Hj. Iriana binti Ngadijo menjadi buah bibir semenjak Jokowi dan PDIP Pecah kongsi. Awal mula munculnya ide Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, disebut-sebut berasal dari keinginan Iriana. Ketika konflik semakin meruncing, muncul isu bila hubungan antara Iriana dengan keluarga besar Jokowi tidak baik-baik saja.
Publik tidak pernah membahas apakah istri Jokowi menghadiri acara pemakaman Sudjiatmi Notomiharjo, meninggal di Solo pada Rabu 25 Maret 2020 di usia 77 tahun. Ketua DPC PDIP Solo FX Rudi mengatakan bahkan pada peringatan 1000 hari kematian Sudjiatmi, Iriana tetap tidak menghadirinya.
Hubungan baik antara Jokowi dan FX Rudi sebagai sahabat sekaligus kolega politik, berakhir di ujung 2023. Penyebabnya karena Jokowi tidak melarang Gibran yang juga kader PDIP maju dalam ajang Pilpres 2024.
Sebagai teman sekaligus kolega politik, FX Rudi wajar berang. Jokowi merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, demikian juga Gibran Rakabuming Raka. Tapi ketika partai berbasis marhanen tersebut sedang getol-getolnya memperjuangkan Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden 2024, eh, Gibran menyeberang ke kubu Prabowo. Sebagai ayah sekaligus petugas partai, seharusnya Jokowi melarang, bukan malah memberikan dukungan dari belakang.
Baca: PDIP Vs Jokowi: Pembuktian Sang Presiden
Rudi yang tidak pernah membicarakan kekurangan Jokowi sebelumnya, tiba-tiba murka. Ia menampilkan wajah marah—sekaligus kecewa—kepada temannya itu yang kini menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia. Bahkan ketika ada yang menyebut bila sebutan petugas partai kepada Jokowi dinilai berlebihan, Rudi malah membela istilah tersebut yang dipopulerkan oleh Ketua Umum DPP PDIP Megawati Sukarnoputri.
Desas-desus yang kemudian dibenarkan oleh Rudi, bila Iriana kecewa dengan istilah tersebut. Akan tetapi Rudi mengatakan bila kekecewaan terhadap Mega hanya alasan. Karena perempuan kelahiran 1 Oktober 1963 di Surakarta tersebut bahkan tidak menghargai mertuanya sendiri. Dia tetap tidak hadir pada peringatan 1000 hari meninggalnya Sudjiatmi Notomiharjo.
Perihal ada konflik di internal keluarga Jokowi, baru diembuskan baru-baru ini. Tatkala Prabowo dan Gibran telah menjadi peserta Pilpres 2024. Tapi istilah petugas partai telah lama—menurut kabar—mengganggu Iriana.
Sejumlah orang menganggap Megawati seringkali menunjukkan sikap yang tidak patut kepada Presiden Indonesia Ir. Joko Widodo. Dalam pidato-pidatonya ia seringkali menempatkan Joko Widodo sebagai bahan candaan. Padahal kapasitas ia menghadiri acara PDIP sebagai Presiden Indonesia.
Demikian juga sikap Puan Maharani pada sebuah pertemuan terbatas antara Mega, Jokowi, dan Puan. Dia dengan gampangnya mengambil gambar swafoto saat Jokowi sedang duduk di depan Megawati. Perilaku Puan dianggap tidak pantas. Bilapun mereka akrab, foto tersebut tidak layak diposkan ke media sosial. Karena apa pun alasan yang diajukan, Jokowi merupakan Presiden. Bukan tukang kacang rebus, atau intel yang sedang menyamar sebagai pedagang buah di pasar.
Manusiawi bila istri Jikowi kecewa. Mengapa Mega dan Puan memperlakukan suaminya dengan sedemikian rupa. Mengapa mereka tidak bisa menjaga citra baik Jokowi di depan publik. Perilaku Mega dan Puan tidak etis.
Pun demikian, istri Presiden Jokowi—seperti biasa—tetap tidak muncul ke publik; membantah semua hal yang dialamatkan kepadanya? Benarkah ia marah? Benarkah ia punya masalah dengan keluarga suaminya? Benarkah ia yang mendorong paling keras Gibran menjadi wakilnya Prabowo?
Sepanjang Jokowi menjadi Presiden Indonesia, suasana politik Indonesia memang selalu gaduh. Pertentangan terjadi di sana-sini. Di tengah upaya Jokowi membangun Indonesia, hujatan, gunjingan, tuduhan, selalu membersamainya. Di satu sisi ia berhasil membangun meskipun dunia sedang krisis. Di sisi lain, dia dirundung kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah. Dirundung oleh lawan politik, maupun dicandai oleh orang yang seharusnya membela dia sebagai kader.
Iriana Tetap Diam
Nasi telah menjadi bubur. Politik Indonesia telah gaduh tak keruan. Sumber-sumber ekonomi besar tetap berada di tangan para pembesar politik, militer, polisi, dan para konglomerat. Rakyat Indonesia tetap disajikan subsidi yang tidak bisa menghasilkan energi perubahan. Koruptor di sana-sini, penegak hukum banyak yang bermasalah.
Di ujung tahun 2023, mereka yang dulu berpelukan, kini berseberangan. Mereka yang dulu bertikai, kini satu haluan. Semua berubah, kecuali satu hal; rakyat tetap harus memperjuangkan hak-haknya dengan cara-cara lama; bersimbah darah. Kasus Rempang menjadi bukti terbaru. Bahwa hanya untuk bertahan di tanah tempat mereka tumbuh membangun peradaban, harus berhadapan dengan alat negara yang bengis.
Di tengah segenap hiruk pikuk itu, Iriana tetap dengan segenap rahasianya. Muncul ke publik sembari tersenyum. Tidak berkata-kata dan selalu berdiri di belakang Jokowi; sebagai Ibu Negara selama dua periode. Benarkah ibunya Gibran, Kahiyang, dan Kaisang, merupakan ibu suri yang kejam dan berdarah dingin? Hanya waktu yang akan menjawab.