Politik Mimbar Masjid & Sakralitas Agama

Politik Mimbar Masjid & Sakralitas Agama Syah Reza Ayub. Foto: Ho for Komparatif.ID.
Syah Reza Ayub. Foto: Ho for Komparatif.ID.

Pidato Anies dan Muhaimin di Mimbar Masjid Raya Baiturrahman telah memantik perhatian Teungku Miswar. Tapi apa yang ia sampaikan harus dilihat dari sudut pandang lain.

***

Langkah kaki Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menaiki mimbar Masjid Raya Baiturrahman selepas shalat jumat 3 Mei lalu, ternyata mengundang ragam reaksi publik. Sekalipun banyak menganggap hal itu sesuatu yang biasa karena dilakukan setelah Salat Jumat, namun ada juga yang mengomentarinya sebagai perilaku yang tidak etis karena memanfaatkan mimbar masjid untuk ruang politik, seperti yang disorot oleh ketua Rabithah Thaliban Aceh (RTA) Teungku Miswar Ibrahim Njong.

Dalam tulisannya di Komparatif.ID “Robohnya Mimbar Masjid Raya Baiturrahman” ia menilai bahwa mimbar masjid sepatutnya dipakai untuk kepentingan akhirat. Ia sendiri tampak merasa malu dengan perilaku pasangan calon presiden dan wapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar saat menaiki mimbar, yang menurutnya podium itu tempat sakral, tak boleh dipakai untuk kepentingan yang sifatnya duniawi.

Perasaan yang dialaminya sendiri ia tumpahkan dalam narasi dramatis seakan perilaku itu menyalahi tradisi Aceh. Walaupun jika ditelusuri, tradisi Aceh tidak se-ekstrim demikian.

Katanya, “Siapapun yang berbicara di atas mimbar masjid, apakah ia pendakwah atau calon presiden yang gagal terpilih atau bahkan presiden konstitusional sekalipun, harus memiliki kesadaran iman dan etika, bahwa ia sedang menjejakkan kakinya di posisi sakral, tempat di mana sekali-kali ia tidak boleh membicarakan atau pun bahkan memiliki niat yang dapat menguntungkan kepentingan duniawi kelompok dan personalnya.”

Lebih lanjut ia mengulang dengan diksi yang sama tentang sakralitas. “Hampir tak pernah dalam sejarah Aceh, bahkan mungkin di sejarah dunia manapun, terdapat dua orang sekaligus berdiri dan berpidato di atas tempat sesakral mimbar masjid, yang membicarakan agenda politik elektoral pula. Akan tetapi Anies dan Cak Imin melakukannya dengan gamblang, dengan gestur seorang penakluk, tanpa perasaan sungkan seperti yang ditunjukkan oleh Umar bin Khattab.”

Sebetulnya saya tidak begitu tertarik membahas dinamika politik yang terjadi. Apalagi rivalitas yang cukup kentara di dalamnya telah membentuk sekat-sekat fanatisme antar masyarakat. Fanatisme pada warna pakaian atau figur tertentu seringkali membutakan akal sehat manusia.

Bahkan untuk sebuah pembelaan, narasi-narasi yang dilontarkan oleh siapapun dalam habitus politik seringkali tidak jujur dan berlawanan dengan hati nurani. Tentu, sah-sah saja membela figur politik yang dikagumi, tetapi ketika domain agama dipakai di area tersebut, maka di sini dibutuhkan kehati-hatian. Kesalahan diksi akan mengundang kesalahpahaman makna, dan menggiring opini publik. Alih-alih mendidik, malah terjerembab pada kubang fanatisme.

Hadirnya tulisan ini bisa dikatakan sebagai respon produktif atas beberapa terma yang muncul dalam narasinya yang sedikit “mengganggu” nalar saya secara khusus, dan mungkin juga orang lain. Anggap saja dialektika, agar ruang diskursus lebih berwarna dan tidak satu perspektif dominan.

Makna Sakral

Saya menyorot setidaknya pada dua hal. Pertama, soal sakralitas mimbar masjid yang sering disebutkan berulang-ulang oleh penulis dengan analogi historis awal Islam. Siapa yang peduli dengan makna sakral? Saya pikir tidak ada, kecuali oleh mereka yang meyakini bahwa setiap kata atau bahasa itu memiliki nilai dan struktur. Katakanlah secara sederhana, arti sakral adalah suci (inggris: sacred, Arab: مقدس) yang berasal dari ajaran agama. Maka, dalam Islam sesuatu yang dilakukan tidak berasal dari ajaran agama diyakini tidak sakral.

Penulis mengatakan bahwa mimbar masjid itu sakral. Saya ingin mengajak kita sejenak berfikir, Apa yang menjadikan sebuah tempat dikatakan sakral? Kasus Umar yang menaiki tangga mimbar masjid, sebetulnya sudah dijawab sendiri oleh si penulis secara tidak langsung.

Kesakralannya jelas bukan pada mimbar yang dibuat dari kayu itu, tetapi mimbar itu pernah dipakai oleh Nabi sebagai manusia yang suci atau Sakral. Umar merasa bahwa dirinya yang tidak suci (dihinggapi dosa) tidak layak berdiri di atas mimbar tersebut. Pertanyaannya, mimbarnya yang suci atau Nabi? Jelas, Nabi.

Begitu juga dengan Hajarul Aswad, bukan batunya yang sakral. Tetapi karena perintah Allah menciumnya sebagai ibadah, maka ia sakral. Maka, sakralitas itu ketika melakukan segala sesuatu atas ibadah kepada Allah, sekalipun persoalan dunia seperti menuntut ilmu. Hamid Fahmy Zarkasyi di hadapan santri Gontor pernah mengatakan, menuntut ilmu itu sakral jika dia diniatkan sebagai ibadah.

Baca juga: Robohnya Mimbar Masjid Raya Baiturrahman

Ibadah tentu luas cakupannya, tidak hanya salat, puasa, zakat, dan haji saja, tetapi juga aktivitas di dunia yang orientasinya untuk agama jelas masuk kategori ibadah, seperti mengurusi hajat manusia yaitu melalui pemerintahan. Sakral itu sifat yang melekat pada aktivitas manusia.

Salat itu sakral karena ia adalah ibadah. Ketika orientasi salat untuk dilihat dan dipuji oleh manusia, maka kesuciannya hilang. Maka, siapa yang biasa menilai orientasi seseorang ketika melakukan sesuatu? tentu diri sendiri.

Bahkan niat untuk tujuan dunia atau akhirat sebetulnya tak ada manusia yang mengetahui. Tentu tak patut menaruh sangka (punya niat dunia) pada orang lain yang hanya menggunakan mimbar untuk tujuan silaturrahim dengan menyampaikan kata-kata yang baik, seperti ucapan terima kasih.

Benih Sekularisme

Kedua, sebagai seorang penikmat literasi filsafat, saya melihat ada dikotomi narasi dalam tulisan Teungku Miswar Ibrahim Njong. Sepintas mudah untuk disimpulkan bahwa ia meyakini persoalan politik adalah aktivitas dunia (yang sifatnya tidak sakral) tidak boleh dilakukan di dalam masjid atau minimal menggunakan atribut masjid yang menurutnya sakral atau suci.

Pandangan demikian bukanlah baru. Normalisasi tempat ibadah dari urusan duniawi termasuk politik adalah agenda utama sekularisasi di dunia Barat sejak 4 abad silam. Para intelektual saat itu menginginkan agar agama bersifat privat dan hanya boleh dibicarakan di dalam gereja.

Upaya itu dilakukan karena pengalaman masa kegelapan (the dark age), di mana saat itu dominasi agama Kristen mengintervensi seluruh aspek hingga ranah politik. Keberhasilan melepaskan pengaruh agama dari tatanan kehidupan diklaim oleh Barat sebagai kemajuan (renaissance).

Periode itu berlanjut. Pasca Perang Dunia II, dan kemenangan Barat atas Blok Timur, hegemoni Eropa atas dunia meluas. Melalui sayap kolonialisasi, agenda wajib yang harus dilakukan ke belahan dunia adalah westernisasi, yaitu membuat semua dunia terbaratkan, baik dari identitas budaya hingga agama.

Pengalaman Barat memarjinalkan agama dan memisahkannya dengan politik yang dikenal dengan sekularisme juga diinfiltrasi ke dunia timur, tak terkecuali Islam. Ibarat sekali dayung, dua pulau terlewati, ternyata agenda kolonialisasi menuai hasil. Hegemoni politik terwujud dan sekularisasi juga berhasil, seperti yang terjadi di Turkiye dan sebagian negara Islam lainnya.

Efek radikalnya, dikotomi agama dan politik ternyata telah berhasil menjalar dalam nalar individu sebagian muslim, sehingga setiap kerja politik yang membawa narasi agama dicitrakan negatif. Nurcholis Madjid mungkin salah satu figur sentral modernis dalam kampanye soal pemisahan politik dan agama, seperti slogannya yang populer, “Islam yes, Partai Islam no.” Bahkan partai-partai Islam seperti mengalami dilema ketika dihadapkan pada sikap antipati tersebut.

Statement Cak Nur seperti melegitimasi muslim tidak boleh berpolitik, kecuali melepaskan lebih dahulu segala sesuatu yang terkait dengan agama. Artinya, politik yang bebas agama alias sekuler.

Dampaknya hingga saat ini, masyarakat mengalami parsialisasi cara pandang, bahwa politik itu identik dengan kotor, dan agama itu suci. Sebuah cara pandang yang jauh dari identitas politik Islam, di mana agama dan politik saling integral. Kerja politik bisa bernilai ibadah ketika syarat, dan mekanisme sesuai standar syariat.

Terlepas dari afiliasi politik apa pun yang menguras fokus masyarakat akhir-akhir ini, tetapi sejujurnya, keberadaan tulisan Teungku Miswar telah memantik diskursus agama dan politik yang lama tak muncul dalam wacana keilmuan di Aceh. Semoga ‘meusyuhu‘ kembali.

*Penulis adalah Pengkaji Filsafat dan Peradaban di Islamic Institute of Aceh (IIA), tinggal di Blangkrueng, Aceh Besar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here