Rimba dan Pria Gorontalo yang Baik Hati

Gorontalo, rimba, kopi trans continent
Kopi single origin di Cafee D'Nan Coffee, Gorontalo. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Rimba, demikian ia memperkenalkan diri, seusai mengantar saya ke sebuah cafe di Jalan HB Jassin, Kota Gorontalo. Jalan ini merupakan yang kedua terbesar di Kota Gorontalo. Membentang sepanjang 4,6 kilometer, dari Perlimaan Talaga dan berakhir di Patung Saronde (tugu Saronde).

Saya tak sengaja berkenalan dengan Rimba. Pria bertubuh tambun tersebut hendak keluar dari Hotel Aston, Jumat sore (22/11/2024) kala berpapasan dengan saya. Saat itu, dia baru saja selesai bertugas menjaga sebuah acara.

Saya yang sudah seharian belum menyeruput kopi, hendak mencari warung kopi yang pas untuk nongkrong. Saat bertanya kepada Rimba, di mana warkop terdekat, dia mengatakan semua warkop jauh.

Baca: Stik Pisang Goroho, Cemilan Khas Gorontalo

“Abang saya antar saja. Saya hendak pulang. Nanti malam balik lagi,” kata pria berambut sebahu tersebut menawarkan bantuan.

Saya mengangguk. Tawaran diantar merupakan berkah di daerah yang baru saya datangi sehari sebelumnya.

Di perjalanan menuju kota, ia bertanya saya berasal dari mana. Saya jawab dari Aceh. Ia mengangguk sembari terus memacu motor Yamaha NMax berkelir hitam.

“Orang Aceh suka kopi ya, Pak?” katanya. Saya membenarkan. Rimba menjelaskan habit warga Kota Gorontalo. Mereka tidak nongkrong pada sore. Mereka baru ke cafe dan tempat ngumpul lainnya, setelah malam memeluk utuh kota tempat Nani Wartabone dan Kusno Danupoyo menggelar proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 23 Januari 1942. Peristiwa bersejarah itu dikenang sebagai Hari Patriotik 23 Januari 1942.

Setelah melibas jalanan kota yang ramai, kami tiba di sebuah cafe bernama D’Nan Coffee. Rimba pamit. Ia buru-buru pulang. Karena malamnya ia kembali bertugas.

Rimba mungkin intel polisi. Sebab di Aston ada acara kepolisian. Saat turun dari hotel ia bersama polisi muda berseragam.

Di D’Nan Coffee, saya memesan robusta sigle origin dan cemilan pisang pasir. Kudapan goreng tersebut dibuat dari pisang masak yang dibalur tepung. Setelah diangkat dari minyak, ditaburi brown sugar. Manis pisang berpadu dengan manus gula, melahirkan manis yang asyik.

Sembari menyeruput kopi dan mengudap pisang pasir, saya teringat lagi keramahan Rimba. Ia telah membuat saya semakin terkesan kepada Gorontalo.

Awalnya, cerita tentang kebaikan hati warga Gorontalo telah disampaikan oleh karyawan PT Trans Continent Hub Gorontalo. Warga sekitar hub tidak berperilaku aneh-aneh. Sejak Trans Continent menapak di sana setahun lalu, tak ada warga yang mengusik. Mereka tak mengajukan proposal bantuan. Juga tidak ada yang meminta dipekerjakan di sana.

Di sekitar Hub Gorontalo, masih banyak warga yang bekerja serabutan. Tapi mereka tidak brutal. Kala CEO PT Trans Continent Ismail Rasyid membuka kesempatan untuk warga lokal, mereka menyambut dengan ramah dan tertib.

“Sejak kehadiran pertama kali ke sini, Trans Continent diberikan kemudahan sesuai regulasi oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo. Demikian juga masyarakatnya, sangat welcome,” kata Ismail Rasyid, Kamis (21/11/2024).

Bahkan, sejak setahun lalu mulai membangun kantor dan gudang di Gorontalo, tak ada sebatang besi pun hilang.

Ismail Rasyid semakin terpacu berinvestasi di Gorontalo. Semangat perubahan dari warga dan pemerintah sangat besar. Mereka sangat ramah dan mempermudah segala urusan.

Pj Gubernur Gorontalo Rudy Salahuddin, saat meresmikan kantor dan gudang Trans Continent menyebutkan Pemerintah dan rakyat sangat membutuhkan partisipasi para investor dalam membangun provinsi yang lahir tahun 2001 tersebut.

Provinsi yang terkenal dengan hasil pertanian dan perkebunan seperti jagung dan kelapa, serta sumber daya mineral, sangat membutuhkan mitra strategis yang dapat menjadi agen pembangunan Gorontalo.

Hmm, saya seruput kopi arabica tanpa gula. Saya teringat pada saat melaksanakan Salat Jumat di sebuah masjid kecil di dekat Trans Continent Hub Gorontalo. Masjid yang berada di Desa Botumopiti,Kecamatan Tibawa.

Saat khutbah berlangsung, tidak ada celengan yang diedarkan. Jamaah fokus mendengar khutbah yang disampaikan seorang khatib gaek.

Bahkan sampai pelaksanaan Salat Jumat selesai, saya dan beberapa teman dari Aceh heran. Mengapa panitia masjid sederhana tersebut tidak mengedarkan celengan?

Murizal Hamzah–wartawan senior yang bermukim di Jakarta– terheran-heran. Kemudian terbit takjub di dalam hatinya. Betapa mandirinya warga dalam membina kemakmuran masjid berwarna hijau itu.

Ismail Rasyid telah datang ke tempat yang tepat. Di sini, warganya sangat baik. Mereka tidak menyentuh sesuatu yang bukan miliknya. Ismail juga tahu diri. Ia melibatkan warga lokal sebagai tenaga kerja; sesuai kebutuhan perusahaan.

Gorontalo telah menunjukkan diri sebagai Serambi Madinah dalam arti sebenarnya. Masyarakat yang religius, bersahabat, dan tidak neko-neko.

Gorontalo telah menunjukkan diri sesuai semboyannya “ adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah.

Gorontalo telah membuktikan diri sesuai mottonya, “Segala perbuatan atau pekerjaan hendaknya selalu mengingat aturan adat dan al-quran, jangan hendaknya bertentangan antara satu dengan yang lainnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here