Rindu PHK

PHK
PHK. Ilustrasi disitat dari Kompas.

Tiga hari sesudah PHK, Somad tak kunjung bangkit dari duduknya di shaf paling depan di surau lingkungan tempat ia tinggal. Senja yang sedari tadi menyapu Kota Medan, Sumatra Utara, telah pamit menjemput masa di tempat lain.

Somad terpekur. Hatinya gundah gulana. Dia membayangkan hari-harinya yang sepi di tengah riuh pembangunan Kota Medan.Bagaimana kelak nasib diri, istri, dan empat anak-anaknya. Si istri bahkan sedang mengandung anak kelima. Sungguh anaknya di dalam kandungan akan lebih cepat terdampak stunting akibat dirinya yang tidak lagi berpenghasilan.

Dia membayangkan hari-hari esok, setelah dirinya tidak lagi memiliki pendapatan. Kredit motor matic belum lunas. Kredit kulkas baru bayar uang muka. Serta yang paling mengerikan bagi dirinya, dengan apa dia membayar kontrakan yang tersisa tiga bulan lagi harus mulai buku baru.

Dia menghela nafas panjang. Somad enggan pulang ke rumah. Sejak terkena PHK, dia tidak berani menatap istrinya. Ia kasihan kepada perempuan yang telah dinikahinya 10 tahun lalu. Sampai sekarang si wanita harus terus makan hati, karena dirinya tak kunjung dapat memenuhi impian; mandiri.

Baca: Pengaruh Post Power Syndrom Pada Korban PHK

Sejak lulus SMA, Somad bekerja di pabrik. Dia tidak melanjutkan kuliah. Bukan karena orangtuanya tidak mampu. Tapi setelah dia melihat sarjana di kampungnya, juga antri melamar kerja sebagai buruh. Bahkan di dalam divisinya, dia membawahi enam sarjana dari 30 karyawan.

“Sial betul nasib awak. Dari empat yang di-PHK, awak pula yang kena.” Keluhnya dengan suara datar.

Rupanya, di samping Somad yang duduk terpekur, ada seorang pria berkulit sawo matang yang baru datang dari Aceh. Pria itu tertarik ketika mendengar kata PHK dari mulut Somad.

“Apa, Abang baru saja di-PHK? Indah nian kata itu, Bang. Mewah sekali kata-kata tersebut. Penuh irama industrialis. Lemanya seperti mewakili sebuah era dari masa depan,” kata si pria yang memperkenalkan diri bernama Saiful.

Somad terkejut. Ia kaget dengan kalimat yang diucapkan Saiful dengan wajah berbinar-binar.

“Kau mengejekku, Kawan?”

“Tidak, Bang. Aku kagum, seumur-umur baru kali ini aku mendengar orang di-PHK. PHK merupakan sesuatu yang mewah di kampungku, Aceh.”

Somad tambah bingung. “Maksudmu?”

“PHK merupakan lema miliknya sebuah industri besar. Bahasa kasarnya dipecat. Tapi pecat merupakan lema untuk sebuah pekerjaan yang terkesan tradisional. Tidak profesional. PHK merupakan milik sebuah industri besar yang untuk bergabung di dalamnya membutuhkan sejumlah syarat. Punya jam kerja terstuktur, memiliki target kinerja. Dan paling penting ada anak buah, ada bos, dan ada gaji sesuai UMR.”

Saiful melanjutkan—setelah mendengar cerita Somad—bahwa meski lulus SMA, Somad sudah pernah bekerja di industri besar. Pengalamannya 15 tahun menjadi buruh sangat mewah.

“Bayangkan, Bang. Bayangkan ya. Bahkan untuk melamar bekerja di industri pun kami di sana tidak memiliki kesempatan. Meski disebut-sebut sebagai daerah terkaya, semua kekayaan itu dikelola “secara tradisional”. Bahkan banyak yang ilegal. Penambangan ilegal dilakukan di depan hidung aparat hukum, dan di depan mata aparat birokrasi,” sebut Saiful.

Bilapun ada satu dua industri yang telah seatle, secara umum tidak membuka peluang kerja untuk angkatan muda tempatan. Karena syarat yang ditentukan sangat tinggi-tinggi. Harus punya sertifikat A,B,C,D, sampai Z. Harus punya pengalaman 10 tahun.

Syarat-syarat itu membuat sejak awal angkatan muda produktif gagal “berproduksi” karena tertolak sebelum melamar. Akhirnya, jangankan berharap di-PHK, diterima pun tidak.

Mendengar pernyataan Saiful, kini Somad bengong. Dia bertanya-tanya mengapa Tuhan mengirimkan manusia aneh, justru saat dia sedang sedih.

“Aku tahu Abang bingung. Mengapa Tuhan mempertemukan kita di saat abang di-PHK. Inilah keajaiban hidup, Bang. Kita dipertemukan dengan sudut pandang berbeda tentang PHK.

Tenang, Bang. Jangan takut anak dan istri lapar. Aku juga telah menikah dan memiliki dua anak. Mereka selama ini hidup denganku, tanpa sekalipun aku di-PHK oleh pabrik. Karena aku tidak pernah bekerja di pabrik. Mereka tetap bisa makan, minum, sekolah, dan mudah-mudahan kelak anak-anakku tidak mengikuti jejakku sebagai lelaki yang tidak pernah di-PHK.”

“Kurasa Kau sudah gila,” sergah Somad.

“Kita mewakili kegilaan masing-masing, Bang. Abang gila karena tak siap di-PHK. Sedangkan aku mewakili kegilaan bangsaku, tak sekalipun dapat kesempatan kerja di industri besar, meski di bawah rumah kami terdapat emas, minyak, gas, yang terus menerus ditambang oleh orang bersertifikat dari luar Aceh. aku, justru jadi penonton, dan tak pernah sekalipun diberikan kesempatan bekerja, kemudian di-PHK dengan berbagai alasan.”

Somad kehabisan kata-kata. Dia meraih bulir tasbih dan memainkannya lebih cepat. Kini dia tidak sendiri. Ternyata ada yang lebih malang darinya. Mungkin saja telah lebih dahulu gila ketimbang dirinya yang baru memasuki pintu rumah gila.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here