tidak terlambat kerja.”

Panggung ditutup.

***

Sebelum Sarapan merupakan monolog pertama yang saya tonton selama beberapa tahun terakhir. Saya penasaran setelah diberitahu oleh Moritza Taher, seorang produser musik, sekaligus penyanyi yang dikenal luas di Aceh.

Sama seperti saya, Moritza datang ke sana sebagai penonton. Ia juga diberitahu oleh temannya bahwa di Taman Budaya dipentaskan monolog Sebelum Sarapan.

Secara umum, monolog Sebelum Sarapan yang diterjemahkan oleh Wiwit Anggraini,S.Pd dari drama satu babak karya Eugene O’neill, sudah patut diberikan apresiasi. Konon lagi digarap ulang oleh sutradara-sutrada yang masih berusia muda yaitu Mustafa Kamal, Dendi Swarandanu, dan Muhammad Kadafi (Dafi Abros).

Juga diperankan oleh aktor bertalenta dari teater Rongsokan yaitu Putri Tasya Diana, Ismatul Rahmi dan Rifqah Basyirah (Bace). Khusus Bace, saya tidak lagi menonton.

Poster monolog berjudul Sebelum Sarapan. Doc. Telaga Art dan Teater Rongsokan.

Saya dapat menangkap dengan utuh pesan yang disampaikan di dalam seni pertunjukan tersebut.

Apa pesan yang disampaikan menurut saya? Tentang cinta perempuan yang sulit diterjemahkan. Dengan kondisi rumah tangga yang hancur-hancuran selama bertahun-tahun, ia masih saja mampu bertahan, meskipun tidak berhenti mengeluh setiap hari.

Mengutuk keadaan, berharap sang suami berubah pada suatu ketika, dan menggerutu setiap harinya dengan harapan suami memiliki indera rasa yang tajam, memahami derita sang istri dan segera memperbaiki diri.

Tapi dasar lelaki sialan, jangankan berubah, peduli pun tidak.

Pun demikian, bila monolog Sebelum Sarapan itu ditujukan untuk kegiatan komersil yang lebih luas, kiranya sutradara dan aktor, masih perlu berbenah lebih dalam lagi. Saya kira, masih banyak hal yang perlu diperkuat, termasuk upaya menyadur monolog agar lebih membumi.

Saya tidak akan menggurui mereka, tapi sebagai penonton saya bolehlah berkomentar bila pementasan Sebelum Sarapan seperti sajian kuah beulangong sedikit kekurangan garam. Nah, meskipun sedikit, sangat mengganggu bila ditujukan sebagai sajian yang dijual kepada konsumen.

Sebelum Sarapan –dua dari tiga pementasan yang saya tonton—seperti sebuah reportase yang disajikan dalam bentuk  features sederhana. Mestinya dapat disajikan  lebih dalam.

Akhirnya, Sebelum Sarapan merupakan seni pertunjukan yang sangat menarik sebagai media refleksi betapa menderitanya perempuan ketika hidup dengan lelaki yang tidak bertanggung jawab. Mereka menderita, tapi kerap bertahan dengan alasan yang sulit kita terima.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here