Pukul 06.00 WIB, Kamis (1/6/2022) dua truk jungkit Mitsubishi Colt berhenti di Keude Teupin Mane,Juli,Bireuen. Suara knalpot truk diesel itu menderu, membelah pagi yang masih diselimuti hawa dingin.
Beberapa perempuan bergegas turun. Mereka masuk ke sebuah warung kopi yang berada di sisi kanan jalan dari arah Bireuen menuju Aceh Tengah.
Beberapa orang di antaranya mengambil nasi bungkus di atas meja. Kemudian masuk ke dalam, memilih cemilan yang terdiri beberapa jenis. Bakwan, risol, pulut panggang, apem, dll. Ada yang turut membeli kopi bungkus.
Mereka tidak berlama-lama. Lima menit kemudian sudah kembali ke truk jungkit berkelir kuning.
Truk kembali melaju, membawa perempuan-perempuan itu ke perkebunan sawit milik perusahaan lokal yang berekspansi besar-besaran setelah lahirnya MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Uniform mereka menarik. Baju lengan panjang, celana panjang, sepatu both, sarung tangan, jilbab dan topi, serta tas ransel. Di dalam tas itu ditaruh berbagai kebutuhan lapangan, termasuk parang untuk membabat.
***
Kehadiran perkebunan sawit di kawasan Juli telah membuka jalan baru bagi kaum ekonomi lemah. Perempuan-perempuan yang tulang punggung ekonominya telah sekian lama absen, mengambil alih peran. Mereka mendaftarkan diri sebagai buruh harian pada perkebunan sawit.
Mereka dibayar setiap satu minggu sekali. Per hari digaji Rp70.000. Dengan uang itu mereka menjaga keberlangsungan ekonomi keluarga. Mereka hanya libur pada hari Jumat, dan Lebaran. Selebihnya tidak ada tanggal merah.
Banyak kisah tentang perempuan akar rumput di Juli yang memilih bekerja di perkebunan sebagai buruh kasar. Mereka memilih turun tangan, karena pendapatan suami tidak mampu menalangi kebutuhan dasar keluarga.
“Abang tak punya pekerjaan tetap. Bila sebulan bekerja, ada tiga bulan tak kemana-mana. Dari rumah ke warung kopi, begitu setiap hari. Saya stres melihatnya,” kisah J (40) ibu dengan lima anak.
J memilih mengambil alih peran sebagai pencari nafkah. Dia tidak tega melihat anak-anaknya terus-menerus melihat ayah dan ibunya bertengkar karena persoalan ekonomi.
Meskipun bekerja di perkebunan yang berangkat Subuh pulang sore, bukan berarti tanggung jawab sebagai ibu dia abaikan. “Anak-anak tetap saya asuh semampu saya. Abang juga saya perhatikan juga semampu saya.”
Gaji harian Rp70.000, menurutnya sangat lumayan. Sudah dapat menghadirkan sajian menu layak makan di dapur gubuknya. Meskipun tidak tiap hari, setidaknya seminggu tiga kali, mereka pasti makan dengan lauk ikan segar. (Eungkôt udép-Aceh).
Kisah lainnya disampaikan oleh H (33). Ibunya dulu bekerja sebagai buruh sawit untuk biaya dapur dan sekolah adik-adik H.
Sebagai janda cerai mati, ibu H tidak punya waktu duduk-duduk manis, karena tidak ada yang mengantar rezeki ke rumah kayu milik mereka. Meskipun terkadang sedang sakit, ibunya H memaksa diri bekerja di perkebunan.
H bersyukur, berkat kerja keras ibunya, ia kini telah sukses. Setelah lulus kuliah ia melarang ibunya bekerja di kebun. Dia berjanji akan menanggung biaya rumah tangga, termasuk kebutuhan biaya pendidikan adik-adiknya.
Lain lagi kisah N, pria berusia 57 tahun itu telah lama “pensiun” dari kerja keras. Kakinya tidak kuat lagi melangkah. Tangannya juga lemah. Mata sudah tidak begitu jernih.
Dia dan istrinya tidak lagi punya tanggungan. Anak-anak mereka semuanya telah menikah. Tapi mengapa istrinya mendaftar sebagai pekerja di perkebunan sawit.
“Mamak anak-anak gak bisa diam. Dia suka kalau ada pemasukan. Lagi pula saya juga sudah tidak lagi produktif mencari uang sejak sakit-sakitan,” terang N dalam sebuah bincang ringan.
***
Di Juli, setiap pagi ada 7 truk jungkit Mitsubishi Colt yang mengangkut buruh lepas perkebunan sawit. Rata-rata buruh tersebut perempuan dari ragam usia. Mulai gadis hingga perempuan setengah abad.
Juga ada pria, meskipun tidak dominan tapi memiliki penghasilan lebih bagus. Pria-pria itu memiliki bidang kerja berbeda. Biasanya dodos tandan sawit. Pekerjaan itu lebih banyak menguras tenaga. Sebagian lainnya menjadi mandor kebun.
Sejumlah sumber kepada Komparatif.id mengatakan kehadiran perkebunan sawit milik pengusaha lokal, telah membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat di akar rumput.
Meskipun rata-rata para pekerja itu juga petani, tapi sejatinya kebun-kebun mereka tidak menjanjikan apa pun. Harga komoditi seperti pinang dan kelapa, seringkali membuat biaya produksi petani lebih besar ketimbang keuntungan.
Mereka yang punya lahan satu sampai dua hektar isinya pinang dan kelapa dan beberapa batang kakao. Tapi hasil panennya tidak tiap hari, dan harganya pun sering murah ketimbang mahal.
Sebagian lagi memang tidak punya lahan meskipun sepetak kecil. Mereka harus mencari pekerjaan agar mendapatkan uang. Di Juli, satu-satunya pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian dan ijazah hanya buruh kebun sawit.
Pun demikian, kuotanya terbatas. Tidak serta merta dapat bergabung menjadi pekerja. Harus mendaftarkan diri melalui “agen”. Bila ada slot maka akan dimasukkan.
Karena keterbatasan slot itu lambat-laun membuat pekerja itu hampir menghindar dari aktivitas sosial. Meskipun tidak semua bersikap demikian. Pun demikian, bekerja sebagai buruh tidak boleh sering absen. Karena perusahaan memiliki target. Bila sering tak mencapai target, pekerja bisa diberhentikan begitu saja. Cukup dengan kalimat pendek, “Kamu sudah harus berhenti.”
Tentu tak ada yang ingin mendapatkan kalimat itu. Akhirnya mau tak mau, harus memilih. Dan bila sudah dihadapkan pada pilihan, rata-rata memilih pekerjaan, dan itu manusiawi.