Indeks survey toleransi yang disusun di Indonesia dibangun atas tiang yang rapuh. Peristiwa konflik antar-ormas di Bitung, merupakan bopeng besar bagi pola indeks survey toleransi yang diagung-agungkan itu.
Meletusnya konflik antar-ormas beragama karena kasus simbol Israel dan Palestina di Bitung, Sulawesi Utara mengagetkan. Provinsi Sulawesi Utara yang kerap ditempatkan pada posisi papan atas dalam indeks toleransi beragama, justru porak-poranda karena benturan antar-ormas beragama. Bahkan, telah memakan korban jiwa dan beberapa orang luka-luka. Mayoritas penduduk Bitung adalah Kristen Protestan, selebihnya Bitung memiliki masyarakat multietnis karena berada di kawasan pesisir Sulawesi Utara.
Dalam survey yang dilakukan diriilis oleh Kementerian Dalam Negeri, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Setara Institute tahun 2021, menempatkan kawasan Sulawesi Utara dalam jajaran provinsi paling toleran di Indonesia, dengan skor 6.200 dan berada pada posisi ketiga, selain itu ada Salatiga, Singkawang, Kupang, Surabaya, Ambon, Kediri, Sukabumi dan Bekasi. Pun, Sulawesi Utara khususnya Manado telah empat kali meraih penghargaan kota paling toleran sejak 2015.
Baca: Laskar Manguni Bubarkan Aksi Solidaritas Palestina di Bitung
Selama ini, survey-survey yang dilakukan oleh lembaga pengusung paradigma toleransi beragama memang terkesan cenderung mensubordinasi kawasan-kawasan dengan mayoritas Islam, seperti Aceh dan Minangkabau. Kedua daerah tersebut selalu berada di papan bawah dan dipandang bermasalah dalam hal toleransi beragama.
Dua kawasan ini, sejak dulu memang dikenal kental dengan identitas keislamannya, dan jarang membuka ruang bagi perbedaan keyakinan. Memang tak ditampik, jika gesekan beragama inter-umat Islam di dua kawasan ini juga menjadi akar persoalan integrasi. Pun demikian, konflik antar-umat beragama di Aceh hampir jarang terdengar, kecuali di perbatasan Aceh yang menyoal izin pendirian rumah ibadah karena dinilai mengangkangi konsensus lama.
Indeks Survey Toleransi Bermasalah
Dalam kasus Bitung, Sulawesi Utara, moderasi dan toleransi beragama memang harus dibaca secara kualitas, tidak cukup dengan angka dan survey. Toleransi beragama secara teori untuk diaplikasi memang sangat rapuh, ia berada di lapisan paling atas di bawah tumpukan radikalisme (etnis dan keyakinan) yang mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Kapan saja, dapat membuncah sebagai simbol identitas dan perlawanan atas nama etnis dan agama-terutama merespon isu global, transnasional dan nasional. Apalagi di Indonesia, etnis dan agama kerap menjadi alat yang menyebabkan gesekan antar-masyarakat. Sejarah konflik etnis dan agama tak dapat dihilangkan begitu saja. Apalagi dengan publikasi indeks survey toleransi.
Artinya, pekerjaan rumah bagi Kementerian Agama, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan lembaga yang berafiliasi pada harmonisasi masyarakat masih mengangga lebar, terutama dalam rangka mendisiplinkan benih-benih intoleransi. Integrasi nilai kebangsaan perlu lebih ditingkatkan bagi masyarakat, tidak cukup dengan pelatihan hanya kepada aparatur negara dan merilis hasil survey di media, dan kerap memojokkan beberapa provinsi lain karena ditengarai tidak intoleran. Justru, pada saat membuncah konflik antar-umat beragama di kawasan yang diberikan lampu hijau tingginya indeks toleransi beragama, tiang toleransi berbasis survey sedang patah. Perlu hasil penelitian yang lebih kongkrit dengan basis kualitatif untuk membaca benih intoleransi di tengah masyarakat Indonesia, mulai dari Sabang hingga Papua.
Peristiwa Bitung membuka cakrawala kita tentang kualitas sebuah indeks survey toleransi, bahwa indeks survey toleransi yang disusun belumlah mendalam. Sekadar survey di atas air yang tidak meneropong isi lautan.