Komparatif.ID, Banda Aceh-Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki mengimbau meunasah kembali difungsikan sebagai tempat pengajian anak-anak dan orang dewasa setelah Magrib. Harapan tersebut disampaikan oleh Achmad Marzuki, karena melihat saat ini anak-anak dan remaja semakin banyak yang berada di warung kopi setelah Magrib hingga larut malam.
Achmad Marzuki sejak beberapa waktu lalu memberikan perhatian khusus kepada pendidikan agama Islam yang kian luntur di tingkat masyarakat. Anak-anak dan remaja semakin banyak berkumpul menghabiskan waktu mereka di tempat-tempat yang menyediakan jaringan internet (wifi). Anak-anak dan remaja tenggelam dalam dunia maya, baik menonton, hingga bermain game online.
Kondisi tersebut membuat mantan Pangdam Iskandar Muda tersebut risau. Bila terus dibiarkan, akan melahirkan dampak negatif yang luas untuk Aceh. Mereka akan tercerabut dari akar kebudayaan Aceh yang kental dengan nilai-nilai islami.
Baca: Warkop di Aceh Hanya Boleh Buka Hingga Pukul 12 Malam
Untuk mengembalikan anak-anak dan remaja ke dalam pola pengasuhan yang sesuai dengan tradisi Aceh, GPj Gubernur Aceh menerbitkan Surat Edaran Nomor: 451/11286 tentang Penguatan Peningkatan Pelaksanaan Syariay Islam Bagi Aparatur Sipil Negara dan Masyarakat Aceh.
Surat Edaran Nomor 451/11286, yang bertarikh 4 Agustus 2023, berisi sejumlah hal yang berkaitan dengan upaya penguatan pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Salah satunya yaitu memaksimalkan fungsi meunasah/musalla, atau nama lain, di gampong di seluruh Aceh sebagai tempat pengajian bagi anak-anak dan orang dewasa setelah pelaksanaan Salat Magrib.
Dalam keterangannya kepada Komparatif.id, Selasa (8/8/2023) Achmad Marzuki mengatakan, banyak meunasah di Aceh telah lama kehilangan fungsi sebagai tempat penguatan pendidikan keislaman. Padahal, meunasah yang berakar dari akar madrasah, merupakan lembaga pendidikan Islam yang dikelola secara informal oleh masyarakt Aceh sejak dahulu kala.
Pj Gubernur mengatakan, dulu, sebodoh-bodohnya orang Aceh pasti dapat membaca Quran, dan mengetahui hukum-hukum fiqh dasar. Kemampuan itu dikuasai oleh orang Aceh karena sistem kebudayaannya yang menyatu dengan Islam. Sehingga meunasah selain berfungsi sebagai tempat salat, musyawarah, juga sebagai tempat pendidikan.
Untuk memastikan imbauannya berjalan dengan baik, tanggung jawab pelaksanaannya diperintahkan dilaksanakan oleh bupati/walikota, dan keuchik sebagai ujung tombak pemerintahan di Serambi Mekkah.
Kaum Ibu Dukung Menghidupkan Pendidikan di Meunasah
Imbauan Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki, disambut baik oleh sejumlah ibu rumah tangga. Di Bireuen, Magfirah (39) seorang ibu dua anak mengatakan SE Nomor 451/11286, merupakan terobosan penting dalam menjaga generasi muda di Aceh.
Perempuan yang menetap di Bireuen tersebut mengatakan selama ini meunasah sekadar tempat salat dua waktu—Magrib dan Isya–, tempat rapat desa, dan pelaksaan maulid, serta tarawih.
Sedangkan salah satu fungsi lainnya yaitu tempat penyelenggaraan pendidikan Islam tidak lagi dilaksanakan.
“Dulu, setiap selesai Magrib meunasah penuh anak-anak dan remaja yang belajar Quran dan kitab-kitab berbahasa Melayu. Mereka diajari oleh teungku imum dan warga yang mempunyai kemampuan di bidang tersebut. Efeknya, anak-anak dan remaja selain bisa membaca Quran juga memiliki rasa hormat kepada yang lebih tua,” ujar Magfirah.
Beberapa waktu lalu hingga saat ini, anak-anak dan remaja tidak lagi ke meunasah. Mereka berkumpul di tempat-tempat yang menyediakan wifi gratis. Tenggelam dalam dunia online. Sibuk bermain game online sehingga lupa waktu. Bahkan bila dijemput oleh orangtuanya, akan melawan. Bila ditegur oleh orang dewasa, mereka berani menantang.
Hal yang lebih miris, kata Magfirah, anak-anak itu bahkan ada yang ngelem.
“Jelas ini fungsi kontrol dari keluarga sudah tidak ada lagi. Bobol semua. Tapi pemerintah tidak boleh mengabaikan. Saya menyambut baik adanya SE yang mengatur tentang itu. Ini bukan soal pembatasan ruang gerak. Jangan lihat itu. Tapi ukurlah dari sisi penguatan sumber daya manusia Aceh. kita tidak mungkin dapat maju dengan generasi yang tidak menghargai waktu, yang tidak memiliki sopan santun, generasi yang tidak diasuh dengan baik,” kata Magfirah.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Mutia (36). Setiap pulang kampung dia melihat banyak meunasah yang sepi seusai Magrib. Tapi warung kopi dan kios-kios yang memiliki jaringan wifi, penuh dengan anak-anak dan remaja yang asyik bermain game online.
Dulu, ketika penerangan di malam hari belum ada, anak-anak Aceh diasuh dengan baik. Sekarang, semakin maju daerah, justru anak-anak dan remaja seperti tercerabut dari akar budaya. Hidup dengan gaya semaunya saja.
“makanya saya melihat SE tersebut merupakan salah satu terobosan. Apalagi Pak Pj Gubernur punya komitmen melakukan evaluasi. Ruang evaluasi tersebut harus dibuka lebar. Jangan hanya menerima laporan yang enak-enak saja. Tapi juga memantau dengan lebih serius supaya SE tersebut berdaya guna lebih baik,” katanya.