Pilpres 2024 Harus (Kembali) Jadi Arena Tarung Gagasan

Pilpres, Bacapres 2024, (dari kiri) Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto: Ilustrasi: Komparatif.ID
Bacapres 2024, (dari kiri) Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto: Ilustrasi: Komparatif.ID

Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 tensi perpolitikan tanah air saban hari semakin tinggi. apalagi setelah pendelakrasian bakal calon presiden (bacapres) Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo oleh PDI-P menjelang lebaran Idul Fitri 2023 lalu.

Sampai hari ini, setahun menjelang pesta demokrasi pemilu 2024 setidaknya sudah ada tiga nama bakal calon presiden (bacapres) yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto.

Diluar tiga nama ini, kalkulasi politik dengan segala kemungkinan-kemungkinan dan dinamika masih terus bergulir dimana intensitas elite-elite partai politik mengadakan pertemuan dan komunikasi sangatlah tinggi, termasuk sowan kesana kemari untuk meningkatkan elektabilitas.

Warna perpolitikan Indonesia memang dinamis, selain jumlah partai politik yang relatif banyak dibandingkan Amerika Serikat yang jumlahnya penduduknya jauh lebih besar dari Indonesia, sentiment keagamaan juga turut mewarnai sehingga muncul narasi politik identitas.

Walau penyematan politik identitas kepada figur tertentu masih subjektif dan ambigu. Namun polarisasi yang timbul akibat pembelahan sentimen agama seperti pengalaman pada Pilpres 2019 bukan tidak mungkin terjadi kembali.

Pembelahan yang rentan perpecahan tentunya seringkali terjadi di tingkat pemilih akar rumput, yang memandang politik hanya hitam dan putih saja. Tidak ada abu-abu. Sederhananya, selain pilihan sendiri wajib dijauhi dan diingkari.

Meski demikian tidak dapat dipungkiri, Indonesia lahir dari pergulatan dan perdebatan panjang politik kanan (kaum islamis) dan politik kiri (sosialis sekularis), walau sebenarnya kedua-dua entitas politik ini sudah menyepakati suatu identitas kebangsaan bersama melalui Pancasila.

Namun dalam perjalanannya, kedua entitas ini terus beririsan secara politik akibat saling curiga satu sama lain, golongan kanan mencurigai yang kiri akan ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler dan komunis sebagaimana pengalaman traumatis peristiwa G30SPKI.

Baca juga: WHO: Covid-19 Bukan Lagi Darurat Kesehatan Global

Sedangkan golongan kiri mencurigai golongan kanan akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Pada intinya kedua entitas politik ini meyakini bahwa jika lawan politiknya yang berkuasa maka eksistensi mereka terancam.

Pada pemilu 2014 misalnya, masyarakat terbelah secara mendalam dan rentan resistensi sebagai cepret; cebong dan kampret. Barisan pendukung Prabowo-Sandi didominasi golongan kanan, sementara sisi lainnya diisi pendukung Jokowi-Ma’ruf.

Menjelang pilpres 2024, secara teoritis bakal calon presiden yang sudah memenuhi ambang batas electoral hanya Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, sedangkan Prabowo Subianto belum memenuhi ambang batas karena hingga saat ini baru Gerindra yang mengkonfirmasi mengusung mantan Panglima Kostrad itu.

Golongan kanan (islam politik) dipastikan sepenuhnya akan bergabung ke gerbong Anies Baswedan. Sangat kecil kemungkinan mendukung Prabowo karena langkah politiknya yang memilih bergabung dengan pemerintah pimpinan presiden Jokowi.

Bagi pemilih islam konservatif, keputusan Prabowo masuk gerbong kabinet Jokowi adalah bentuk pengkhianatan setelah dukungan all-out yang diberikan pada Pilpres 2019 lalu.

Sebaliknya, golongan kiri (sekularis) kemungkinan besar merapat, dan mendukung gerbong Ganjar Pranowo. Sedangkan yang di tengah akan mendukung Prabowo, dan boleh jadi persentasenya tidaklah begitu besar.

Pilpres Jangan (Lagi) Jadi Arena Tarung Identitas

Menghadapi 2024, harus ada perdebatan intelektual panjang dan tuntas antar capres untuk menghilangkan kecemasan satu sama lain, dan pembelahan yang rentan perpecahan dikalangan anak bangsa juga mesti dapat diminimalisir.

Masing-masing capres harus memastikan jika memenangi Pilpres ia akan menjadi sosok pemersatu atau solidarity maker, lawan politik bukanlah musuh pemerintahan pimpinannya kelak akan melindungi semua anak bangsa apapun agamanya apapun sukunya dan apapun warna politiknya.

Selain pemerintah selaku penyelenggara pemilu lite-elite partai politik selain bekerja memenangkan partainya dalam kontestasi pemilu juga bertanggung jawab memberikan edukasi politik sehingga masyarakat menjadi cerdas dan tidak hitam putih dalam berpolitik.

Serta jangan ada lagi narasi dan sentiment keagamaan menjelang pilpres seperti ancaman dapat masuk neraka hanya dengan salah memilih pasangan calon presiden sebagaimana ajakan seorang penceramah di Aceh menjelang pemilihan presiden 2019 melalui video yang beredar luas kala itu.

*Fajri, mahasiswa PPS UIN Ar-Raniry konsentrasi pemikiran Islam

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here