Perkawinan Serta Pergaulan Laki-laki & Perempuan Aceh

Resensi Buku Islam dan Adat Aceh

Buku Islam dan Adat Aceh yang ditulis oleh Moehammad Hoesin, mengupas persoalan perkawinan serta pergaulan laki-laki dan perempuan Aceh. Buku tersebut seperti eksiklopedia, lengkap dan menarik. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi orang Aceh. demikian juga perihal pergaulan laki-laki & perempuan. Moehammad Hoesin mengulasnya sangat apik.

 Islam dan Adat Aceh, menjadi salah satu karya agung Moehammad Hoesin. Sebuah buku yang diterbitkan kembali oleh LSKPM Aceh dan Majelis Adat Aceh. Sebelumnya buku ini telah diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan  Provinsi Daerah Istimewa Aceh tahun 1970, dengan judul Adat Aceh.

Penerbitan kembali buku ini tahun 2018, dibarengi dengan penyesuaian bahasa merujuk Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)yang sepenuhnya dilakukan oleh Lembaga Studi Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat (LSKPM) Aceh. Re-terbit buku dengan judul baru, juga telah mendapatkan izin dari Dinas Pendidikan Aceh.

Baca juga: Adat Beguru Dalam Masyarakat Gayo

Buku Islam dan Adat Aceh menarik; pantas disebut sebagai eksiklopedia adat-istiadat Aceh, yang terus bertransformasi dari masa ke masa. Buku ini menggambarkan betapa perubahan adat Aceh berjalan sangat aktif seiring perkembangan zaman. Hal yang paling urgent dalam proses ini adalah upaya sungguh-sungguh menyesuaikan adat dengan Islam.

Haba maja adat ngon hukom lage zat ngon sifeut adalah bentuk kongkret bahwa Islam dan adat Aceh telah menyatu dan tidak mungkin dipisahkan. Bila adat tidak sesuai dengan Islam, maka itu bukan adat Aceh. demikianlah orang-orang lampau mengidentifikasi diri sebagai Islam.

Upaya tersebut juga dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Kerajaan Aceh Darussalam serta berbagi kerajaan lainnya yang pernah tumbuh di Aceh setelah Islam masuk. Sultan memberikan tempat istimewa kepada kaum adat (uleebalang) dan agamawan (ulama). Bahkan sultan tidak segan-segan memberikan posisi penasihat khusus bidang religius sekaligus merangkap hakim utama kepada pendatang dari Timur-Tengah dan Asia Selatan, yang datang ke Aceh dengan segenap atribusi religiusnya.Tentang kedekatan antara sultan dan ulama ditamsilkan dalam hadih maja Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala. Qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.

Salah satu yang menarik dalam buku Islam dan Adat Aceh, yaitu perihal perkawinan dan pergaulan antara laki-laki & perempuan. Dalam perkembangannya, adat-istiadat Aceh mengalami tranformasi secara terus-menerus; menyesuaikan dengan hukum Islam dan perkembangan zaman.

Nilai-nilai yang sebelumnya telah ada tapi tidak lagi sesuai dengan Islam dan perubahan zaman, ditinggalkan secara pelan-pelan. Hal-hal baru kemudian dimasukkan, yang bisa disesuaikan, maka akan disandingkan, dengan penambahan tertentu, atau pengurangan tertentu.

Dalam perkawinan di Aceh dikenal istilah kawin gantung. Yaitu sebuah pernikahan yang digelar kala mempelai perempuan belum mencapai umur. Perkawinan di bawah umur bukan sebuah kelaziman, tapi disebabkan oleh berbagai hal, seperti berasal dari keluarga sangat miskin, yatim piatu,sehingga cepat dinikahkan.

meskipun telah menikah, pengantin pria tidak diperkenankan pulang/menyetubuhi istrinya. Ia harus menunggu sampai perempuan mencapai umur. Pun demikian, meski mereka belum bercampur, sang suami sudah wajib memberikan nafkah lahir—sesuai kemampuannya—untuk sang istri. Belanja yang diberikan paling kecil sebatas pemenuhan kebutuhan dasar.

Ada pula pernikahan sekufu. Biasanya dilakoni oleh kalangan bangsawan, agamawan (ulama) atau orang-orang kaya. Mereka lebih memilih menikah melewati batas usia ideal—18 sampai 22 tahun—demi mendapatkan pasangan hidup yang sederajat. Orang-orang ini seringkali menikah dengan pasangan yang jauh dari kampung asalnya. Meskipun perkawinan dengan orang kampung yang jauh, masih dianggap tabu kala itu, tapi bagi kalangan atas, dikecualikan.

Orang-orang biasa, dianjurkan menikah dengan gadis-gadis yang masih satu kampung, atau dari kampung terdekat. Tujuannya agar penduduk bertambah ramai berkat hasil kawin-mawin itu.

Maka tidak heran bila kita sering mendengar kalimat Lam gampong nyoe droe teuh mandum. Hana meujampu ngon gop. Artinya seluruh penduduk kampung masih punya tali-temali persaudaraan akibat pernikahan.

Seorang suami juga dilarang membawa serta istrinya ke tempat lain, bila tidak ada hal yang mendesak. Bilapun harus dibawa, maka ia wajib menyediakan rumah untuk istrinya di tempat yang baru. Rumah itu wajib diberikan sepenuhnya kepada istri. Bila mereka bercerai, rumah tersebut tidak dibagi lagi sebagai harta bersama.Inilah awal mula lahirnya istilah istri di Aceh disebut poe rumoh. (pemilik rumah).

Namun pembatasan tersebut, pelan-pelan dihilangkan dalam tradisi Aceh, karena secara Islam, setelah menikah seorang perempuan wajib mengikuti suaminya, selama ia masih dituntun ke jalan yang benar.

Dalam proses pinang-meminang, harus didahului oleh pihak laki-laki. Untuk tahap pertama, proses itu diwakili oleh seulangke—seorang lelaki yang menjadi perwakilan laki-laki yang hendak menikah—dan bila pinangan itu diterima, baru dilanjutkan dengan penglibatan keuchik dan imum meunasah. Bila masa pernikahan telah ditetapkan, maka tempat menikah itu di kediaman mempelai perempuan.

Seorang-laki-laki dianggap telah layak menikah bila sudah berusia 18 sampai 22. Demikian juga perempuan. Untuk keduanya, dianggap layak menikah bila sudah dapat membaca Alquran, dapat mengerjakan salat lima waktu, salat Jumat, salat Tarawih, salat Idulfitri, salat Iduladha, serta perintah-perintah lainnya di dalam agama. Mereka juga harus menjunjung tinggi sopan-santun di dalam kehidupan sosial.

Mampu menjaga kesabaran merupakan hal yang sangat ditekankan kepada keduanya. Suami dan istri harus selalu bermuka manis kepada pasangannya.

Hal unik lainnya, setelah perkawinan selesai, termasuk prosesi walimatul ursy selesai digelar, seorang linto baro dan dara baro dilarang melakukan hubungan seksual sebelum tujuh hari berlalu. Bilangan tersebut dihitung sejak hari pertama pengantin pria pulang ke rumah istrinya. Makanya, untuk menghindari mereka diam-diam masuk ke dalam kamar, maka baik dari pengantin pria maupun wanita, sama-sama ditemani oleh orang yang ditunjuk dan diakui kejujurannya.

Perkawinan di Aceh menarik disimak. Karena sejak dulu telah digariskan berbagai aturan, yang secara terus-menerus menyesuaikan diri dengan ajaran Islam. Foto: Dikutip dari Bridestory.com.
Perkawinan di Aceh menarik disimak. Karena sejak dulu telah digariskan berbagai aturan, yang secara terus-menerus menyesuaikan diri dengan ajaran Islam. Foto: Dikutip dari Bridestory.com.

Namun, seiring berjalannya waktu, dilakukan penyesuaian. Tidak ada lagi perjamuan tujuh hari untuk linto baro, juga tidak ada lagi larangan tidak boleh berjimak sebelum tujuh hari.Perubahan ini berlaku seiring dengan semakin dalamnya pemahaman agama tentang pernikahan  dalam Islam di kalangan masyarakat dan tetua adat.

Dalam pergaulan sosial, seorang laki-laki dilarang mengunjungi gadis-gadis orang. Serta melarang perempuan yang telah menikah, menerima kunjungan oleh laki-laki lain bila tidak mendapatkan izin dari sang suami. Demikian juga laki-laki dilarang mengunjungi janda-janda.

Selain itu, seorang laki-laki dilarang bercakap-cakap lama dengan perempuan yang bukan mahramnya. Konon lagi membawa pesiar perempuan tersebut, itu sangat dilarang dan dikecam.

Buku ini—seperti disebutkan di awal, merupakan sebuah eksiklopedia tentang adat-istiadat Aceh yang sangat lengkap. Meskipun diterbitkan pertama kali pada 1970, Moehammad Hoesin yang hidup sepanjang 1903-1969 telah menyajikan sebuah buku yang sangat progresif. Ia merekam –nyaris utuh—setiap perkembangan, disampaikan dengan bahasa sederhana; mudah dimengerti oleh semua kalangan.

Selain perihal perkawinan dan pergaulan laki-laki & perempuan di Aceh, buku tersebut juga membahas banyak hal lain tentang adat-istiadat Aceh dan kaitannya dengan Islam yang menjadi keyakinan orang Aceh.

Judul: Islam dan Adat Istiadat

Penulis: Moehammad Hoesin

Penerbit: LSKPM & MAA

Tebal buku: 336 hlm

Negara: Indonesia

Bahasa: Indonesia

Cetakan: kedua, cetak pertama 1970

Tahun terbit: Re-terbit 2018

ISBN: 978-602-18819-4-1

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here