PLTA Peusangan Berdiri, Rumah Hilang Tidak Diganti Rugi

Konferensi pers sengkarut pembebasan dan ganti rugi lahan pembangunan PLTA Peusangan 1 dan 2 di Kantor YLBHI-LBH Banda Aceh, Rabu (22/11/2023). Foto: Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh— 11 perwakilan 132 masyarakat Silih Nara, Aceh Tengah, yang tanahnya dibeli untuk pembangunan PLTA Peusangan menuntut PT PLN untuk segera menyelesaikan ganti rugi lahan dan rumah secara utuh secepatnya.

Hal tersebut disampaikan pada konferensi pers di kantor YLBHI-LBH Banda Aceh, Rabu (22/11/2023).

Sadek, seorang perwakilan masyarakat menuturkan, saat ini pembangunan PLTA Peusangan kini telah memasuki tahapan konstruksi reservoir (area genangan bendungan). Sementara ganti rugi rumahnya di atas tanah yang kini masuk kawasan tersebut hingga kini belum dibayarkan.

Baca: Aceh Surplus Listrik

Padahal pada saat pembebasan lahan pada 1998 hingga 2000, pihak PLN dan pejabat terkait menjanjikan rumah-rumah warga yang termasuk dalam kawasan rencana pembangunan PLTA akan diganti rugi, tidak hanya tanah, kolam, dan tumbuhan pertanian.

“Namun hingga 2023, rumah-rumah kami belum juga mendapatkan ganti rugi, yang ada malah pembangunan reservoir yang berlanjut, tanpa kejelasan pelunasan,” ujar Sadek.

Masyarakat akhirnya menutup akses kontruksi reservoir, serta mendesak pembangunan dihentikan hingga ganti rugi selesai.

Sadek juga menuturkan, karena konflik GAM-RI proses pembebasan lahan sempat terhenti, lalu kembali berlanjut pada 2020 lalu. Saat itu, PLN membayar 27 persil tanah milik masyarakat, namun tanpa dokumen pengadaan tanah PLTA Peusangan 1998-2000, karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh Tengah menyebut dokumen tersebut hilang.

Akibatnya, pada 2021, 132 masyarakat dari lima desa di Kecamatan Silih Nara melakukan protes, dan menuntut pelunasan atas tanah dan bangunan yang kini digunakan untuk area reservoir PLTA Peusangan.

Karena kehilangan dokumen tersebut, Panitia Pengadaan Lahan Pemkab Aceh Tengah membentuk tim verifikasi dan validasi yang mulai aktif per 21 Juli 2021. Namun saat tim masih bekerja, tiba-tiba dokumen pengadaan tanah PLTA Peusangan ditemukan kembali rumah salah seorang pegawai BPN Aceh Tengah.

Sadek menjelaskan, dokumen tersebut akhirnya digunakan tim verifikasi dan validasi untuk dijadikan bahan acuan penyusunan laporan dan rekomendasi. Tim bentukan Pemkab Aceh Tengah itu menemukan adanya lahan masyarakat yang terdapat selisih ukur, dan meminta PLN untuk membayar kekurangan tersebut.

Tim juga merekomendasikan PLN untuk membayar ganti rugi bangunan di atas tanah milik masyarakat yang dibeli untuk pembangunan PLTA Peusangan. Serta, meminta PLN memberikan kompensasi atas lahan masyarakat yang terimbas pembangunan.

Namun rekomendasi tim hanya jadi angin lewat. Sadek menjelaskan, pada Senin (3/2/2023) di Kodim 0106/Aceh Tengah, Pj Bupati T. Mirzuan bersama Forkopimda membatalkan secara sepihak hasil verifikasi dan validasi yang selesai pada Maret 2022 dengan alasan ditemukannya dokumen pengadaan lahan.

Baca juga: Diduga Malapraktik, Dokter Obgyn RSUD Aceh Tamiang Dilaporkan ke Polda

Rumah Hilang, Hak Tak Terbayar

Harjuliska, salah seorang anak pemilik rumah yang belum mendapatkan ganti rugi menyayangkan tindakan Pemkab Aceh Tengah, yang menggugurkan secara sepihak laporan dan rekomendasi tim verifikasi dan validasi.

“Saat ini 117 rumah masyarakat itu telah hilang dan rata, namun pembayaran ganti rugi belum juga selesai,” ungkapnya.

Untuk menuntut haknya, Harjuliska bahkan terbang ke Jakarta untuk bertemu langsung direksi PT PLN. Difasilitasi anggota Komisi II DPR RI asal Aceh, Muslim, ia meminta perusahaan listrik negara itu segera membayarkan ganti rugi rumah orang tuanya.

Pemandangan rumah masyarakat yang kini menjadi bagian kawasan PLTA Peusangan. Foto: Dok Harjuliska.
Pemandangan rumah-rumah masyarakat di atas lahan yang kini menjadi bagian kawasan PLTA Peusangan. Foto: Dok Harjuliska.

“Saat bertemu, pihak PLN menyanggupi ganti rugi. Namun mereka butuh dasar pembayaran, yaitu surat yang menyatakan memang ada ganti rugi belum selesai yang dikeluarkan BPN dan Pemkab Aceh Tengah,” terang Harjuliska.

Harjuliska menerangkan, proses ganti rugi yang telah selesai hanya ganti rugi lahan, sementara ganti rugi rumah yang dijanjikan PLN belum kunjung dibayarkan.

“Orang tua kami dulu berbaik sangka saja bang, saat dibilang dibayar nanti kita percaya saja, namun hingga kini uang ganti rugi itu belum jelas rimbanya,” lanjutnya.

Berdasarkan keterangan ayahnya dan masyarakat lain, Harjuliska menjelaskan pihak BPN Aceh Tengah menolak ganti rugi rumah karena merupakan kewenangan Dinas PUPR/Perkim. Sehingga proses pembayaran berlangsung tarik-ulur tanpa kepastian hingga hari ini.

Baca juga: Walhi Minta Beutong Ateuh Dikeluarkan Dari Kawasan Potensi Tambang

LBH Banda Aceh Minta Ganti Rugi Lahan PLTA Peusangan Dilunaskan Segera

Menanggapi masalah yang mendera masyarakat Silih Nara, LBH Banda Aceh mengecam tindakan Pemkab Aceh yang menggugurkan temuan dan rekomendasi tim verifikasi dan validasi.

“LBH Banda Aceh mengecam tindakan Forkopimda Aceh Tengah yang membatalkan secara sepihak hasil verifikasi dan validasi tahun 2022 dengan alasan ditemukannya dokumen pengadaan lahan tahun 1998-2000,” tegas Kepala Operasional YLBHI-LBH Banda Aceh Muhammad Qodrat.

LBH Banda Aceh menilai tindakan tersebut justru membuat proses ganti rugi semakin berlarut tanpa kejelasan, dan dikhawatirkan menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat.

LBH mendesak PT PLN segera membayar ganti rugi rumah masyarakat secepatnya, karena telah tertunda sejak 23 tahun lalu. Lembaga bantuan hukum nir-laba ini juga menyurati Kejaksaan Aceh Tengah untuk menyelidiki kemungkinan pelanggaran hukum atas hilangnya dokumen peta bidang dan pengadaan lahan yang menyebabkan masyarakat menjadi korban.

“Sengketa ini timbul akibat tidak clean and clear-nya proses pengadaan lahan, mulai dari pembayaran yang tertunda dan berlarut tanpa kejelasan, hingga kejanggalan hilangnya dokumen dan peta bidang yang tidak pernah diusut,” ujar Qodrat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here