Politik Dinasti, Memangnya Kenapa?

Politik Dinasti, Memangnya Kenapa? Ilustrasi Henri Joseph. Foto: RTP Komparatif.ID.
Ilustrasi Henri Joseph. Foto: RTP Komparatif.ID.

Perpolitikan di Indonesia akhir-akhir ini digaduhkan oleh isu politik dinasti yang ditudingkan kepada Presiden Jokowi, terutama sejak pecahnya kongsi antara Jokowi dengan PDIP yang berpuncak pada dimajukannya Gibran untuk berpasangan dengan Prabowo setelah melewati proses hukum yang dramatis di MK, serta peluang akan dimajukannya lagi Kaesang di Pilgub DKI setelah drama terbaru di MA.

Terlepas dari trik, intrik, pro-kontra antara para pihak baik yang berseberangan, namun secara mendasar sejak era reformasi bangsa Indonesia telah bersepakat untuk melawan praktik KKN, yang salah satu bagian darinya adalah praktik Nepotisme.

Politik dinasti dan nepotisme adalah dua saudara kembar yang dianggap sedikit berbeda bagi sebagian orang, tapi dinilai sama oleh sebagian lainnya.

Nepotisme sendiri adalah praktik memberikan posisi dan keuntungan kepada kerabat atau teman dekat, tanpa melalui proses pemilihan yang demokratis.

Sementara politik dinasti yang akhir-akhir ini ramai diperdebatkan adalah proses “pemberian” kekuasaan kepada keluarga baik anak, menantu, besan dan sebagainya yang prosesnya secara lahiriah terlihat melalui proses yang demokratis atau atas dasar pilihan rakyat.

Hal tersebut berbeda dengan dinasti politik murni yang diusung oleh sistem monarki atau kerajaan, yang memang secara terbuka dan terang terangan serta konstitusional mengamanahkan kekuasaan untuk diwariskan secara turun temurun dari satu Raja (ayah) ke Raja berikutnya (anak).

Terlepas dari pro dan kontra terkait diterima atau tidaknya praktik politik dinasti dengan berbagai rasionalitas yang diajukan ke muka publik, namun harus diakui politik dinasti dan nepotisme memiliki dampak negatif yang serius terhadap demokrasi.

Penurunan Kualitas Kepemimpinan

Nepotisme sering kali mengakibatkan posisi penting diisi oleh individu yang tidak kompeten atau tidak memenuhi syarat. Hal ini dapat mengurangi efektivitas pemerintahan dan merusak kualitas pengambilan keputusan.

Dalam konteks ini nepotisme dianggap sebagai “jalan tol” yang berpotensi melahirkan pemimpin-pemimpin atau pejabat publik yang tidak punya kapasitas yang memadai untuk menjalankan tugas-tugas kepemimpinan dengan berbagai tantangan dan persoalan yang ada di tengah masyarakat yang dipimpinnya.

Baca juga: Jokowi Restui Gibran Jadi Cawapres Prabowo

Korupsi

Banyak orang yang menilai bahwa nepotisme cenderung meningkatkan tingkat korupsi karena pejabat yang dipilih berdasarkan hubungan pribadi lebih mungkin terlibat dalam praktik-praktik yang tidak etis, seperti penggelapan dana atau penyalahgunaan kekuasaan.

Meskipun ada pihak yang mencoba berdalih bahwa jika memang orangnya korup mau dia bagian nepotisme ataupun bukan maka dia akan tetap korup, begitupun sebaliknya jika ia tidak korup maka sekalipun ia bagian dari nepotisme maka tetap tidak akan korup.

Akan tetapi yang terjadi membuktikan bahwa banyak kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan kroni atau orang dekat dengan pejabat atau dinasti politik.

Sebut saja kasus Ratu Atut di Banten, kasus Irwandi di Aceh dan terakhir kasus Syahrul Yasin Limpo yang akhir-akhir ini menggegerkan publik.

Artinya bahwa benar nepotisme tidak menjamin bahwa seseorang atau sekelompok orang yang terafiliasi dengan tidak akan korup, tapi fakta bahwa banyak orang yang terlibat dalam pusaran kasus korupsi seperti kasus di atas menunjukkan bahwa nepotisme menjadi salah satu faktor “pendorong” tumbuh suburnya kasus korupsi.

Berawal dari nepotisme sehingga orang dekat atau keluarga dekat penguasa bisa mendapatkan distribusi kekuasaan dan pada akhirnya akan membuka peluang terjadi korupsi karena ia menilai “aman” karena di back up oleh familinya yang juga memiliki kekuasaan.

Ketidakadilan Sosial

Praktik politik dinasti dan nepotisme juga bisa menciptakan ketidakadilan karena kekuasaan dijalankan dengan mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi yang diyakini bisa memperkecil peluang “ketidakadilan”.

Artinya dengan adanya praktik nepotisme atau politik dinasti maka individu yang sejatinya berbakat, punya kapasitas yang dibutuhkan dan mau bekerja keras tidak mendapatkan kesempatan yang adil karena posisi diambil oleh mereka yang memiliki koneksi pribadi.

Sehingga pada akhirnya akan merebut rasa keadilan di tengah masyarakat yang pada dasarnya memiliki hak yang sama dalam kehidupan bernegara dan seharusnya mereka bisa mendapatkan kesempatan yang adil sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dibutuhkan, bukan dengan mengandalkan orang dalam.

Baca jugaGibran di Tengah Pragmatisme Parpol

Penurunan Kepercayaan Publik

Dampak negatif lainnya dari praktik nepotisme dan politik dinasti adalah menimbulkan distrust (ketidakpercayaan) terhadap pemerintah di mata publik.

Artinya ketika masyarakat melihat bahwa posisi-posisi penting didistribusikan secara subjektif berdasarkan hubungan pribadi, bukan secara objektif yang didasarkan pada kemampuan maka hal ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan proses demokratis yang sampai hari ini masih tercatat secara konstitusional sebagai sistem bernegara yang kita anut.

Pembatasan Partisipasi Politik

Nepotisme dan politik dinasti juga secara langsung maupun tidak akan membatasi partisipasi politik. Dengan terciptanya dinasti politik (berdasarkan hubungan keluarga) kekuasaan dan pengaruh hanya berputar di dalam lingkaran kecil keluarga atau kelompok tertentu.

Sehingga hal ini pada akhirnya akan menghambat “peluang” partisipasi publik atau bahkan akan menimbulkan sikap pesimisme dan apatisme yang lebih luas dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik.

Kekuasaan pada akhirnya akan berputar di lingkaran kecil atau yang terafiliasi dengan kelompok tertentu, dan ini akan sangat kontra produktif dengan semangat dasar demokrasi yang menginginkan keterlibatan dan partisipasi publik secara lebih luas.

Ketidakstabilan Politik

Ketidakpuasan publik yang diakibatkan oleh nepotisme dapat memicu ketidakstabilan politik. Protes dan gerakan oposisi mungkin saja secara secara perlahan tapi pasti akan terus meningkat sebagai respons terhadap pemerintahan yang dianggap tidak adil atau korup seperti yang pernah terjadi di Indonesia di akhir kekuasaan mendiang Soeharto.

Pada intinya secara keseluruhan, praktik nepotisme dan politik dinasti bisa dikatakan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan, transparansi, dan partisipasi yang setara.

Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut, maka upaya-upaya untuk melawan nepotisme dan dinasti politik akan menjadi langkah penting yang harus diperjuangkan bersama dalam memperkuat demokrasi dan memastikan bahwa pemerintahan bekerja untuk kepentingan semua warga negara, bukan hanya segelintir individu yang memiliki koneksi pribadi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here