Komparatif.ID, Jakarta—Rancangan Undang-Undang untuk melakukan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, mendapatkan perhatian khusus dari akademisi dan penggiat Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Para akademisi dan aktivis memberikan pandangan tentang bahaya laten yang kelak akan memasung demokrasi, bila revisi UU Kepolisian berhasil dilakukan. Karena terdapat sejumlah penguatan kewenangan yang menjadi pintu masuk bagi kepolisian semakin grasa-grusu dalam bertindak.
Kegelisahan elemen sipil dibahas dalam diskusi daring bertajuk “RUU Polri Melenggang Impunitas Melanggeng”. Diskusi tersebut digelar oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Publik Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Rabu (3/7/2024).
Diskusi tersebut menghadirkan tiga pembicara yaitu Bivitri Susanti yang merupakan dosen pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Selanjutnya Ahmad Sofian, dosen Fakultas Hukum Binus University, dan Andi Muhammad Rezaldy, Wakil Koordinator KontraS.
Baca: 13 LSM Kecam Pengusiran Rohingya dari Bireuen dan Aceh Utara
Pada diskusi online yang dipandu oleh moderator Bugivia Maharani yang merupakan peneliti PSHK, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo.
Ketiga institusi tersebut masuk dalam agenda nawacita supaya direformasi. Dengan harapannya, kelak lembaga penegakan hukum di Indonesia bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.
Dalam pidatonya pada peringatan Hari Bhayangkara tahun 2015, Presiden Jokowi menyampaikan Polri merupakan kunci masa depan.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga menyampaikan komitmen reformasi kepolisian dalam beberapa kesempatan. Jenderal Sigit mengatakan polisi akan melakukan reformasi internal.
“Tetapi pada faktanya dari pemantauan dan advokasi yang kami lakukan, KontraS masih menemukan berbagai macam masalah, berbagai pelanggaran HAM maupun pelanggaran hukum yang dilakukan aparat kepolisian di berbagai tingkat,” sebut Andi Muhammad Rezaldy.
Menurut catatan KontraS, sepanjang Juli 2023-Juni 2024, terjadi 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Polres dengan 125 peristiwa, dan kepolisian daerah dengan 96 peristiwa.
Pemantauan KontraS menunjukkan bahwa satuan yang paling banyak terlibat dalam peristiwa kekerasan adalah satuan reserse kriminal (satreskrim) dengan 342 peristiwa. Peristiwa kekerasan tersebut menyebabkan 759 korban luka dan 38 korban tewas.
“Jenis tindak kekerasan yang terlibat anggota kepolisian mayoritas berhubungan dengan penembakan, penganiayaan, penangkapan sewenang wenang, pembubaran paksa serta intimidasi,” terang aktivis HAM tersebut.
Dia menjelaskan, hingga saat ini penderitaan yang dialami masyarakat akibat dari penggunaan kekuatan berlebih –tindak kekerasan– yang dilakukan oleh aparat kepolisian, sudah menunjukkan level kekecewaan yang sangat maksimal terhadap institusi kepolisian.
Rezaldy juga mengatakan, kekerasan masih terlihat sebagai kultur di tubuh kepolisian. Demikian juga impunitas masih tampak sampai saat ini. Kekerasan dalam tindakan kepolisian masih digunakan sebagai pendekatan lumrah oleh anggota kepolisian di lapangan.
Sayangnya, kelaziman melakukan tindak kekerasan, tidak tidak mendapat sanksi etik ataupun mempertanggungjawabkan perbuatanya secara pidana. Bilapun ada sanksi, cenderung ringan dan tidak memberikan efek jera.
Andi Muhammad Rezaldy menyorot Pasal 14 ayat (1) huruf b RUU Kepolisian, yang menyatakan Polri memiliki tugas untuk melakukan kegiatan pembinaan, pengawasan dan pengamanan ruang siber.
Pasal 16 ayat(1) huruf q menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud oleh Pasal 14 Polri berwenang untuk: melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika penyelenggara jasa telekomunikasi.
Kewenangan tersebut menurut KontraS Indonesia berpotensi menyebabkan terjadinya tindakan maladministrasi dan perbuatan melawan hukum. Karena melalui Putusan Nomor. 230/G/TF/2019/PTUN-JKT, dinyatakan bahwa pemerintah hanya dapat melakukan pemutusan akses terhadap informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum saja dan tidak mencakup pemutusan akses terhadap jaringan internet secara sepenuhnya.
Bila RUU Polri berhasil disahkan, maka yang terjadi adalah semakin terbuka lebarnya risiko pelanggaran HAM dan kebebasan sipil warga negara. Kewenangan tersebut dapat menjadi “justifikasi” untuk “mengawasi” dan “menargetkan” media, organisasi masyarakat sipil dan warga negara yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Berdasarkan riset dari Amnesty International,Polri menjadi salah satu lembaga yang membeli alat spyware guna melakukan surveillance terhadap kegiatan warga di ruang siber.
Bilapun revisi tersebut tetap berjalan, Andi menjelaskan ada tiga isu penting yang harus menjadi perhatian. Pertama, pemberian kewenangan harus diikuti dengan pengawasan. Kedua, kewenangan penegak hukum harus berada dalam koridor hukum acara yang berbasis perlindungan HAM. Ketiga, masalah utama dalam politik perundang undangan adalah penggunakan kata yang punya makna ganda.
Kritik lainnya yang ia sampaikan, Polri sebagai institusi penegakan hukum, harus membuat kewenangannya dalam konteks perbaikan hukum acara pidana. Tidak terbalik; penguatan institusinya dulu baru kemudian hukum acara pidananya.
Revisi UU Kepolisian Indonesia juga melanggar proses legislasi. Selain melanggar prinsip, juga berpotensi diuji di Mahkamah Konstitusi.
Revisi UU Polri dengan draf yang sekarang, akan membuat kewenangan Polri makin besar, tanpa telaah mendalam terlebih dulu mengenai bagaimana menyeimbangkan kewenangan dengan pengawasan.
“Reformasi kepolisian memang diperlukan, tetapi revisi UU yang saat ini tengah dilakukan, bukanlah dalam konteks reformasi, tetapi justru memberikan kewenangan berlebih dengan pengawasan yang minim.”