Qanun LKS (Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah) kembali menjadi perbincangan pasca-error alias macetnya sistem Bank Syariah Indonesia (BSI) beberapa waktu lalu,yang kemudian berdampak pada gagalnya bank tersebut memberi pelayanan kepada nasabah.
Publik seketika saja menjadi riuh. BSI yang muncul dan menghegemonik setelah pelaksanaan total Qanun LKS oleh elite politik di tampuk kekuasaan, tiba-tiba saja menjadi bulan-bulanan. Tidak saja oleh nasabah, tapi meluas pada mereka yang secara faktual menyimpan uang di bawah bantal. Hal demikian tentu bisa dimengerti sebagai bentuk solidaritas senasib sepenanggungan yang coba ditunjukkan kepada teman-teman mereka yang gagal membeli rokok hanya karena ATM yang tiba-tiba merajuk, atau karena mobile banking yang seperti lampu kehilangan arus.
Rusaknya sistem BSI selama beberapa hari tentu memiliki dampak luas, seluas jaringan mereka yang menyemak di seluruh Aceh, di mana para alumni BRI, BNI dan Mandiri yang semuanya adalah konvensional yang dianggap tidak syar’i “dipaksa” beralih dan bergantung pada BSI, yang oleh banyak penafsir diyakini telah mendapat legitimasi syariat, walau pun pelayanannya tak jauh berbeda dengan tukang pungut padi di kala hujan.
Baca: Ketua ICMI Aceh: Kita Masih Parsial Melihat Bank Konvensional
Pada prinsipnya hantaman yang diterima BSI akhir-akhir ini bukan semata disebabkan oleh kerusakan sistem yang beberapa hari itu, tapi juga dilatari oleh pelayanan “setengah hati” yang diberikan sejak bank itu muncul pasca terusirnya bank konvensional. Dengan kata lain, hantaman yang mendera BSI merupakan akumulasi kekecewaan yang sudah lama terendam.
Awalnya kekecewaan itu tidak memiliki cukup energi untuk meledak karena terhalangi oleh doktrin-doktrin bernuansa teologis dari pemuka agama; barulah setelah sistemnya tiba-tiba rusak secara masif di seantero negeri, terjadi peningkatan daya kemarahan yang tak bisa dibendung sehingga muncullah kutukan semesta yang begitu mengerikan.
Kengerian yang kemudian menjalar pada fondasi yang memberi dasar bagi lahirnya bank-bank dimaksud semisal BSI. Dalam hal, ini Qanun LKS turut menjadi sasaran dari kemarahan yang telah memuncak. Karena itu, perbincangan tidak lagi berkutat pada “buruknya” layanan bank berlabel syariah, tapi telah menyasar ke akar persoalan dengan munculnya gagasan revisi qanun yang dulunya dianggap begitu sakral, kudus dan suci.
Ide Revisi Qanun LKS & Tabiat Politisi
Di tengah kegaduhan tersebut, dengan dalih menyahuti keinginan publik, Ketua DPRA melemparkan wacana revisi Qanun LKS dengan maksud agar bank konvensional bisa kembali hadir di Aceh. Sebagai politisi, apa yang dilakukan ketua DPRA tentu dapat dimengerti. Bukan tidak mungkin gagasan itu sengaja dimunculkan sebagai sebuah upaya menarik simpati konstituen menjelang tahun politik yang sudah di depan mata. Bukankah berbual mendekati tahun politik itu bisa menguntungkan dan mendongkrak suara?
Namun, gagasan itu kemudian mendapat perlawanan dari sebagian pihak yang tampak begitu bersemangat membela “status quo” dengan menggunakan narasi-narasi religius. Frasa “si buy” (daging babi) yang dilekatkan pada bank konvensional dihadapkan secara diametral dengan frasa “si leumo” (daging lembu) yang dipaksatempelkan pada bank berlabel syariah. Akhirnya “perang” pun semakin ganas, di mana “kekuatan baik” (label syariah) akan berperang melawan “kekuatan jahat” (konvensional). Benturan demikian tentu akan memantik perhatian publik.
Baca: Sebagian Ulama Mesir Halalkan Bank Syariah
Dengan maksud menetralisasi keadaan, beberapa oknum pemuka agama bahkan mengeluarkan statemen yang membuat masalah semakin runyam. Ada yang menyebut keinginan mengembalikan bank konvensional berpotensi murtad dan ada pula yang “berkampanye” agar publik tidak lagi memilih politisi yang pro pada revisi qanun, sebab mereka “antisyariat.”
Pernyataan-pernyataan demikian tentu amat meresahkan, khususnya bagi politisi yang tempo hari begitu bersemangat menggagas revisi qanun. Alhasil, momen ini digunakan oleh politisi-politisi lain untuk “membersihkan diri” dari segala tudingan sehingga muncullah pernyataan dari sejumlah politisi di DPRA bahwa mereka menolak revisi qanun dan tidak sudi bank konvensional kembali ke Aceh. Pernyataan demikian pastinya akan memengaruhi persepsi publik di tengah carut-marut debat yang tak kunjung usai. Bukan tidak mungkin, saat pencoblosan nantinya mereka akan diposisikan sebagai “pembela syariat.”
Lagi-lagi hal itu tidaklah aneh. Politisi memiliki alat hitung sendiri. Artinya, politisi yang cakap harus paham kapan ia mesti diam (meskipun suaranya dibutuhkan) dan kapan pula harus berbicara (meskipun tidak berguna). Tentu tidak semua politisi dapat mencapai level ini. Dan beberapa politisi DPRA sudah mempertegas di level mana mereka berada.
Peukateun Akademisi
Tidak saja politisi, beberapa akademisi juga tampak meramaikan isu ini. Mereka mengeluarkan berbagai argumentasi yang lagi-lagi bernuansa religi guna menolak wacana revisi qanun yang katanya sudah sesuai dengan semangat syariat Islam. Namun, sejauh ini kita belum menemukan secara pasti di mana titik kesesuaian itu selain pada label dan syariatisasi sejumlah istilah perbankan yang kemudian diarabisasi.
Narasi yang dihadirkan beberapa oknum akademisi ini dalam faktanya juga kerap membingungkan, di mana seperti ada keyakinan penuh di benak mereka bahwa sistem bank berlabel syariah yang selama ini beroperasi di Aceh sudah benar-benar terhindar dari praktik riba dan di waktu bersamaan dengan dada membusung menyimpulkan bank konvensional sebagai bank ribawi.
Padahal, andai mereka sedikit “jujur,” sebagai akademisi semestinya mereka tidak menafikan adanya perdebatan para fuqaha kontemporer terkait status bank konvensional tersebut, di mana perdebatan itu sudah dan terus saja berlangsung–yang hingga saat ini sepertinya belum ada kata sepakat. Artinya diskursus tentang status bank konvensional masih terus terbuka dan belum final.
Dalam kondisi ini, narasi sebagian oknum akademisi kita bukannya memberi pencerahan kepada publik, tapi justru terkesan melakukan penggiringan kepada pendapat-pendapat yang mereka yakini dengan keyakinan bahwa kebenaran pendapat tersebut berada pada level absolut. Praktik yang demikian tentu tak pantas dilakukan seorang akademisi yang semestinya berpikiran luas, melihat konteks, maslahat dan kebutuhan publik.
Akademisi harusnya bisa tampil sebagai penerang agar pandangan publik semakin jernih, bukan justru memadamkan cahaya yang telah ada hanya karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang publik tidak tahu. Namun begitu, kita tetap menaruh hormat kepada sebagian oknum akademisi yang mungkin pernah terlibat dalam penyusunan qanun, sehingga mempertahankan qanun tersebut adalah sebuah keniscayaan.
Demo Mahasiwa FEBI
Seperti kita lihat, wacana revisi Qanun LKS tidak hanya menjadi amunisi bagi sebagian oknum politisi atau pun panggung untuk unjuk argumentasi bagi segelintir oknum akademisi, tapi isu itu juga menarik perhatian para mahasiswa untuk sama-sama tampil ke depan dengan yel-yel syariat.
Tidak begitu jelas apakah mereka paham apa yang sedang mereka perjuangkan atau sekadar ingin ambil bagian dalam hiruk-pikuk setelah munculnya wacana revisi Qanun LKS. Namun, yang pasti aksi yang didominasi oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) tersebut terkesan sedikit aneh. Jika memang qanun itu menyangkut hajat hidup orang banyak, kenapa hanya mahasiswa FEBI yang turun ke jalan? Bukankah, seharusnya mahasiswa dari fakultas lain juga punya kepentingan yang sama: membela kepentingan rakyat? Apakah karena keberadaan Qanun LKS dan bank berlabel syariah memiliki korelasi langsung dengan pendidikan mereka sehingga mereka harus berada di garda depan?
Jika pun kepentingan itu ada, maka revisi qanun (yang pastinya tidak akan berbahaya pada eksistensi bank berlabel syariah) tentu tidak akan merugikan para mahasiswa FEBI sebab bank berlabel syariah akan tetap eksis di Aceh. Demikian pula dengan hadirnya kembali bank konvensional (andai mereka mau kembali) juga tidak membawa dampak buruk bagi FEBI. Sebaliknya justru menguntungkan karena lapangan kerja semakin lebar. Tapi, demonstrasi telah pun digelar tanpa bisa diduga ke mana arahnya.
Terlepas dari itu semua, publik awam sepertinya tidak begitu peduli pada debat yang terus berlangsung. Bagi publik, ada tidaknya Qanun LKS tidaklah menjadi perhatian. Yang penting bagi mereka adalah pelayanan bank yang optimal, kemudahan transaksi dan pinjaman bunga rendah atau bahkan tanpa bunga. Namun, siapa yang mampu memenuhi harapan itu?
Akhirnya, kita hanya bisa menonton sembari menebak-nebak bagaimana akhir dari hiruk-pikuk yang telah menggelinding liar dan membuat orang-orang terbelah. Dan jangan lupa, musim politik tak lama lagi. Gendang semakin sering ditabuh. Ada yang larut, tapi bukan politisi.