Posisi Senggama Woman on Top, Kelebihan dan Bahayanya

woman on top
Kelebihan dan bahaya posisi senggama woman on top. Foto: Ilustrasi, disitat dari farmaku.com.

Komparatif.ID—Woman on top berupakan posisi paling digemari oleh para pria. Woman on top memiliki banyak kelebihan bagi hubungan badan pasangan suami istri. Tapi posisi wanita di atas juga memiliki risiko sangat besar.

Dalam hubungan badan, kenapa lelaki suka perempuan di atas? Demikian pertanyaan yang umum diajukan di dalam diskusi ringan dan ikut dibahas oleh pakar seksologi. Jawabannya beragam. Tapi satu jawaban yang paling umum, para suami dapat lebih santai, menikmati hubungan paling intim itu sembari berbaring dan menatap wajah sang istri yang sedang “bekerja keras”.

Baca: Tips: Cara Cepat Hamil

Bagi istri, manfaat posisi woman on top mempercepat klimaks.

Posisi senggama woman on top tidak disarankan dilakukan oleh pasangan yang sedang berjuang keras mendapatkan momongan. Karena posisi wanita di atas, menyulitkan sperma untuk mencapai dan membuahi sel telur.

Posisi wanita di atas sangat tidak disarankan dilakukan oleh istri yang menderita rahim retrofleksi atau endometriosis. Oleh karena itu suami wajib mengetahui kondisi tubuh istrinya. Karena terdapat beberapa kondisi, istri tidak mungkin bersenggama dengan posisi tertentu pula, termasuk woman on top. Bila dipaksa, istri bisa tidak nyaman. Dalam kondisi lebih ekstrim, bisa sangat kesakitan.

Di berbagai artikel kesehatan dan seksologi, telah dibahas beragam nilai positif posisi senggama woman on top.

Bahaya Posisi Woman on Top

Tapi ketahuilah, bahwa ada bahaya besar yang mengintai. Kecelakaan paling sering yaitu patahnya tulang kemaluan pria.

Sebuah tim peneliti Kanada telah menemukan bahwa posisi seks wanita di atas adalah yang paling berbahaya bagi pria, yang menyebabkan setengah dari semua patah tulang penis di kamar tidur.

“Studi kami mendukung fakta bahwa hubungan seksual dengan ‘wanita di atas’ adalah posisi seksual yang berpotensi paling berisiko terkait dengan patah tulang penis,” tulis para penulis.

Untuk studi tersebut, tim tersebut mengamati tiga rumah sakit di Campinas, sebuah kota berpenduduk tiga juta orang di Brasil, menggunakan catatan rumah sakit dan dalam beberapa kasus mewawancarai pasien.

Mereka mengamati pasien dengan dugaan patah tulang penis selama periode 13 tahun.

Setengah dari mereka, dengan usia rata-rata 34 tahun, melaporkan mendengar bunyi retakan sebelum merasakan nyeri, dengan beberapa juga mengalami pembengkakan. Beberapa dari mereka menunggu hingga enam jam sebelum mencari pertolongan medis.

“Hipotesis kami adalah bahwa ketika wanita berada di atas, dia biasanya mengendalikan gerakan dengan seluruh berat tubuhnya yang mendarat pada kemaluan yang ereksi, tidak dapat menghentikannya ketika penis mengalami penetrasi yang salah arah,” para penulis dicatat.

“Sebaliknya, ketika pria mengendalikan gerakan, ia memiliki peluang lebih baik untuk menghentikan energi penetrasi sebagai respons terhadap rasa sakit yang terkait dengan cedera, sehingga meminimalkannya,” mereka menambahkan.

Fraktur penis adalah kondisi klinis yang relatif jarang terjadi yang menyebabkan rasa takut dan malu pada pasien dan dapat menghambat fungsi seksual.

Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Advances in Urology.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here