Pengakuan 12 Pelanggaran HAM Berat Berpotensi Pepesan Kosong

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul,S.H, Kamis (12/1/2023) melihat pengakuan Presiden terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat akan berakhir menjadi pepesan kosong. Foto: HO for Komparatif.id

Komparatif.ID, Jakarta—Pengakuan Presiden Jokowi terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat akan menjadi pepesan kosong bilamana tidak diikuti dengan penegakan hukum. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH se Indonesia khawatir bila semua itu akan berakhir menjadi ilusi.

Atas nama YLBHI dan LBH se Indonesia, Direktur LBH Banda Aceh Syahrul,S.H, Kamis (12/1/2023) mengatakan pihaknya masih tetap khawatir bila hasil kerja Tim Penyelesaian Pelanggaran Non Yudisial Hak Asasi Manusia (TPPHAM) sekadar sebagai alat pencitraan, tanpa ada niat menuntaskannya.

“Pengakuan, penyesalan dan jaminan ketidakberulangan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi pelanggaran HAM berat di Indonesia bukan jaminan tindakan kekerasan terhadap rakyat tidak akan diulangi oleh kelompok-kelompok yang selama ini memang selalu menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan,” sebut Syahrul.

Baca juga: Pengakuan Presiden Langkah Baru Penagakan HAM di Indonesia

Ribuan Sekolah di Aceh Dibakar Pada Masa Konflik

Pagi Berdarah di Jambo Keupok Aceh Selatan

YLBHI mendesak pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkrit melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis.

YLBHI justru berpendapat pembentukan TPP HAM tidak lebih dari pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo di akhir masa jabatannya untuk seolah memenuhi janji politiknya dan bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024.

12 pelanggaran HAM Berat masa lalu yang diakui pemerintah Indonesia.
12 pelanggaran HAM Berat masa lalu yang diakui pemerintah Indonesia.

“Hal kami lihat dalam 11 rekomendasi yang disampaikan oleh TPP HAM 11 Januari 2023 melalui Menkopolhukam Mahfud M.D. kepada Presiden, tidak ada satupun yang menyebutkan adanya dorongan pemerintah untuk akselerasi dan akuntabilitas penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM  melalui pengadilan HAM berat yang selama ini mangkrak di Kejaksaan Agung,” sebut Syahrul.

Sejak awal, YLBHI dan 18 LBH menyoroti pembentukan TPP HAM yang tidak memiliki dasar hukum yang memadai. Pasal 47 UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM Berat melalui ekstra yudisial harus dibentuk melalui undang-undang. Mekanisme penyelesaian non yudisial yang hanya berdasar Keputusan Presiden tentu secara legitimasi hukum menjadi patut dipertanyakan kekuatannya, karena justru bertentangan atau melanggar Undang-Undang.

Keraguan YLBHI terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo tidak bisa dilepaskan dari  rekam jejak pemerintah dalam menyikapi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di antaranya sebagai berikut :

  1. Hingga hari ini, pemerintah melalui Jaksa Agung tidak menunjukkan keseriusan mengungkap dan menarik pertanggungjawaban pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan melalui proses penyidikan yang independen, transparan, dan akuntabel oleh Kejaksaan Agung, setelah diselesaikannya 12 penyelidikan kasus oleh Komnas HAM. Bahkan dalam peristiwa Semanggi I dan II, meski belum dilakukan penyidikan, Jaksa Agung menyatakan kasus tersebut bukan pelanggaran HAM berat dan berujung pada gugatan oleh korban. Selain itu, satu-satunya kasus yang diproses ke penyidikan hanyalah kasus Paniai. Kasus ini pun dilakukan dengan banyak sekali kejanggalan dan berakhir pada putusan bebas pada terdakwa tunggal.
  2. Selama pemerintahannya, alih-alih memutus impunitas melalui upaya pengungkapan kebenaran dan memberikan keadilan dengan menyeret para pelaku ke pengadilan serta menjamin ketidakberulangan. Presiden Joko Widodo justru mengangkat terduga atau nama-nama yang sangat erat dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti Wiranto, Prabowo, Untung Budiharto dan lainnya diangkat dalam jabatan-jabatan strategis pemerintahan/militer.
  3. Terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang sudah dalam proses persidangan seperti Kasus Paniai (2014), juga dalam berbagai penyelidikan yakni Operasi Militer Timor Timur (1975-1999), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Kasus 27 Juli 1996, Tragedi Abepura (2000), Pembunuhan Theys Eluay (2001), Pembunuhan Munir (2014), tetapi Presiden tidak mengakui peristiwa-peristiwa tersebut dan tidak memasukkannya dalam bagian dari upaya penyelesaian.
  4. Pemerintah terus menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan dalam banyak kebijakan seperti di wilayah Papua maupun saat menghadapi masyarakat yang menggunakan hak asasinya untuk berekspresi termasuk berdemonstrasi di berbagai wilayah untuk mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang inkonstitusional dan melanggar hak warga. Sampai dengan hari ini, pemerintah tidak juga segera menghentikan pendekatan dan praktik-praktik kekerasan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia warga negara baik dilakukan oleh pemerintah maupun melalui aparat represif negara seperti kepolisian maupun TNI.

Tuntutan YLBHI Atas Pengakuan Pelanggaran HAM

YLBHI dan 18 LBH se Indonesia juga mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo juga tidak diriingi oleh roadmap bagaimana penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut akan dilakukan. Pengakuan dan penyesalan tanpa diiringi pengungkapan kebenaran dan kejelasan siapa pelaku dan bagaimana pertanggungjawaban hukumnya justru akan menjadi permasalahan baru.

Presiden Abdurrahman Wahid dalam periode singkat jabatannya  memberikan preseden baik dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat. Ia langsung mencopot Wiranto karena diduga terkait peristiwa Pelanggaran HAM Berat dalam Timor Timur, mendorong penyelesaian kasusnya melalui pembentukan pengadilan ham ad hoc, menghentikan kekerasan di Papua dengan upaya dialog damai yang sejati, serta mendesak dihapusnya Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966.

Oleh karena itu, YLBHI mendesak kepada Presiden selaku kepala pemerintahan pemangku tanggung jawab penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM untuk memastikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat harus diberikan secara holistik. Berupa hak atas kebenaran, hak atas keadilan, jaminan ketidakberulangan, serta penghukuman terhadap para pelaku.

YLBHI juga menuntut pihak berwenang sebagaimana mandat UU Pengadilan HAM supaya segera melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta mengadili secara independen dan akuntabel semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu.

“Rakyat sudah seringkali dikibuli melalui janji dan komitmen. Akhirnya sering berujung pepesan kosong. Apakah pengakuan Presiden lahir dari kesadaran putra bangsa yang tulus, ataukah sekadar pepesan kosong? Semuanya dapat diukur melalui tindakan selanjutnya,” sebut Syahrul.

Pernyataan yang disampaikan oleh Syahrul merupakan pernyataan bersama Pengurus YLBHI, LBH Banda Aceh, LBH Pekanbaru, LBH Medan, LBH palembang, LBH Padang, LBH Lampung, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Kalimantan Barat, LBH Samarinda, LBH Palangkaraya, LBH Makassar, LBH Manado, LBH Papua.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here