Pesona Hikayat Prang Sabi

Hikayat Prang Sabi
Teks Hikayat Prang Sabi. Disitat dari situs islamic-center.or.id

Hikayat Prang Sabi yang ditulis oleh Teungku Chiek Muhammad Pante Kulu pada tahun 1881 Masehi, memiliki daya magis luar biasa. Siapa saja yang mendengarnya akan bergelora jiwa, berkobar semangatnya, menggelegar darahnya.

Anzib, seorang pengarang sekaligus guru sebelum Perang Dunia II, dalam Pengantar Naskah Hikayat Prang Sabi, menulis sebuah kisah yang terjadi pada tahun 1907.

Seorang lelaki bernama Lem Abah, penduduk Peurada, Mukim Kayee Adang, Daerah XXVI Mukim, pada suatu malam mendengar seseorang membacakan Hikayat Prang Sabi. Lem Abah terpesona dengan syair yang maha indah itu.

Baca: Bahasa Aceh Semakin Tak Akrab Dengan Generasi Muda

Lem Abah seketika ingin mati syahid. Kebenciannya kepada Kaphe Beulanda berlipat ganda, dan keinginannya ingin bertemu bidadari di surga bertambah dahsyat.

Esok paginya, Lem Abah telah berada di Peukan Aceh. Di depan Societeit Atjeh Clup, dia menghunus rencong dan menikam dada seorang Belanda yang sedang berjalan-jalan di pagi hari. Pria bule tersebut terkapar di tanah, menggelepar, dan kemudian mati.

Lem Abah ditangkap oleh Belanda pada saat itu juga. Dia kemudian diasingkan ke Pulau Jawa. Anzib menduga bila Lem Abah telah dibunuh, karena ia tak pernah lagi kembali ke Aceh.

Kemarahan Lem Abah terhadap Belanda telah ada sebelumnya. Ditambah lagi dalam tahun 1907 Belanda sudah menetapkan kewajiban wajib bayar pajak bagi orang Aceh. Kebencian itu berlipat ganda, setelah ia mendengar lantunan syair Hikayat Prang Sabi yang berdaya magis tinggi.

Di masa itu, Hikayat Prang Sabi merupakan karya sastra terlarang. Siapa saja dilarang menyimpan, konon lagi membacanya. Baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Siapa yang mengimpan-membaca, akan ditangkap oleh Belanda.

Belanda sudah teramat lelah menghadapi perlawanan pejuang Aceh, yang sangat gila berperang karena pengaruh hikayat tersebut. Tingkat kenekatan orang Aceh dalam mencari mati syahid sangat tinggi. Bahkan tak sungkan masuk ke daerah lini konsentrasi Belanda, hanya demi tujuan mencari mati. Mengamuk di tengah pasar, menikam orang Belanda, dan kemudian mati di ujung bedil dan bayonet serdadu sewaan.

Ali Hasjmy dalam bukunya Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, –buku ini pertama kali diterbitkan oleh Firma Pustaka Faraby, Banda Aceh, pada tahun 1971 dengan judul Hikayat Prang Sabi Menjiwai Perang Aceh Melawan Belanda—menuliskan di Bahagian Pertama “Hikayat Prang Sabi Karya Satra yang Terbesar”, sub bab: Hikayat Prang Sabi di Mata Orang Belanda, menyebutkan pimpinan tentara dan pentadbiran Pemerintah Militer Hindia Belanda menetapkan hikayat tersebut sebagai senjata yang sangat berbahaya, sehingga dilarang membaca, menyimpan, dan mengedarkannya.

Profesor Dr. Cristian Snouck Hurgronje, memberikan perhatian besar terhadap hikayat tersebut. Demikian juga H.T. Damste, seorang ahli bahasa dan sastra Aceh, mantan Controleur di Idi (Aceh Timur). Dia telah melakukan penelitian dan menerjemahkan karya sastra agung itu ke dalam bahasa Belanda dan kemudian disiarkan dalam Bijdragen Tot de Taal-land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, yang diterbitkan di Belanda oleh Het Koninklijk Instituut voor de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie.

Lewat karyanya itu, H. T. Damste telah berjasa memperkenalkan karya sastra Hikayat Prang Sabi kepada Dunia Barat. Para mahasiswa Fakultas Sastra Jurusan Sastra Aceh di Negeri Belanda menjadikan hikayat tersebut sebagai bacaan wajib. Bahkan hikayat itu menjadi perhatian mahasiswa dan sarjana lainnya di negeri itu.

Hikayat Prang Sabi Dikarang di Atas Kapal

Teungku Chiek Muhammad Pante Kulu menulis hikayat tersebut dalam tahun 1881 Masehi, ketika dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci ke Aceh. Di dalam kapal yang sedang berlayar antara Jeddah-Penang, Teungku Chiek mengarang Hikayat Prang Sabi. Teungku Muhammad Hasballah Saleh dalam satu artikel dalam majalah Sinar Darussalam, menyebutkan hikayat tersebut merupakan sumbangsih sang ulama untuk membangkitkan semangat melawan Belanda.

Hikayat yang ditulis dalam bentuk puisi tersebut terdiri dari empat cerita yaitu tentang kisah Ainul Mardliyah, Pasukan Gajah, Said Salmy, dan kisah Muhammad Amin (budak mati yang hidup kembali).

Karya tersebut, sesampainya sang ulama ke Aceh, diserahkan kepada Teungki Chiek di Tiro pada sebuah upacara khidmad di Kuta Aneuk Galong.

Perihal tentang siapa Teungku Chiek Pante Kulu, Abdullah Arif dalam 10 Tahun Darussalam, menulis sang ulama lahir di Gampong Pante Kulu, Mukim Titeue, Pidie, pada tahun 1251 Hijriah (1836 Masehi). Ia berasal dari keluarga ulama yang memiliki hubungan kerabat dengan kelompok ulama Tiro.

Setelah menamatkan Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam dalam bahasa Jawi (Melayu) Teungku Muhammad melanjutkan pelajarannya ke Dayah Tiro yang dipimpin oleh Teungku Haji Tjhik Muhammad Amin Dayah Tjut, seorang ulama yang baru pulang menunaikan ibadah Haji di Mekkah.

Selesai menamatkan pelajaran di Dayah Tiro, yang membuat ia mahir berbahasa Arab, atas izin gurunya, Teungku Muhammad yang telah bergelar Teungku Rangkang (setara dengan Asisten Dosen) melanjutkan pendidikan ke Mekkah sembari menunaikan ibadah Haji.

Di sana ia mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin gerakan Wahabi. Sang ulama juga membangun jaringan dengan pemimpin-pemimpin Islam yang datang dari berbagai belahan dunia.

Di Tanah Suci, Teungku Muhammad sangat gemar membaca buku-buku syair Arab, terutama karya penyair perang di zaman Rasul seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Malik,dan Ka’ab bin Zubair. Dari sanalah jiwa seninya meninggi, membuncah dalam sebuah karya maha agung yang menjadi inspirasi perang panjang melawan Kaple Beulanda.

Karya Maha Agung

Prof.Dr. Anthony Reid dalam The Contest for North Sumatra, menuliskan:

Kegiatan-kegiatan ulama sekitar tahun 1880 telah menghasilkan sejumlah karya sastra baru berbentuk puisi kepahlawanan popular dalam lingkungan rakyat Aceh. Hikayat Prang Sabi adalah yang paling masyur dalam membangkitkan semangat perang suci. Bahkan Teungku Tiro, Teungku Kutakarang, dan ulama-ulama lainnya, juga telah menyiarkan karya-karya pendek mereka yang melukiskan kelemahan pihak kafir dan kemenangan telah tersedia untuk rakyat Aceh apabila pada satu waktu nanti mereka telah menerima kebenaran ajaran-ajaran Islam.

Ali Hasjmy dalam sub bab Mengapa Hikayat Prang Sabi Berhasil? Menukilkan bahwa hikayat tersebut memiliki kandungan dalam tiga hal. Pertama, segi seni bahasa atau kesusteraan. Kedua, segi pendidikan, dan ketiga segi dakwah Islamiah.

Hasjmy mengutip keunggulan segi seni bahasa, sesuai dengan syarat seni bahasa yang disusun oleh Dr. Slamet Muljana dalam Peristiwa Bahasa dan Sastra, bahwa Adapun syarat-syarat suatu karya sastra yang baik harus memenuhi syarat keindahan, syarat bahasa, syarat seni, syarat ekspresi, syarat ilham, dan syarat ketegasan.

Dalam segi pendidikan, telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Dr. Amin Marsa Kandil dalam Ushulut Tarbiyah wa Fanmut Tadris, jilid 1. Yaitu telah mengandung syarat pendidikan akal, syarat pendidikan akhlak, syarat pendidikan rasa, dan syarat pendidikan keindahan.

Dari segi dakwah Islamiyah, telah memenuhi tujuan dakwah seperti yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 104-105, yaitu mengajak manusia berbuat kebajikan, menyuruh makruf dan melarang mungkar.

Sesuai juga dengan surat Al Anfal ayat 8 tentang menegakkan kebenaran dan membasmi kejahatan. Kemudian menyampaikan berita pahala dan berita siksa seperti yang terkandung dalam Al-Baqarah ayat 119, dan Al Ahzab 45-47. Serta menyatakan kerasulan Nabi Muhammad seperti kandungan ayat 1 surat Ibrahim, ayat 107 Al Ambiya, ayat 49 Al Hadj. Serta menyatakan agama kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad untuk mengganti segala agama sebelumnya, yang dikandung dalam surat Saba ayat 28.

Kemudian juga telah memenuhi unsur kebijaksaan dakwah seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat An Nahl ayat 125. Serta telah memenuhi unsur dakwah dan khayal yang artinya khayal yang ditimbulkan oleh kenyataan-kenyataan yang ada dan suatu yang dapat dicapai serta logis. Bukan angan-angan  yang hanya semata suatu penerawangan yang tidak berdasarkan kenyataan.

Jangan katakan mati

Mujahid yang tewas di medan perang

Mereka hidup bahagia

Senantiasa bermandikan rahmat Tuhan.

 

Jangan dianggap mati

Meski nyatanya demikian

Jangan ragukan kekasih hati

Ada firman Tuhan.

 

Jangan sebutkan mati

Meski nyawa sudah tiada

Di sisi Ilahi ia abadi

Senantiasa bersuka ria.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here