Isu perbankan syariah sedang dimainkan; seakan-akan sedang sangat terancam di Aceh. Munculnya revisi Qanun LKS oleh Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, dikemas oleh pihak yang kontra, sebagai upaya merusak tatanan Islam di Serambi Mekkah. Padahal, semua tahu bahwa perbankan syariah yang ada, tidak lebih baik dari perbankan konvensional.
Di Jakarta, band rock Inggris Coldplay akan melakukan konser. Rencana kehadiran mereka dengan harga tiket dimulai Rp800.000 hingga 11 juta rupiah, diributkan oleh kelompok konservatisme berbasis agama [Islam]. Dengan berbagai dalih—termasuk bahwa Coldplay mendukung LGBT—mereka mengancam akan menggelar demontrasi besar-besaran untuk menggagalkan konser tersebut.
Nasib yang sama juga dialami oleh Bank konvensional di Aceh, boleh atau tidaknya mereka kembali manggung seiring menguatnya identitas politik keagamaan atas nama “syariat.” Simbol sakral yang belakangan ikut menyelimuti badan usaha penyimpanan dana masyarakat bernama bank.
Baca: Penerapan Perbankan Syariah Jangan Jadi Fitnah untuk Syariat Islam di Aceh
Wacana mengembalikan perbankan konvensional sebagai upaya mendampingi perbankan syariah yang layanannya belum prima, dijawab dengan aksi-aksi—sekarang masih sebatas di media sosial dan pernyataan pers—libido konservatif. Bahkan ada yang langsung melakukan pembelahan yang sangat ekstrim.
Para penggerak konservatisme menutup mata bahwa sampai sekarang konsep syariat [Islam] yang diterapkan di Aceh belum dapat dirasakan secara pasti. Sehingga kaburlah makna sesuangguhnya syariat. Hal yang terlihat justru meningkatnya unsur kearaban dan kesalihan kelompok dalam struktur masyarakat.
pascareformasi sebagaimana diurai Noorhaidi Hasan dalam bukunya Laskar Jihad; Islam, Militansi dan Pencarian Identitas Pasca-Orde Baru (2006), konservatisme keagamaan menguat di Indonesia, seiring munculnya beberapa peristiwa konflik atas nama agama. Kondisi ini semakin nyata dengan hadirnya kelompok kelompok ekslusif keagamaan di tengah masyarakat.
Apa pun atas nama agama dimaknai sebagai simbol kesuciaan yang harus didukung, kondisi ini pula sepertinya memunculkan fatwa aneh murtadisasi jika Aceh bila kembali ke bank konvensional. Ke depan mungkin, saat hadir bioskop yang diberi casing syariat dengan tontonan sinema bernuansa Timur Tengah, popcorn diganti dengan kacang Timur Tengah, lalu bioskop “konvensional” ikut hadir, stigma pada mereka yang menonton di bioskop non agamis juga akan dipandang “murtad.”
Saat saya masih belajar di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, pelayanan bank konvensional jauh lebih baik dibanding bank yang mengatasnamakan agama di Aceh hari ini, dalam penelitian ini disebut pengamatan terlibat, tanpa perlu manipulasi data.
Sebagai kooporat, seluruh bank tentu mencari keuntungan (manfaat) dari simpan pinjam yang tumbuh di tengah masyarakat, tidak terkecuali bank dengan plat syariat, sama-sama mencari surplus. Hanya saja, kelompok ini tampil lebih elegan, dengan menawarkan kebutuhan identitas keagaman bagi masyarakat berkultur agraris, yang ditafsir dan ditengarai mengandung unsur “islami” dengan sederet konversi istilah dalam bahasa Timur Tengah.
Praktiknya sama saja, hanya digeser pola, misalnya jika dulu meminjam uang untuk membeli properti, kini propertinya dihadirkan langsung tanpa perlu dibeli oleh nasabah, berikut dengan penambahan akad dan lainnya. Pun demikian, cicilannya sama dengan bank non syariat. Lalu, di mana keistimewaan perbankan Syariah saat ini ?
Pengalaman seorang teman yang berutang pada perbankan syariah, dana yang harus dikembalikan juga sama dengan bank yang tidak kerap diberikan ancaman siksa neraka itu karena adanya potensi riba. Realitasnya, keduanya sama saja. Selisihnya hanya pada polesan yang ditafsirkan bagian jalan agama, sama seperti akad jual beli di tengah masyarakat Aceh yang telah berlangsung lama “barang untuk saya, uang untuk Anda,” melalui akad ini dengan praktik yang sama, dimaknai sudah bersyariat, meskipun realitasya cari manfaat.
Di Bangladesh, tumbuh Grameen Bank tanpa brand syariat, tapi praktiknya jauh lebih menguntungkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Grameen Bank menerapkan semangat keagamaan berbasis kemanusiaan dalam rangka membantu banyak orang miskin tanpa perlu rancap dengan lebel syariat. Apa yang dilakukan Muhammad Yunus sejak tahun 1983 menunjukkan semangat kemanusiaan itu adakalanya tak perlu simbolisasi agama sebagai alat branding yang terkesan maksum dengan serat agenda politik identitas.
Pada termin gempuran dunia yang semakin dilipat, manusia tak bisa menghindari difusi kebudayaan dan hidup berdampingan dengan perbedaan. Seorang sufi tak bisa menolak tetangganya yang berkultur Barat, lalu memaksa memilih tetangganya yang berkultur Arab yang dipandang oleh awam lebih menjamin jalan ke surga.
Globalisai membawa manusia pada muara pertemuan dengan basis ketidakseragaman. Dalam bahasa agama, kondisi ini dikenal dengan istilah “Sunnatullah,” perbedaan harus disikapi dengan arif, bukan melaknat dan menebar benih kebenciaan pada perbedaan atas nama identitas keagamaan.
Belajar pada Soekarno dan Gusdur melalui satirisme terhadap kuasa kelompok keagamaan, mereka bisa menggebuk siapa saja dengan tuduhan mengangkangi nilai agama saat kelompok lain tidak sejalan dengan obsesi kelompoknya. Agama adakalanya menjadi sapi perah bagi kelompok tertentu dengan alat politik identitas, yang hanya dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan kelompoknya.
Perbankan Syariah Belum Tentu Surga
Di Aceh, sejatinya fenomena bank hanya tumbuh di tengah masyarakat kota dan pinggirannya. Bagi masyarakat kampung dan pedalaman di Aceh, praktik bank tak pernah menjadi wacana. Barter dan tukar menukar dengan rupiah nyata cenderung lebih disenangi dan dipraktikkan. Berdasar pengamatan keluar masuk pelosok kampung, wacana syariat hanya berdengung kuat di tengah pemukiman urban dan kelompok tertentu, di pedalaman, manusia Aceh tetap hidup dengan semangat Islam lokalnya.
Wacana revisi qanun LKS oleh Pemerintah Aceh tentu perlu didukung jika Aceh memang dipandang bagian dari masyarakat dunia dan nasional. Tidak ekslusif dan cenderung fatalis. Mensyariatkan bank telah menguras banyak energi, selain jaringan ATM yang kerap macet dan serangan cyber.
Aceh harus lebih fokus pada syariatisasi struktur dan kulturnya kembali. Di level struktur, good governance harus ditampilkan dan digenjot lebih bersyariat agar tata kelola pemerintahan lebih memihak pada masyarakat miskin, angka korupsi dan kemiskinan menurun, jalan-jalan berlubang segera ditambal, sapi berkeliaran di jalan Pantai Barat yang kerap mengancam nyawa manusia ditertibkan, hingga persoalan ekologi di Aceh lebih utama untuk disyariatkan dengan kaffah, agar wajah Serambi Mekkah kembali glowing.
Catatan: Penulis merupakan nasabah bank konvensional dan syariah.