Pembangunan yang ideal adalah pembangunan yang lahir dari kebutuhan, suara, dan partisipasi masyarakat. Sayangnya, dalam praktiknya, pembangunan sering kali masih dipahami sebagai sesuatu yang datang “dari atas” sebuah proyek yang dibawa oleh pemerintah, ditentukan dari luar, lalu dijalankan oleh segelintir orang tanpa banyak melibatkan warga gampong itu sendiri.
Padahal, masyarakat gampong bukan hanya penonton atau penerima manfaat. Mereka adalah pemilik rumah yang seharusnya menentukan bentuk dan arah pembangunannya sendiri.
Pendampingan masyarakat hadir untuk menjembatani hal itu bukan untuk menggantikan peran masyarakat, tetapi untuk menguatkan kapasitas mereka agar bisa berperan secara penuh dalam proses pembangunan.
Di banyak gampong di Aceh, misalnya, dana desa yang setiap tahun dikucurkan pemerintah membuka peluang besar bagi perubahan. Tapi peluang itu tidak akan berarti apa-apa jika pengelolaannya masih bersifat sepihak, tidak transparan, atau tidak melibatkan warga dalam setiap tahapan.
Dana desa bisa saja dipakai untuk membangun jalan, balai pertemuan, atau irigasi. Namun, tanpa partisipasi masyarakat, sering kali pembangunan itu tidak menjawab kebutuhan yang sebenarnya.
Sebagai contoh, ada gampong yang membangun jembatan karena itu program tahunan, padahal warga lebih membutuhkan bantuan untuk pertanian dan usaha kecil. Ada pula gampong yang membangun fasilitas olahraga, sementara banyak rumah warga masih belum layak huni. Situasi-situasi ini terjadi karena suara masyarakat tidak masuk ke dalam proses perencanaan.
Baca juga: Menakar Toleransi dan Keberagaman di Banda Aceh
Di sinilah pentingnya pendampingan. Pendamping masyarakat desa bukan sekadar “pegawai teknis” yang mendampingi pengisian dokumen atau pelaporan. Lebih dari itu, pendamping adalah fasilitator yang membantu membuka ruang dialog, menggali kebutuhan warga, serta mendorong musyawarah yang inklusif dan adil.
Pendamping bukan pengambil keputusan, tapi penguat kapasitas warga agar bisa mengambil keputusan sendiri.
Sayangnya, banyak pendamping yang terjebak dalam rutinitas administratif. Fokus mereka hanya pada laporan kegiatan, realisasi anggaran, atau validasi dokumen. Padahal, ruh dari pendampingan adalah pemberdayaan: bagaimana masyarakat tidak hanya tahu, tetapi mampu menyuarakan pendapat, mengawasi pembangunan, dan menjaga hasilnya secara berkelanjutan.
Pendampingan juga harus berpihak. Ini bukan berarti membela satu kelompok, tetapi membela prinsip bahwa pembangunan harus adil dan menyentuh kelompok yang paling lemah dan terpinggirkan.
Dalam banyak gampong, kelompok perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, atau masyarakat miskin sering kali tidak dilibatkan dalam musyawarah. Mereka hadir, tapi tidak didengar. Mereka tahu, tapi tidak diajak bicara.
Pendamping punya peran penting untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya dikuasai oleh mereka yang sudah kuat.
Proses pemberdayaan memang tidak bisa instan. Ia butuh waktu, kesabaran, dan pendekatan yang tepat. Pendamping harus belajar memahami budaya lokal, menghormati struktur sosial yang ada, tapi juga mampu perlahan mendorong perubahan ke arah yang lebih inklusif dan demokratis. Ini bukan tugas yang mudah, tapi sangat penting jika kita ingin pembangunan benar-benar milik semua orang.
Salah satu contoh yang menggambarkan keberhasilan pendampingan berbasis partisipasi dapat ditemukan di sejumlah gampong yang mulai melibatkan warga secara aktif dalam perencanaan pembangunan.
Ketika masyarakat diberi ruang untuk bicara, didengarkan, dan terlibat sejak awal, semangat gotong royong tumbuh dengan sendirinya. Di beberapa kasus, warga yang sebelumnya pasif justru menjadi penggerak kegiatan karena merasa bahwa gagasan mereka benar-benar diterima dan diwujudkan. Pembangunan gampong yang berbasis partisipasi juga menciptakan rasa memiliki.
Ketika warga ikut merancang, melaksanakan, dan mengawasi pembangunan, hasilnya pun lebih terjaga. Tidak jarang kita lihat bangunan desa yang cepat rusak karena dibangun tanpa keterlibatan masyarakat. Tapi proyek yang lahir dari musyawarah bersama cenderung lebih dijaga, karena warga merasa itu adalah bagian dari diri mereka sendiri.
Di sinilah pentingnya pendekatan bottom-up dalam pembangunan gampong. Pendekatan ini berangkat dari bawah dari kebutuhan dan potensi masyarakat lalu berkembang ke atas dalam bentuk perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan.
Ini berbeda dari pendekatan top-down yang hanya memindahkan proyek dari atas ke bawah tanpa melihat konteks lokal.
Pemerintah, melalui program dana desa dan kebijakan otonomi desa, sebenarnya sudah membuka ruang bagi pendekatan bottom-up. Tapi ruang itu tidak akan maksimal jika tidak diisi oleh kapasitas masyarakat yang kuat dan peran pendamping yang mendorong pemberdayaan. Maka, kolaborasi antara aparatur desa, masyarakat, dan pendamping menjadi sangat penting.
Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa ada tantangan besar dalam proses ini. Korupsi di tingkat desa, konflik antar elite lokal, dan rendahnya literasi warga tentang hak mereka masih menjadi hambatan. Untuk itu, pendampingan juga harus diiringi dengan pendidikan kritis di tingkat masyarakat.
Warga perlu diberi pemahaman bahwa mereka bukan sekadar “penerima bantuan,” melainkan “pemilik pembangunan.” Dengan begitu, kontrol sosial akan muncul dari dalam masyarakat sendiri.
Pembangunan yang sukses bukan yang menghabiskan anggaran paling besar, tetapi yang paling banyak melibatkan masyarakat. Karena pada akhirnya, yang tahu kebutuhan gampong adalah orang-orang yang tinggal di dalamnya. Pendamping, perangkat desa, dan pemerintah kabupaten hanya bisa membantu tapi penggeraknya harus berasal dari masyarakat itu sendiri.
Masyarakat adalah kekuatan terbesar dalam pembangunan. Ketika mereka dilibatkan, dihargai, dan diberdayakan, maka pembangunan tidak hanya selesai, tetapi juga berkelanjutan. Saatnya kita mengubah cara pandang bahwa pembangunan bukan hanya soal infrastruktur dan laporan, tetapi soal relasi sosial, keadilan, dan partisipasi warga.
Mari kita kembalikan pembangunan kepada pemiliknya: masyarakat gampong. Karena yang paling tahu apa yang dibutuhkan oleh sebuah gampong adalah mereka yang hidup, tinggal, dan tumbuh di dalamnya. Dari gampong, oleh gampong, dan untuk gampong itulah pembangunan yang sebenarnya.
Penulis: Siti Khairani, mahasiswi Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.