Saat Diam Bukan Lagi Emas

Saat Diam Bukan Lagi Emas
Jabbar, AMIPR. Wasekjen Perhumas BPC Aceh dan Staf Public Relations Polda Aceh. Foto: HO for Komparatif.ID

Dalam dunia komunikasi modern, terutama dalam konteks krisis, pepatah “diam itu emas” sudah tidak lagi relevan. Di tengah derasnya arus informasi dan opini publik di media sosial, diam justru menciptakan ruang kosong yang segera diisi oleh spekulasi, disinformasi, bahkan kecaman.

Ketika organisasi, korporasi, atau tokoh publik menghadapi krisis, membungkam diri bukan lagi pilihan bijak. Di sinilah public relations (PR) mengambil peran strategis sebagai pengelola komunikasi yang tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga menjaga kepercayaan publik.

Dalam komunikasi krisis, diam dapat ditafsirkan sebagai bentuk pembiaran, kelalaian, bahkan pengakuan terhadap tuduhan atau kabar negatif. Saat terjadi krisis, publik haus akan penjelasan. Mereka menuntut kejelasan, bukan sekadar menanti klarifikasi yang terlambat.

Tidak jarang, kekosongan informasi resmi justru diisi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, memelintir fakta, dan memanaskan suasana. PR yang baik harus mampu mengantisipasi hal ini dengan mengedepankan prinsip komunikasi terbuka.

Tugas PR modern bukan hanya mengatur seremoni dan publikasi biasa. Dalam krisis, PR harus tampil sebagai navigator komunikasi yang mampu membaca peta krisis, memahami peta persepsi publik, dan menentukan jalur komunikasi yang tepat agar institusi tidak karam diterjang badai opini. Kemampuan literasi digital dan kepekaan terhadap dinamika media sosial menjadi keharusan. Di sinilah pentingnya menerapkan pola kerja yang menekankan kecepatan, ketepatan, dan ketulusan dalam menyikapi setiap krisis komunikasi.

Krisis ini bisa datang kapan saja dalam berbagai bentuk, mulai dari kebocoran data, isu sosial yang viral, hingga kelalaian operasional. Saat krisis muncul, waktu menjadi musuh. Publik tidak menunggu penjelasan dalam hitungan hari, melainkan menit. Ketika respons tak kunjung datang, publik akan membuat kesimpulan sendiri. Hal itu akan menyebar dengan cepat dan masif.

Keheningan dalam krisis tidak hanya menciptakan ketidakpastian, tetapi juga menimbulkan kesan seolah organisasi atau korporasi tidak peduli atau bahkan menyembunyikan kebenaran. Seorang praktisi PR dalam situasi krisis bukanlah sekadar juru bicara. Ia harus menjadi pengatur strategi komunikasi, penyusun narasi yang berlandaskan fakta, dan jembatan antara institusi dengan masyarakat.

Tugas utamanya adalah memastikan pesan yang disampaikan tidak hanya cepat, tetapi juga akurat, jujur, dan mencerminkan empati. Ketika publik merasa diberi ruang untuk tahu dan memahami, kepercayaan dapat dipertahankan bahkan dalam situasi yang paling menantang. Sebaliknya, jika dibiarkan kosong, ruang itu akan diisi oleh opini yang tak terkendali.

Sering kali kita melihat organisasi memilih menunda pernyataan atau bahkan membiarkan isu berkembang liar tanpa kejelasan. Mungkin ini dilakukan demi kehati-hatian hukum atau kekhawatiran memperkeruh situasi. Namun, dalam praktiknya, ketidak-aktifan ini justru memicu krisis baru, yakni hilangnya kepercayaan publik.

Dalam dunia hukum, diam bisa ditafsirkan sebagai pengakuan. Dalam dunia PR, diam bisa ditafsirkan sebagai ketidakmampuan atau kelalaian. Maka, komunikasi yang cepat, meskipun belum sempurna, jauh lebih baik daripada keheningan yang membuat publik frustrasi atau berspekulasi liar.

Salah satu kekeliruan paling umum dalam penanganan krisis adalah membiarkan tim PR bekerja sendirian atau, sebaliknya, menahannya di belakang layar demi pertimbangan hukum. Praktisi yang memiliki latar belakang hukum mungkin memahami pentingnya ketelitian dalam menyampaikan informasi agar tidak memperburuk situasi secara yuridis.

Dalam banyak kasus, kita bisa menyaksikan betapa lambannya respons organisasi saat diterpa krisis. Ada yang baru memberikan keterangan resmi setelah tiga hari peristiwa mencuat. Ada pula yang memilih diam seribu bahasa hingga tekanan publik tak tertahankan. Konsekuensinya tidak hanya pada reputasi, tetapi juga pada kepercayaan.

Di sisi lain, ada juga organisasi atau korporasi yang sigap merespons krisis. Dalam hitungan jam mereka sudah hadir, memberi penjelasan awal, menunjukkan empati, dan menyatakan komitmen untuk menyelesaikan masalah. Mereka tidak menunggu hingga semuanya sempurna, tetapi memilih hadir saat publik membutuhkannya.

Sejatinya, komunikasi krisis bukan hanya upaya memperbaiki citra, tetapi wujud nyata dari akuntabilitas. Ini adalah komitmen untuk hadir di tengah ketidakpastian, menjadi suara yang menenangkan tanpa menutupi fakta. Sebab, masyarakat masa kini tidak menuntut kesempurnaan, tetapi kejujuran dan ketegasan sikap. Mereka tidak marah karena suatu kesalahan terjadi, tetapi kecewa ketika kesalahan itu disembunyikan atau dianggap tidak penting.

Baca jugaMenghidupkan Budaya Literasi Keluarga di Tengah Gempuran Digital

Tak dapat dimungkiri, pergeseran pola konsumsi informasi ke media sosial menjadikan krisis semakin kompleks. Opini publik terbentuk begitu cepat. Narasi dapat dibangun siapa saja, kapan saja, tanpa filter. Di sinilah kehadiran PR harus aktif, tidak hanya menunggu atau sekadar bereaksi, tetapi mengantisipasi, membangun kanal informasi resmi yang terpercaya, dan merespons secara real time.

Inilah mengapa komunikasi di masa krisis menjadi ujian integritas organisasi. Publik ingin tahu apakah institusi atau organisasi berani mengakui kesalahan, peduli terhadap dampak yang timbul, dan memiliki rencana perbaikan. Semua pertanyaan itu hanya bisa dijawab melalui komunikasi yang terbuka.

Sehingga, dalam konteks krisis, diam bukanlah solusi. Diam malah dapat menjadi penyebab runtuhnya kepercayaan yang telah terbangun. Di sisi lain, berbicara juga bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi menyatakan komitmen, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap publik. Sebab, saat publik merasa didengar dan dihargai, mereka akan tetap percaya, meskipun badai telah menerpa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here