Resep Palsu Pengentasan Kemiskinan di Aceh

Muhajir Juli menyebutkan kemiskinan di Aceh menjadi lingkaran setan karena diobati dengan resep palsu.
Muhajir Juli menyebutkan kemiskinan di Aceh menjadi lingkaran setan karena diobati dengan resep palsu.

17 tahun damai Aceh, sepertinya belum cukup waktu bagi birokrasi dan politisi di Aceh untuk membuka mata hati, bahwa pola pengentasan kemiskinan yang telah mendarah daging dilakukan di Indonesia, merupakan sebuah resep palsu yang dibuat untuk gagal.

15 Agustus 2005, tepuk tangan bergemuruh di seluruh Aceh. Perang panjang yang melahirkan penderitaan tak terperi, akhirnya berakhir dengan sentosa. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang diteken antara delegasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan delegasi Pemerintah Republik Indonesia, menjadi pilar penting bagi Aceh untuk Menyusun mimpi baru, menuju Serambi Mekkah yang bertamaddun.

Banyak mimpi digantungkan kepada Gerakan politik lokal kala itu. Elit-elit GAM, hingga eksponen sipil dan militer GAM yang bertransformasi dalam organisasi transisi seperti Komite Peralihan Aceh, menjadi tempat menautkan harapan oleh orang Aceh yang sudah muak dengan perang, dan sudah sangat jenuh dengan kemiskinan.

Tapi, seiring perjalanan waktu, harapan agar Aceh kembali makmur seperti masa lalu, hingga 17 tahun, masih jauh panggang dari api. Meskipun dana otsus sudah digelontorkan—2008-2021- ke Aceh Rp92 triliun, tapi belum mampu menjawab persoalan mendasar yaitu kemiskinan. Dengan jumlah APBD Aceh yang begitu besar, dan jumlah penduduk yang hanya 5 juta orang, telah terjadi ketidakseimbangan antara outcome dan output pembangunan.

Elit-elit Aceh seperti kaum yang kehilangan mimpi. Etos mereka dalam mewujudkan pembangunan tidak sekuat Yahudi yang memupuk mimpi lebih dari 2000 tahun, agar bisa kembali ke Yerussalem.
Etos kerja dan mimpi elit Aceh tidak mengakar laksana Jepang yang bangkit kembali setelah luluh lantak diterjang bom atom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki. Cita-cita elit Aceh tidak seteguh Singapura yang bangkit menjadi negara terkemuka setelah dibuang dari Federasi Malaysia.

Mengapa saya menyebutkannya demikian? Karena saya meyakini bahwa semua orang pintar di Aceh, semua pengambil kebijakan di Aceh mengetahui bahwa ada persoalan mendasar yang selama ini menjadi acuan kemiskinan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Bahwa telah sekian lama pengentasan kemiskinan di negeri ini menggunakan resep yang dibuat oleh “dokter” World Bank, yang telah terbukti merupakan resep palsu pembangunan.

Indonesia pascareformasi terjebak dalam skema lingkaran setan trap IMF dan World Bank. Ide-ide besar seperti pengembangan pesawat R80 yang dirintis oleh Presiden ke-3 BJ Habibie melalui bendera swasta PT Regio Aviasi Industri (RAI) sebagai penerus pengembangan pesawat N250 yang tertunda kala krisis 1998,kini, proyek itu terancam kembali tertunda terealisasi. Pemerintah mencoret proyek R80 dari daftar proyek strategis nasional 2020-2024.

Meskipun pemerintah melalui kementerian terkait menyatakan komitmen melanjutkan proyek tersebut, tapi dengan tidak masuknya R80 ke PSN 2021-2024, menjadi pertanda bila proyek yang bila dilakukan itu akan menjadi lumbung baru ekonomi Indonesia, akan gagal.

Mengapa R80 tidak masuk PSN? Karena bila itu diteruskan dengan pembiayaan penuh oleh negara, maka monopoli Boeing dan Airbus akan berakhir di sektor aviasi kelas kecil menengah. Karena R80 yang dikonsepkan oleh Habibie memiliki sejumlah keunggulan. Bahkan sejak awal Pemerintah sudah menyatakan tidak akan memberikan dukungan pendanaan untuk R80.

Itu baru satu sektor. Meskipun seksi dan menjanjikan tapi tidak bisa dikembangkan lebih jauh, karena Indonesia masih terjerat utang dengan IMF.

Resep palsu World Bank secara massif diadopsi oleh berbagai lembaga negara, termasuk Bappenas dan turunannya ke bawah. Mereka itu, setiap kali berbicara tentang kemiskinan, selalu yang menjadi faktor penyebab adalah beras, ikan, dan rokok. Dalam konteks ini, alat ukurnya merujuk kepada World Bank. Badan Pusat Statistik (BPS) juga menggunakan definisi, kriteria dan tolok ukur kemiskinan yang dibuat oleh WB.

Makanya, setiap tahun, untuk menurunkan jumlah angka kemiskinan, pemerintah melakukan pembagian bantuan sosial jelang survey BPS. Bila diibaratkan, seseorang yang sedang sakit, diberikan obat penghilang rasa sakit, yang sifatnya bekerja untuk sementara waktu. Bila dosis habis, maka ia kembali sakit.

Apa yang menyebabkan seseorang miskin? Apakah benar karena mereka mengonsumsi beras, ikan, sayur mayur, dan rokok? Apakah ketidakmampuan membangun rumah layak huni karena orang miskin mengonsumsi beras, ikan, rokok, sayur mayur? Bagaimana bila bila beras kita ganti dengan gandum, ikan kita ganti dengan daging, rokok kita ganti dengan sisha, sayur kita ganti dengan kurma? Apakah kemiskinan akan hilang? Tentu saja tidak. Karena komoditi di atas adalah kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Makanan dan minuman merupakan alat agar manusia bisa hidup.

Untuk hidup sejahtera, mereka butuh intervensi lain yaitu pekerjaan yang dapat memberikan pemasukan—paling minimal– yang sesuai dengan kebutuhan. Setidaknya mereka membutuhkan pendapatan sesuai dengan UMP. Tanpa pekerjaan dengan upah yang pantas, tanpa keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja, mustahil kemandirian dan kesejahteraan akan terwujud. Di sisi lain, sumber daya alam yang begitu melimpah di Aceh, menjadi “misteri” sekaligus kutukan bagi rakyat miskin.

Masukan untuk Pj Gubernur Aceh

Saya kira Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki cukup paham dengan lingkar setan permasalahan ekonomi di Aceh. oleh karenanya, agar tidak berkutat dengan pola pengentasan kemiskinan menggunakan resep palsu, kiranya Achmad Marzuki perlu melakukan terobosan-terobosan berani dan konsisten.

Untuk mengeluarkan rakyat Aceh dari lumbung kemiskinan, perlu adanya langkah srategis, mulai dari pembukaan lapangan kerja, peningkatan life skill tenaga kerja, hingga jaminan berusaha yang mudah, bertanggung jawab, serta pro rakyat.

Saya tetap mendukung bila ia memberikan perhatian kepada UMKM. Tapi jangan sampai itu menjadi fokus utama. Karena UMKM layaknya sektor pariwisata, tidak mungkin akan tumbuh, bila masyarakat Aceh masih hidup dalam kemiskinan.

Marilah kembali ke hakikat pembangunan nasional; pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya; Ada keselarasan, keserasian, kesimbangan, dan kebulatan yang utuh dalam seluruh kegiatan pembangunan.

Percayalah, ketika lapangan kerja sudah terbuka lebar, ketika life skill rakyat telah mumpuni, makan kesejahteraan akan naik, dan dengan demikian, kemiskinan akan terdegradasi secara pasti. Bila itu sudah terjadi, percayalah, beras, ikan, rokok, dan sayur-mayur tidak lagi menjadi komoditas “tertuduh”.

Aceh bukan kekurangan uang. Tapi Aceh kekurangan pemimpin dan birokrat visioner. Aceh tidak kekurangan rencana, tapi Aceh kekurangan pemimpin dan birokrat yang bercita-cita jangka panjang. Itulah yang menyebabkan lahirnya simbiosis mutualiasme antar individu di lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang menjadi parasit pembangunan. mereka lihai memanfaatkan resep palsu untuk mengibuli rakyat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here