Piala Dunia 2022 usai, Argentina secara resmi mengangkat tropi Piala Dunia, dan menegasi diri sebagai pemenang setelah menggeser Prancis di laga final. Final yang bagi sebagian pengamat dan penonton sebagai final paling epik dalam sejarah bola; gol dan pertarungan saling menyamakan skor seri harus berakhir dengan penalti.
Walau sudah berjuang sangat keras dengan segenap kualitas tim yang merata dan bermental juara, Prancis harus puas di posisi kedua, layaknya Maroko yang dipuji-puji sebagai representasi identitas agama harus bertengger di posisi keempat. Demikianlah sepakbola, bergulir tanpa kepastian. Sampai sekarang layaknya gempabumi, belum ada mesin dan teknologi yang mampu memprediksi secara akurat antara kemenangan dan kekalahan.
Ada yang menarik dari dunia sepakbola, yang kerap memunculkan model dan varian pendukung. Di dalamnya ada imagined communities, dan persoalan politik identitas yang diaduk lewat emosi manusia sebagai komponen alam yang memiliki naluri emosi. Setidaknya, dalam konteks Piala Dunia, ada tiga varian kelompok manusia yang dapat dibaca.
Baca juga: Messi Rengkuh Piala Dunia, Debat GOAT Usai
Pertama, varian konservatif, yang kerap memaknai segala sesuatu berhubungan erat dengan unsur agama, termasuk sepakbola. Sejak Maroko sebagai salah satu wakil Afrika dan notabene mayoritas penduduk Muslim melaju tanpa hambatan, muncul emosi keagamaan akut dari kelompok agamis. Beberapa status di media sosial, snap whatsapp hingga opini muncul yang mengaitkan agama dengan sepakbola. Bahkan, lebih liar memandang pertarungan di rumput hijau yang dilakoni oleh sebelas pemain itu bagian dari tanda-tanda kebangkitan peradaban agama.
Emosi ini wajar secara antropologis, mengingat kelumpuhan peradaban agama pendukung yang telah terjadi sejak lama. Jadi, saat Piala Dunia yang berakar dari kebudayaan non-Islam tersebut mencuat, tampak ada secercah harapan bagi varian ini untuk melihat irisan peradaban bangkit. Meskipun, sebenarnya terlalu dramatis mengaitkan agama dengan sepakbola yang hadir empat tahun sekali. Apalagi, mengingat peradaban itu tak lantas muncul dalam waktu hanya sebulan. Kondisi ini apa yang disebut oleh Teuku Jacob, seorang antropolog Indonesia dengan istilah ”virtual presence.”
Kedua, varian kelompok yang melihat sepakbola sebagai representasi olahraga tanpa embel agama. Bagi kelompok ini, sepakbola benar-benar dimaknai sebagai pertarungan negara dunia, terutama negara yang pernah dan kerap tampil sebagai juara. Sebut saja Brazil, Argentina, Jerman, Prancis, dan Inggris yang kerap mendominasi wajah sepakbola dunia.
Kelincahan pemain, kekuatan tim dan perjalanan tim melaju dari babak penyisihan hingga final adalah benar-benar warna sepakbola. Tanpa negara-negara tersebut, sepakbola tak ada makna.
Di sana tak ada persoalan identitas agama, mutlak mengenai bagaimana sepakbola harus dinikmati sebagai salah satu kebudayaan besar yang pernah diproduksi manusia. Di sana hanya ada kebanggaan, manusia sebagai pemain profesional, dan bagaimana seharusnya sepakbola dinikmati sebagai arena pertarungan bagi klub-klub peradaban bola.
Tak ada ruang dan proyek normatif dalam sepakbola. Kelompok seperti ini, biasanya dari sejak bergulir Piala Dunia, sudah konsisten memilih dan mendukung klub kesebelasan yang mewakili emosi sepakbola sebagai kebudayaan; bukan identitas agama.
Ketiga, kelompok yang sekedar ikut-ikutan meramaikan arena sepakbola, dengan harapan tidak tersisih dari komunikasi sosial selama Piala Dunia berlangsung. Setidaknya, berapa skor permainan dan bagaimana jalannya pertandingan dikantongi sebagai modal perbincangan di ruang publik.
Bagi kelompok ini, sepakbola dilihat sebatas kebutuhan komunitas sosial. Menang dan kalah tak membawa dampak psikologis baginya. Sepakbola dilihat sebagai even olahraga, tak lebih. Dalam istilah buruh pekerja, varian ini dapat disebut sebagai “prekariat,” hanya sekedar menghindari pengangguran dari komunikasi dan relasi sosial.
Bagaimanapun, selama Piala Dunia berlangsung, diskusi dan perbincangan tak pernah keluar dari rel World Cup. Karena itu, kelompok terakhir secara terpaksa ikut terlibat sebagai pengamat sempalan.
Piala Dunia akan hadir selama empat tahun sekali, perhelatan ini menyeruak dan merangsek menembus batas politik, identitas bahkan agama. Sepakbola senantiasa melibas penganut keyakinan dan tiga varian kelompok tadi. Bagi peradaban sepakbola tak penting identitas ras dan agama. Toh, bagi olahraga ini, bola bulat harus terus bergelinding dan berputar seperti rotasi bumi, yang di dalamnya berisi miliaran manusia,yang dengan sigap berkumpul, berteriak histeris, mengaduk emosi hingga permainan selesai.
Setelah itu, dunia kembali pada poros tradisinya, konflik, kebencian dan pertarungan ekonomi. Di sana, seharusnya nilai agama harus benar-benar hadir menyelamatkan manusia dan variannya.