Masyarakat Indonesia, terutama pencinta Palestina, turut bersuka cita menyambut keberhasilan koalisi pemberontak Suriah menumbangkan rezim Bashar Assad. Pun begitu, revolusi Suriah itu melahirkan banyak pertanyaan baru tentang masa depan Timur Tengah.
Salah satu isu sentral yang diperdebatkan setelah revolusi Suriah adalah apakah pemerintahan baru setelah tumbangnya Bashar Assad akan mempercepat kemerdekaan Palestina atau sebaliknya, memperlemah poros perlawanan Iran, Hizbullah, dan Hamas Palestina sebagai musuh Israel selama ini?
Opini publik Indonesia terbelah dua. Sebagian meyakini revolusi Suriah saat ini, mempercepat kemerdekaan Palestina. Sebaliknya, banyak juga yang melihat nasib setelah revolusi Suriah, bakal ikut jejak Libya setelah kejatuhan Muammar Khadafi atau nasib Sudan setelah revolusi tumbangnya rezim Omar Bashir.
Baca: Rwanda Masa Kini, Negeri Penuh Harapan
Libya dan Sudan kondisinya sama. Kacau balau, melemah, jadi negara gagal, jauh dari stabilitas, konflik internal berkepanjangan.
Libya dan Sudan saat ini, tidak mampu berkontribusi banyak pada perjuangan rakyat Palestina. Kehabisan tenaga bertengkar sesama sendiri. Alih-alih bergotong royong menyerang Israel, lebih baik memenangkan perang melawan musuh dalam negeri sendiri. Jadi, Suriah dinilai akan jadi ‘Libya jilid-II,’ atau jilid III jika Sudan dianggap Libya jilid II.
Penilaian seperti itu belum tentu benar. Bergantung pada keberhasilan faksi-faksi bersenjata Suriah berunding berbagi kekuasaan dalam pemerintahan baru. Jika gagal, maka faksi HTS (Hayat Tahir Syam) akan berperang dengan faksi SNA (Tentara Nasional Suriah), keduanya koalisi terbesar pemberontak saat ini yang bersama-sama membentuk pemerintahan baru.
Tanda-tanda konflik internal setelah revolusi Suriah mulai kelihatan. SNA mulai menyerang dan merebut wilayah kekuasaan SDF (Tentara Demokratik Suriah) yang dikendalikan etnik Kurdi. SDF padahal, satu dari tiga koalisi besar pemberontak yang menumbangkan Bashar Assad.
Berbagai media melaporkan, SNA sejauh ini sudah berhasil merebut Manbij, salah satu kota di utara Suriah, yang sebelumnya dikuasai SDF. SNA dalam hal ini disokong oleh kekuatan militer Turki, yang cemas dengan pertumbuhan kekuatan etnik Kurdi. Bagaimanapun, Kurdi di Suriah telah dicurigai bersama-sama Kurdi di Turki, Iran, dan Irak sedang berjuang mendirikan negara sendiri.
Israel Berjaya
Sementara Turki dan SNA sibuk merebut wilayah kekuasan faksi SDF di utara Suriah, Israel dengan tenang melenggang tanpa hambatan mencaplok satu persatu kota-kota di Selatan Suriah. Pergerakan tentara Israel (IDF) masuk dari dataran tinggi Golan, wilayah Suriah yang sudah lama diduduki Israel. Dalam waktu kurang dari dua hari, tentara Israel sudah menguasai kota-kota di Quneitra menuju arah Damaskus.
Tentara Israel berada 40 kilometer lagi dari Damaskus, Ibu Kota Suriah. Al Mayadeen melaporkan jarak antara tentara Israel dan Damaskus hanya 25 kilometer lagi. Dalam berita terbarunya, jurnalis Reuters bahkan mengatakan hanya 20 km lagi. Tidak sulit bagi tank-tank militer Angkatan Darat Israel untuk melanjutkan invasi menduduki Damaskus. Jika Netanyahu menginginkan itu.
Tentu saja, Netanyahu tidak mungkin memerintahkan militernya menduduki Damaskus saat ini. Kepentingan militer Israel dalam waktu dekat adalah memotong jalur darat pasokan senjata dari Iran ke Hizbullah Libanon dan Hamas Palestina. Untuk kepentingan ini, Israel tidak perlu menduduki Damaskus, cukup menguasai kota-kota di Selatan Suriah yang berbatasan dengan Libanon.
Usaha Israel memutus rute pasokan senjata Iran ke Libanon dan Palestina selama ini selalu gagal karena Suriah memainkan peran kunci dalam jaringan poros perlawanan. Bashar Assad melindungi rute-rute pasokan senjata itu agar tetap aman dan berjalan lancar. Bahkan Iran diberi izin mendirikan pabrik-pabrik senjata di Suriah untuk kebutuhan poros perlawanan Irak, Yaman, Libanon, dan Palestina.
Saat ini, Israel berhasil memblokade jalur pengiriman darat senjata dan amunisi dari Iran. Dengan kata lain, Israel telah berjaya mengisolir Hizbullah di Libanon dan Hamas di Palestina. Dengan cara itu, keamanan Israel lebih terjamin. Seluruh kekhawatiran Israel telah sirna.
Pelumpuhan militer Hizbullah Libanon saat ini, disambut baik oleh elemen-elemen anti-Hizbullah di dalam negeri. Terutama kekuatan koalisi partai-partai politik lawan Hizbullah yang konsisten dalam 30 tahun terakhir menuntut pelucutan senjata sayap militer Hizbullah. Padahal, tanpa senjata Hizbullah, sebagian tanah Libanon selatan yang diduduki Israel tidak pernah bisa dibebaskan seperti saat ini. Bernasib sama dengan Golan Suriah.
Suriah Baru
Lalu, kita abaikan fakta-fakta di atas, coba kita berpikir lebih optimis. Bahwa revolusi Suriah saat ini membuka jalan lebih mudah bagi kemerdekaan Palestina. Untuk mendalilkan pikiran optimis ini, perlu beberapa penjelasan.
Pertama, bagaimana pemerintahan baru Suriah datang membebaskan Palestina. Sementara Israel telah menduduki kota-kota dan provinsi-provinsi di selatan Suriah. Mampukah HTS dan SNA mengambil kembali wilayah-wilayah Suriah yang sudah dicaplok Israel saat ini?
Kedua, dalam 50 tahun terakhir, Suriah gagal mengusir Israel dari dataran tinggi Golan. Assad bahkan melarang Iran menyerang posisi militer Israel di Golan atas pertimbangan-pertimbangan yang belum diketahui. Selama Suriah tidak mampu membebaskan tanahnya sendiri dari pendudukan Israel, jangan mimpi Suriah mampu membebaskan Palestina. Selama ini, Suriah membatasi perannya sebagai penghubung antara Iran, Libanon, dan Palestina. Masih efektifkah peran ini bagi Suriah ke depan?
Ketiga, sejak kejatuhan Assad, pesawat tempur Israel telah menyerang nyaris 500 titik untuk menghancurkan infrastruktur militer Suriah. Terutama, pusat-pusat riset teknologi militer dan sistem pertahanan udara Suriah yang selama ini dibangun oleh Rusia. Analisis memprediksi 70 hingga 80 persen teknologi militer Suriah sudah dihancurkan Israel dalam 3 hari terakhir.
Faksi pemberontak HTS dan SNA tidak memiliki teknologi militer yang memadai untuk mengimbangi militer Israel ke depan. Dalam kondisi semalang ini, masih mungkinkah militer baru Suriah berani menentang Israel yang digdaya?
Keempat, Turki berkontribusi besar mendukung pemberontak menumbangkan Bashar Assad. Karena itu, Turki bakal menjadi salah satu kekuatan regional yang dominan menentukan arah geopolitik Pemerintah Suriah yang baru. Dengan rekam jejak Turki selama ini yang setengah hati mendukung Hamas berperang dengan Israel, bukankah lebih masuk akal Turki juga akan menghalangi Pemerintahan baru Suriah habis-habisan mendukung perang kemerdekaan rakyat Palestina?
Walhasil, mungkin terlalu berlebihan mengharapkan revolusi Suriah mampu mempercepat kemerdekaan Palestina. Negeri yang hancur-hancuran akibat perang saudara lebih satu dekade, tidak mungkin diberi beban sebesar itu. Syukur-syukur, revolusi Suriah bisa menyatukan kembali rakyatnya yang sudah lama saling membenci dan memusuhi.
Satu lagi, jika Pemerintahan baru Suriah komit mendukung perjuangan Palestina, HTS dan SNA perlu mempertimbangkan bergabung kembali dalam poros perlawanan di bawah kepemimpinan Iran. Nyatanya, Iran yang sudah punya jaringan milisi luas di berbagai negara Timur Tengah saja kewalahan menghancurkan militer Israel, apalagi jika Suriah berpikir dapat melakukannya sendiri tanpa sekutu. Sangat mustahil!
Setelah revolusi Suriah, perjuangan bersenjata memerdekakan Palestina ke depan tampaknya makin melemah.
Affan Ramli, Pegiat Kajian Timur Tengah di KSAF Institute.