Komparatif.ID, Banda Aceh—Pembatasan jam operasional warkop di Aceh akan berakhir siapa-sia. Hal senada pernah dilakukan oleh Bupati Bireuen Saifannur, yang melarang perempuan dan laki-laki non mahram duduk semeja di warung kopi.
Penilaian itu disampaikan oleh Zaini Djalil, salah seorang pengusaha warung kopi di Banda Aceh. Kepada Komparatif.id, Rabu (9/8/2023) Zaini Djalil mengatakan Surat Edaran Nomor 451/11286 tentang Penguatan Peningkatan Pelaksanaan Syariat Islam Bagi Aparatur Sipil Negara dan Masyarakat Aceh, akan menjadi pepesan kosong.
Sebagai daerah yang paling aman di Sumatra, penerbitan surat edaran yang isinya ikut membatasi jam operasional warkop hingga pukul 12 malam, merupakan tindakan yang terburu-buru.
Zaini Djalil menyebutkan, upaya pemerintah melakukan sejumlah penguatan syariat Islam, perlu didukung. Tapi ketika digerakkan dengan kebijakan-kebijakan yang keliru, maka wajib pula dikritik.
Warung kopi di Aceh, merupakan salah satu usaha yang sedang marak. Bukan hanya pebisnis tradisional perkopian yang membuka warung. Tapi kalangan lainnya, mulai anak muda penggerak UMKM, hingga para kontraktor yang sudah bertahun-tahun tak pernah menang proyek yang dilelang Pemerintah Aceh, ikut membuka warung kopi.
Para kontraktor membuka warung kopi merupakan ikhtiar mempertahankan kepulan asap dapur, demi menjaga kestabilan ekonomi keluarga, yang terpuruk sejak paket-paket pembangunan yang dilelang pemerintah, dikuasai oleh kalangan tertentu.
Baca juga: SE Pembatasan Jam Operasional Warkop Untungkan Ortu Mahasiswa
Menurut Zaini Djalil, jumlah kontraktor yang hampir bangkrut, kemudian beralih ke bisnis warkop bukan sedikit. mereka secara bersama-sama menghidupkan Aceh di malam hari, dengan gemerlap lampu, sembari mencari pemasukan untuk keluarga.
“Mereka tidak ada pilihan, selain mengonversikan sisa modal ke bisnis warkop. Mereka tidak tahu lagi harus melakukan apa. Karena semua proyek pemerintah dikuasai oleh pihak-pihak yang seharusnya mengawasi jalannya pembangunan,” kata Zaini Djalil.
Selain itu, secara umum, bisnis kuliner di Aceh mulai dibuka sore dan berlangsung hingga malam. Para konsumen baru mengudap kuliner umumnya setelah Magrib. Itulah peluang yang dimanfaatkan oleh pelaku ekonomi kecil dan menengah di Aceh. Maka tidak heran, khusus di Kota Banda Aceh, nyaris seluruh ruas jalan dipenuhi warkop dan rak-rak pedagang.
Hadirnya bisnis kuliner tersebut, memberikan peluang kepada angkatan kerja di Aceh. Mereka yang selama ini menganggur, dapat diserap oleh bisnis makanan dan minuman yang ada di Aceh. Bila bisnis tersebut dibatasi jam operasionalnya, maka akan berdampak langsung kepada pendapatan rakyat yang tidak tahu harus kemana lagi mengais rezeki di Aceh.
Oleh karena itu, Zaini Djalil menilai terbitnya SE yang berisi pembatasan jam operasional warkop di Aceh, merupakan keputusan yang tidak matang. Belum dikaji secara holistik. Masih parsial sesuai dengan aspirasi orang-orang tertentu yang melihat masalah dari ruang sempit.
Baca juga: Pj Gubernur Imbau Meunasah Kembali Jadi Tempat Mengaji Usai Magrib
Zaini juga mengatakan, bila semangat penguatan nilai-nilai syariat benar-benar ingin dilaksanakan, maka Pemerintah Aceh dapat memaksimalkan fungsi Satpol PP/WH. Mereka dapat melakukan penertiban terhadap warung-warung yang selama ini melakukan pelanggaran.
Termasuk melakukan penertiban terhadap pelajar, mahasiswa, dan perempuan yang masih berkeliaran hingga jelang Subuh.
“Tamsilannya seperti ini. Jangan hanya karena tikus, yang dibakar justru gudang beras. Cari saja tikusnya, jangan bakar gudang beras,” kata Zaini Djalil.
Zaini mengatakan, di Bireuen juga pernah diterbitkan SE di masa Bupati Saifannur. Isinya yaitu termasuk melarang perempuan dan laki-laki non mahram duduk semeja. Hasilnya apa? SE tidak diindahkan, yang muncul justru polemik.
Ini jangan sampai terjadi di tingkat provinsi. Di lingkar Pj Gubernur Aceh tentu banyak para intelektual, agamawan, dan praktisi ekonomi yang memahami kondisi Aceh. Serambi Mekkah merupakan daerah yang menerapkan syariat Islam, sekaligus daerah paling minim investasi. Lapangan kerja sangat terbatas. Bisnis swasta besar tidak berdenyut. Sehingga perputaran uang sangat sedikit.
Para pelaku bisnis kuliner bergerak di sela-sela “sesak nafas” ekonomi rakyat Aceh. mereka secara umum tidak mendapatkan untung besar. Hanya sekadar bertahan hidup, supaya dapur ekonomi keluarga tetap mengepul. Supaya anak-anak dan keluarga mereka tetap dapat menikmati makanan yang layak, supaya stunting tidak menjamah tubuh mereka.
“Sebelum menjadi polemik, dan membuat citra daerah kembali negatif, sebaiknya dicabut saja SE itu. perkuat aktivitas Satpol PP/WA. Peran mereka selama ini semakin berkurang di Aceh. sehingga dimanfaatkan oleh orang yang suka melanggar aturan,” imbuh Zaini.