Komparatif.ID, Sibreh— Pasar Sibreh di Aceh Besar selalu punya cara istimewa untuk menghidupkan suasana. Setiap hari Rabu, aroma yang memikat tercium dari berbagai penjuru pasar, menarik orang-orang untuk datang dan mencicipi Kuah Beulangong, sajian khas Aceh Besar yang melegenda.
Bukan sekadar makanan, Kuah Beulangong adalah simbol budaya dan sejarah yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat Aceh, terutama di Aceh Besar.
Kuah Beulangong dibuat dalam porsi besar dengan menggunakan daging sapi, kambing, atau kerbau yang diolah bersama bumbu rempah khas Aceh. Beulangong, atau belanga, adalah kuali besar tempat masakan ini dimasak.
Proses memasaknya unik dan sarat makna spiritual, dengan adukan berlawanan arah jarum jam yang dilakukan sambil berselawat. Tradisi ini bukan hanya tentang cara memasak, tapi juga merupakan ritual simbolik yang melambangkan tawaf dalam ibadah haji.
Hanya kaum pria yang memasak kuah ini, sesuai filosofi leluhur Aceh yang mengajarkan gotong royong dan nilai-nilai kebersamaan. Namun, karena sudah dikomersialkan, pembuatannya kini juga melibatkan kaum perempuan.
Muhammad Isa (26), usai mulai bekerja di salah satu pesantren di Sibreh mengaku tak pernah melewatkan kesempatan menikmati makanan ini setiap hari Rabu. Lulusan salah satu pesantren setempat di Kecamatan Sukamakmur itu telah menetap di Sibreh sejak duduk di bangku SMP.
Bagi Isa, Kuah Beulangong bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang pengalaman dan kenangan yang menghubungkannya dengan tradisi Aceh yang kental. Setiap kali datang ke Pasar Sibreh dan mencicipi Kuah Beulangong.
Baca juga:Museum Tsunami: Monumen Ketangguhan & Edukasi untuk Generasi Mendatang
Isa menggambarkan rasa Kuah Beulangong yang kaya dengan rempah, daging yang empuk, dan kuah yang gurih membuatnya selalu rindu untuk kembali ke pasar ini setiap Rabu.
Bagi Isa, Kuah Beulangong adalah cerminan budaya yang kuat, sesuatu yang tidak hanya memuaskan rasa lapar tetapi juga menyatukan warga sekitar. Melalui makanan ini, ia merasa menjadi bagian dari komunitas yang peduli dan berusaha mempertahankan tradisi turun-temurun.
“Kuah Beulangong lebih dari sekadar makanan, ini juga bagian dari secuil sejarah besar milik Aceh,” ujarnya saat menikmati makanan tersebut di warung Diana, tepat dihadapan Pasar Hewan Sibreh, Rabu (20/10/2024).
Pasar Sibreh memang tidak pernah sepi pada hari pekan, dan kehadiran Kuah Beulangong semakin menambah keramaian itu. Para pengunjung, mulai dari penduduk lokal hingga penjual ternak dari berbagai daerah di Aceh berbondong-bondong untuk mencicipi kuah khas ini.
Kuah Beulangong juga dijual dengan harga yang terjangkau, sehingga bisa dinikmati oleh semua kalangan. Bagi mereka yang pertama kali mencoba, kelezatan dan aroma rempah yang kuat menjadi daya tarik tersendiri.
Sementara bagi yang sudah terbiasa, seperti Isa, Kuah Beulangong tetap memiliki daya magis tersendiri yang membawa kehangatan dan kebersamaan.
Di balik rasa yang khas, Kuah Beulangong menyimpan cerita sejarah panjang. Masakan ini dipercaya mulai diperkenalkan oleh para pedagang Gujarat pada abad ke-16, yang datang ke Aceh untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam.
Pengaruh rempah dan bumbu dari para pedagang ini kemudian berkembang dan menjadi bagian dari kekayaan kuliner Aceh. Makanan ini pun menjadi hidangan yang disajikan dalam berbagai acara besar, dari kenduri perayaan hingga syukuran untuk memohon keselamatan dan kesuburan panen.
Kini, tradisi memasak Kuah Beulangong di Sibreh tetap dilestarikan. Setiap kali memasuki hari Rabu, warga bergotong royong untuk menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan.
Daging yang dipotong-potong, rempah yang ditumbuk, dan bumbu khas yang diracik dengan hati-hati—semua persiapan ini mencerminkan kekompakan dan kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh.