Review Buku: Essays of Travel Catatan Perjalanan

Buku digital Essays of Travel Catatan Perjalanan yang ditulis Taufik Al Mubarak, merupakan kumpulan reportase trivia yang disajikan ringan, menarik, dan asyik. Sebagai mantan jurnalis, kolumnis, aktivis, dan penikmat perjalanan, Taufik Al Mubarak berhasil menyajikan semua yang ia amati ke dalam tulisan ringan yang easy.

Buku dengan jumlah 105 halaman, diterbitkan oleh PingkomStore pada tahun 2025. Artinya buku Essays of Travel Catatan Perjalanan, masih sangat segar. Baru terbit. Bila diibaratkan dengan sajian tuna sashimi, buku tersebut seperti tuna yang baru ditangkap, kemudian langsung disajikan kepada konsumen.

Pernyataan ini tidaklah hiperbola. Taufik Al Mubarak sejak dulu dikenal sebagai penyaji cerita yang baik. Ia telaten dalam menulis, cermat menyusun kata, dan rajin melakukan uji informasi dan self editing.

Essays of Travel Catatan Perjalanan, dibagi dalam tiga chapter. Sebagai pembuka, pada bagian pertama, Taufik membuka awal kalam dengan kisah satu malam di Singapura.

Baca: Singapura Pertimbangkan Opsi Hukum Campuk untuk Pelaku Penipuan

Perjalanan jalan-jalan dirinya dan seorang teman ke Singapura pada Mei 2009. Perjalanan ke Singapura tidak muncul tiba-tiba. Tapi telah ia rencanakan jauh-jauh hari. Taufik yang dari Mukim Trueng Camplie di tepian Selat Malaka di Pidie, sangat penasaran dengan Singapura yang telah menjadi negara sangat maju di Asia Tenggara.

Tidak mudah masuk Singapura. Anda bisa ditolak kapan saja oleh Imigrasi Singapura. Bila beruntung, setelah proses berbelit-belit, Anda bisa masuk ke Singapore. Tapi satu hal menarik, berbelitnya petugas di sana, bukan karena persoalan korupsi, tapi lebih kepada upaya mereka melindungi negerinya dari serangan luar.

Taufik ke Singapura dengan menumpang kereta api. Dengan pengalaman minim karena belum pernah ke Singapura, ia akhirnya harus berhadapan dengan pihak Imigrasi Singapura di Stasiun Johor.

taufik al mubarak
Taufik Al Mubarak. Foto: Koleksi pribadi.

Di Imigrasi passport miliknya di-scaning. Tidak muncul preview di layar monitor milik petugas otoritas imigrasi. Mereka bertanya apakah passport tersebut baru dibuat? Taufik mengangguk. Ia menjelaskan bila passport tersebut baru sebulan lalu dibuat, sebelum ia bertandang ke Malaysia.

Dia diminta masuk ke ruangan imigrasi. Di sana ditanyai apa saja oleh petugas intelijen. Petugas intelijen itu juga menanyakan selama di Malaysia ia ngapain saja.

Tidak mudah bagi Taufik masuk ke Singapura. Setelah diperiksa dalam tempo yang tidak singkat, diejek oleh petugas imigrasi berbangsa Melayu karena bahasa Inggris Taufik yang terbatas, hingga keringat dingin yang keluar, membuatnya harus mengulang proses pengambilan sidik jari.

“Saat itu aku merasa jadi orang sangat berbahaya. Apalagi mereka turut merekam bentuk wajah, telinga, hidung, mata, hingga jempol kaki.” Tulis Taufik.

Seperti kata pepatah Aceh, Singapura bagi Taufik seperti Cina Canton nonton seudati. Ia tidak tahu harus ke mana setelah menginjak tanah negeri singa pura-pura itu.

Seperti orang pedalaman yang baru pertama kali datang ke kota besar, demikianlah Taufik saat itu. Ia mengandalkan rasa penasarannya, yang membuat sopir taksi bersungut-sungut karena penumpang yang dibawanya tidak tahu apa-apa soal tempat yang dikunjungi.

Di taman dekat Patung Marlion, di tengah pelukan malam yang dingin, Taufik dan temannya menemukan suasana yang lain dari di nanggroe. Manusia yang berpasang-pasangan memperlihatkan kemesraan di depan publik. Mereka tidak menghiraukan orang lain. Apalagi anak muda Trueng Camplie yang duduk sembari mengisap rokok dalam-dalam sambil memperhatikan para majusi sedang menghabiskan malam di ruang terbuka di taman kota.

Taufik juga mendapatkan pemandangan gratis, sepasang bule tua yang bermesraan di depan pria penikmat kopi sanger tersebut. Taufik dan temannya hanya tersenyum jenaka. Kemudian baru menyadari sesuatu. Bahwa hanya mereka berdua yang tidak membawa perempuan. Maka pantaslah ada mata yang melihat mereka dengan cara unik. Mungkin orang lain menduga bila Taufik dan temannya sebagai pasangan homo.

***

Essays of Travel Catatan Perjalanan ditulis dengan gaya reportase. Nuansa laporan jurnalistik mau tak mau tersaji kentara. Sebagai sosok yang cukup lama berkecimpung di dunia jurnalistik, Taufik tak bisa menghilangkannya dari tulisan-tulisan yang ia buat.

Buku bergaya reportase tersebut menjadi kekuatan lain, mengapa Essays of Travel Catatan Perjalanan harus dimiliki oleh setiap orang. Taufik menghidangkan kepada kita sebuah kisah perjalanan yang menarik, jenaka, terkadang kritis, dan tentu saja asyik.

Sebagai buku digital Essays of Travel Catatan Perjalanan, Taufik menjualnya dengan harga yang sangat bersahabat dengan kantong rakyat Aceh yang sedang dilema karena ekonomi kian memburuk. Anda cukup membayarnya Rp49 ribu, maka Taufik akan mengirimkannya kepada Anda.

Buku ini juga dijual di Google Play, tapi karena ribetnya sistem pembayaran di sana, akhirnya juga dijual secara langsung tanpa perantara.

Sudah, jangan tunda lagi, kapan lagi Anda berkesempatan menunggu sahur atau menunggu waktu berbuka, sembari membaca buku digital yang menyajikan tulisan menarik serta ringan.

Buku Essays of Travel Catatan Perjalanan merupakan salah satu bentuk fund rising untuk Taufik yang sedang menjalankan misi #pergiajadulu. Ya, dia sedang di Malaysia, dalam rangka menyusun tulisan dan video perjalanan terbaru, sembari berharap Aceh akan baik sepeninggalnya.

Bagi Anda yang tertarik belanja buku Essays of Travel Catatan Perjalanan, sila ikuti metode pembelian seperti di bawah ini:

Nama Pulan_Transfer Dana ke (GoPay, OVO, dan DANA: 081269070474)

*Note: buku dalam format pdf dan E-PUB, bisa kirim via WA atau Email. Bukti transfer kirim ke WA (081269070474) atau inbox FB.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here