Rahmat Hidayat, dari Abang Becak Jadi Wartawan Berprestasi di Bireuen

Rahmat Hidayat
Rahmat Hidayat, saat menerima piagam penghargaan dari Pj Bupati Bireuen beberapa waktu lalu. Foto: HO for Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Bireuen—Rahmat Hidayat membuktikan teori bahwa siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan mendapatkan hasil yang luar biasa. Wartawan spesialis informasi kebencanaan tersebut, memulai karirnya sebagai wartawan dari minus.

Pria kelahiran Bireuen, 27 Juni 1979 itu tak pernah membayangkan dirinya akan menjadi wartawan. Seusai putus sekolah, demi bertahan hidup ia menjadi abang becak kayuh di Kota Bireuen, melayani penumpang dari satu tempat ke tempat lain di Kota Bireuen dan sekitarnya.

Semasa SMA Rahmat Hidayat mengakui dirinya termasuk siswa badung. Kegemarannya bolos sekolah. Maka tak heran bila ia pernah bersekolah di SMA Negeri 2 Bireuen, Sekolah Teknik Menengah (STM) Rekayasa Bireuen, SMA Negeri 1 Peudada. Di tiap sekolah dia tidak berlama-lama. Karena saking badungnya, Rahmat dikeluarkan.

Karena tak kunjung lurus dalam menempuh pendidikan menengah atas, dia sempat menganggur setahun. Kemudian dia didaftarkan ke SMK Kimia PGRI yang berlokasi di dekat Kuburan Cina, Buket Teukuh, Bireuen. Dia memilih Jurusan Analis Kimia empat tahun. Cita-citanya kala itu ingin bekerja sebagai ahli kimia di laboratorium.

Baca: PO PMTOH, Bus Tertua Duta Serambi Mekkah

Cita-citanya sangat keren. Dia mencoba bertahan dengan segala godaan. Tapi lagi-lagi penyakit badungnya kambuh. Baru dua tahun bersekolah di sana, ia mundur.

“Saya sekolah di SMK Kimia PGRI tahun 1997-1998. Cita-cita menjadi tenaga ahli laboratorium buyar begitu saja,” katanya, Selasa (21/5/2024).

Setelah tak lagi bersekolah, Rahmat Hidayat luntang-lantung di Kota Bireuen. Bekerja apa saja asal mendapatkan uang halal.

Di tengah kerja serabutan, ia jatuh cinta kepada seorang gadis. Si gadis membalas cinta Rahmat. Mereka pun menikah.

Setelah menikah, Rahmat harus lebih rajin. Belahan jiwanya tentu harus ia penuhi kebutuhan sandang dan pangan.

Ia pun mencari pekerjaan yang lebih pasti. Pilihannya jatuh ke abang becak. Bayangkan, pria kurus itu mengayuh becak. Tatkala becaknya ditumpangi oleh penumpang gendut, ia harus mengayuh menggunakan tenaga ekstra.

Suatu hari, pada tahun 1999, dia mendapatkan dua orang penumpang dari kota Bireuen menuju Cot Gapu. Ongkosnya Rp5.000. Tiba di depan Pengadilan Negeri, Rahmat harus berjingkrak mengayuh sepeda.

Betisnya yang kurus sampai gemetaran. Peluhnya semakin banyak bercucuran. Di bawah terik matahari yang menyengat kulit, Rahmat pura-pura kuat, demi kenyamanan dua penumpang yang bertubuh tambun.

Baca: Perempuan Muda di Bisnis Esek-esek di Serambi Mekkah

Beberapa kali, kala sedang mengantarkan penumpang, dirinya terjebak kontak senjata antara pasukan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka versus tentara pemerintah. Jantung berdegup sangat kencang. Doa keselamatan dipanjatkan Rahmat tiada henti.

“Adrenalin saya berpacu dua kali lipat. Saya berdoa semoga saya dan penumpang tidak menjadi korban peluru nyasar,” katanya mengenang masa kelam itu.

Tatkala menjadi abang becak, Rahmat mangkal di depan RSUD dr. Fauziah. Di sana dia tiap hari menunggu penumpang.

Ada kenangan menarik kala ia bekerja sebagai abang becak. Pada tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Bireuen yang saat itu dipimpin Mustafa A Glanggang, menggelar lomba balap becak mesin dalam rangkat HUT ke-58 Republik Indonesia.

Saat itu Rahmat memakai becak motor bermesin Honda Astra 800. Dia dengan semangat tinggi memacu laju becaknya dengan tenaga maksimal. Dia memimpin balapan hingga melintasi tikungan tajam Bundaran Simpang IV. Akan tetapi, kala ia hampir setengah lap lagi mencapai finish, becak lainnya, Honda CB dengan cc lebih besar berhasil mendahului becak Rahmat. Akhirnya dia menggondol juara II.

“Jelang finish becak Honda CB itu menyalip saya. Lajunya lebih kencang karena cc-nya lebih besar. Saya harus puas di posisi kedua,” kenangnya.

Awal Mula Rahmat Hidayat Menjadi Wartawan

Di dunia kewartawanan, Rahmat Hidayat memulainya dari minus. Seperti STY membangun Timnas Indonesia. Demikianlah kira-kira.

Pada suatu hari, pemilik Surat Kabar Mingguan (SKM) Cakrawala Nusantara, Samsul Bahri, yang menetap di Gampong Geulanggang Teungoh, Kecamatan Kota Juang, menumpang becak Rahmat Hidayat.

Dalam perjalanan pulang ke Geulanggang Teungoh, Samsul Bahri mengobrol dengan Rahmat. Sebagai abang becak, ia lebih banyak mendengar. Peristiwa itu kira-kira tahun 2005, setelah gempabumi dan tsunami menghumbalang Aceh.

Samsul Bahri membuka alam pikiran Rahmat Hidayat supaya mencari pekerjaan lain. Owner Cakrawala Nusantara mengajak Rahmat menjadi wartawan.

Mendapat tawaran tersebut, Rahmat ragu. Apakah dia mampu? Tapi Samsul Bahri memberikan penjelasan bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh, pasti akan bisa.

Setelah dia mengantar Samsul Bahri ke kediamannya, Rahmat menyatakan bersedia menjadi wartawan SKM Cakrawala Nusantara. sembari menarik becak, dia memperhatikan kondisi jalan. Di mana dia menemukan jalan rusak, ditandainya. Setelah mengantar penumpang, dia kembali ke tempat itu. ditulisnya narasi pendek-pendek. Setiap hari dia melakukan hal yang sama, hingga kemudian insting jurnalisnya perlahan tumbuh.

Baca: Maulid Nabi, Sejarah dan Hukumnya

Matanya semakin jeli menangkap persoalan sosial di akar rumput. Semua yang ia temukan dicatat, kemudian dibawa ke Redaksi Cakrawala Nusantara. Dengan sabar Samsul Bahri merangkai informasi yang disampaikan Rahmat menjadi berita yang menarik.

Rahmat merasa apa yang telah ia lakukan, harus meningkat. Tak boleh selamanya ia hanya menjadi penyuplai informasi. Akan tetapi dia belum punya pengalaman menulis berita. Dunia jurnalistik masih sebuah misteri besar baginya.

Tak patah arang, dia membaca koran yang ada di warung kopi. Semua berita tentang Bireuen yang ditulis oleh Abdul Mukhti Hasan dan Yusmandin Idris di Harian Serambi Indonesia, dia lahap.

Dia memperhatikan bagaimana koran itu menyajikan informasi. Apa yang harus ditulis terlebih dahulu. Seperti apa penempatan rumus jurnalistik 5 W plus 1 H. Seperti apa lead dibuat. Semua wejangan Samsul Bahri, ia padukan dengan karya jurnalistik yang dimuat di Serambi Indonesia.

Rahmat belajar sambal praktek. Dia meliput, menyusun informasi, dan kemudian mengirimkannya ke redaksi. Lama-kelamaan dia mulai menguasai teknik menulis berita. Pihak redaksi gembira.

Dari Satu Media ke Media Lain

Rahmat Hidayat belajar dan bekerja di SKM Cakrawala Nusantara selama setahun. Pada tahun 2006 dia pindah ke Citra Aceh dan Citra Indonesia Bersatu yang beralamat di Kota Langsa. Di sana dia juga bekerja setahun.

Pada 2007, berbekal rekomendasi Desi Safnita, Rahmat bekerja pada Harian Aceh Independen yang dimiliki oleh H. TA Khalid. Harian tersebut merupakan sebuah surat kabar yang dikelola dengan manajemen surat kabar yang bagus.

Demi menjaga produktifitas, pada Februari 2007, Rahmat berhenti menjadi abang becak. Dia mengucapkan selamat tinggal kepada pekerjaan yang telah ia geluti bertahun-tahun.

Selama di Aceh Independen, Desi Safnita banyak membantunya. Termasuk membimbing dia supaya dapat menulis lebih baik.

Dalam perjalanan Koran Aceh Independen tutup. Rahmat harus mencari koran lain. Berbekal rekomendasi wartawan Harian Rakyat Aceh/Metro Aceh di Bireuen, Bahrul Walidin, Rahmat diberi ruang bergabung ke dalam koran tersebut.

Di Harian Rakyat Aceh, Rahmat sempat menjadi wartawan terbaik pada tahun 2010. Redaksi memberikannya penghargaan.

Di koran Harian Rakyat Aceh Rahmat Hidayat bekerja 10 tahun. Setelah itu dia resign, bekerja di beberapa media secara berturut-turut. Goaceh.id, Metroaceh.com, KBA.One, acehsatu.com, Harian Waspada,kabaraktual, dan terakhir dia bekerja di acehekspress.

Wartawan Berdedikasi

Karena tak sempat menuntaskan pendidikannya, Rahmat Hidayat kemudian mengikuti ujian Paket C pada tahun 2010. Dia lulus di jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial.

Berbekal ijazah tersebut dia kemudian bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Meski secara pendidikan dia agak tertinggal dari sejumlah wartawan lainnya, tetapi tekad baja Rahmat Hidayat mengantarkan dirinya meraih akreditasi sebagai jurnalis berkompetensi muda dari Dewan Pers- AJI Indonesia pada tahun 2023.

Berkat dedikasinya dalam menjalankan tuga sebagai wartawan, Rahmat Hidayat juga telah meraih beberapa penghargaan, antara lain Unimus Award di masa Dr. Amiruddin Idris menjadi Rektor Universitas Almuslim Peusangan, Reward Alibi—Aliansi Penulis Bireuen, Piagam Penghargaan Polres Bireuen di masa Kapolres T. Saladin.

Baru-baru ini Pemerintah Bireuen memberikannya Piagam Penghargaan atas dedikasinya membantu mewartakan penyebarluasan informasi kebakaran di Kabupaten Bireuen. Piagam itu ditandatangani oleh Pj Bupati Bireuen Aulia Sofyan.

Pria kurus yang pernah menjadi Praja Muda Karana (Pramuka) yang juga pernah bercita-cita menjadi sniper, turut meliput tiga kegiatan besar Kepala Negara Ir. Joko Widodo kala sang Presiden berkunjung ke Bireuen.

Ia meliput kunjungan Presiden Jokowi ke lokasi gempa di Pidie Jaya, saat berkunjung ke Dayah MUDI Mesra Samalanga, dan saat digelarnya kenduri Kebangsaan di Sukma Bangsa Bireuen.

Ia juga meliput setiap kali pejabat tinggi negara berkunjung ke Bireuen. Tentu saja sebagai jurnalis spesialis masalah pembangunan di akar rumput, wartawan satu ini tetap aktif meliput persoalan sosial di desa-desa, khususnya kondisi jalan, irigasi, jembatan, dan fasilitas umum lainnya.

Rahmat Hidayat juga wartawan di Bireuen yang paling lengkap mengoleksi data kerusakan jalan di Bireuen.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here