Prolog Dialog di Monolog

Nezar Patria (kanan) dan Muhajir juli, saat menyeruput kopi di Monolog, Koridor Palem, Plaza Senayan, Jakarta. Foto: ist.
Nezar Patria (kanan) dan Muhajir juli, saat menyeruput kopi di Monolog, Koridor Palem, Plaza Senayan, Jakarta. Foto: ist.

Pertemuan di “teras” Monolog, saya anggap sebagai prolog. Terlalu banyak pengetahuan dari Nezar Patria yang perlu saya gali.

Dua hari sebelum berangkat ke Jakarta menghadiri Rapimnas Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang digelar di Aula Jenderal Nasution, Markas Besar Angkatan Darat, saya mengirim pesan melalui aplikasi WA kepada Bang Nezar–begitu saya menyebut Nezar Patria, seorang aktivis cum jurnalis idealis dalam dunia jurnalistik Indonesia.

Saya meminta, bila Nezar punya waktu, bolehlah kami bertemu, menyeruput kopi sembari berdiskusi ringan tentang apa pun.

Ia membalas pesan bila dirinya akan meluangkan waktu. Sebagai jurnalis yang baru merintis media sendiri, saya tentu sangat merasa terhormat, apalagi baru kali ini ada moment bertemu langsung dengan lelaki kelahiran 1970 itu.

Setiba di Jakarta, saya mengabari bila telah tiba. Nezar memberitahu baru bisa bertemu pada Sabtu di Plaza Senayan.

Rencana bertemu Nezar tidak saya beritahu kepada siapapun. Ketika ia tiba di Monolog, Koridor Palem, Plaza Senayan, Nezar bertanya mengapa saya hanya sendiri. Saya tersenyum dan mengatakan bila hanya saya yang datang karena pertemuan itu tidak saya beri tahukan pada siapapun.

Tidak butuh waktu, kami langsung akrab. Nezar menanyakan tentang Komparatif.id, saya menjelaskan. Dia beralih tentang pola bisnis media komparatif.id, saya kembali menjelaskan.

Nezar mendengar dengan seksama. Tidak satu kalimat pun yang membuat saya tersudut. Saya tahu lelaki berkemeja putih di seberang meja adalah begawan dunia jurnalistik, pakar media online. Orang profesional seperti dirinya tidak akan mengoreksi dengan cara menggurui, konon lagi menyalahkan.

Setelah saya berhenti menjelaskan, Nezar baru memberi “tambahan”. Penjelasannya mengalir, ringan, dan 90% menggunakan bahasa Aceh. Ya, pada pertemuan Sabtu pagi (23/7/2022) itu kami dominan menggunakan basa indatu.

Perihal isi dialog itu tak perlu saya sampaikan, tapi wajib saya praktekkan dalam menjalankan Komparatif.id. Karena apa yang disampaikannya 100 persen paduan teori dan pengalaman puluhan tahun sebagai jurnalis dan pebisnis media, meskipun akhirnya ia memilih jalan baru dalam rajutan perjalanan hidupnya.

Pertemuan itu saya anggap prolog, sebuah pengantar yang sangat bernas, padat pengetahuan, dan ringan saat disajikan. Rasa sajian prolog itu berkali lipat lebih nikmat dari kuah beulangong yang dimasak oleh chef terbaik. Bertingkat-tingkat lebih sedap dari secangkir kopi yang diseduh barista terhebat.

Bila ada kesempatan, dialog tersebut harus dilanjutkan. Masih banyak yang harus saya serap dari kamus pengetahuan yang Nezar Patria miliki. Sebagai seorang yang selalu berpikir berkemajuan, mantan pelajar SMA 2 Banda Aceh yang pernah menjadi juara satu menulis artikel tingkat nasional di harian Suara Karya, saya yakini akan selalu bersedia berbagi meskipun ia sangat sibuk.

Note: Catatan ini saya tulis di Kuala Namu Internasional Airport, terminal domestik, Minggu, 24 Juli 2022, saat transit.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here