Komparatif.ID, Banda Aceh– Penerapan perbankan syariah di Aceh, jangan sampai menjadi fitnah untuk syariat Islam yang sedang dijalankan.
Demikian disampaikan Teungku H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Tu Sop) yang merupakan Ketua Himpunan Ulama Dayah se-Aceh (HUDA), Senin (22/5/2023).
Tu Sop yang juga Pimpinan Umum Dayah Babussalam Al-Aziziyah, Jeunieb, Bireuen, menyebutkan untuk menyikapi persoalan perbankan syariah setelah penerapan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS) harus disikapi dengan sikap dan pola pikir syariah.
“Dalam menyikapi persoalan ini, kita perlu melakukan kajian yang komprehensif agar problem ini dapat dilihat secara secara jelas dan utuh. Kajian ini penting supaya kita dapat menemukan apa sebenarnya kelemahan yang kemudian menyeret syariatisasi perbankan di Aceh ini sampai pada titik perdebatan,” terang Tu Sop.
Ia melanjutkan, “Sebab cara berpikir, sikap dan kebijakan yang tidak didasari atas kajian yang matang akan membuat penyelesaian persoalan ini bias, tidak menyentuh inti persoalan dan berpotensi menyeret kita ke dalam persoalan lain yang baru.”
Menurut TuSop, dalam konteks perbankan syariah di Aceh ada 3 aspek yang perlu dikaji, yaitu regulasi, penerapan dan layanan. Apakah ketiga aspek ini sudah memenuhi unsur Syariah atau masih perlu disempurnakan?
Ada 3 nilai syariah yang perlu diperhatikan Nilai keadilan, nilai kebaikan, dan nilai penguatan perawatan prinsip-prinsip yang diperintah di dalam agama. Ketiga nilai ini menjadi instrumen dalam stempel dan label syariah.
Sebagai daerah yang memiliki regulasi syariah, persoalan publik di Aceh harus ditata dan diselesaikan sesuai dengan kaidah-kaidah syariah. Oleh karena demikian, dalam hal ini perlu kolaborasi yang seimbang antara pengambil kebijakan dalam hal ini forkopimda dengan pemegang otoritas syariah yaitu Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Kolaborasi ini akan melahirkan kebijakan-kebijakan solutif yang bersyariah.
Terkait polemik perbankan syariah yang belakangan muncul, Tu Sop masih bertanya-tanya letak masalahnya di mana? Jika masalahnya disebabkan ada pihak yang terzalimi berarti persoalannya terletak pada unsur keadilan. Ketidakadilan ini tentu saja tidak sesuai dengan syariah.
Baca juga: Belum Kompatibel, Qanun LKS Harus Revisi
Jika masalahnya karena pelayanan yang tidak maksimal dibanding lembaga keuangan lain itu berarti tidak memenuhi unsur syariah yang kedua, yaitu unsur nilai kebaikan. Sebab prinsip syariah itu memudahkan bukan mempersulit. Meringankan tanpa membebani. Begitulah seterusnya.
“Terkait wacana pengembalian bank konvensional ke Aceh, sebaiknya kita jangan tergesa gesa mengambil sikap. Harus ada kajian yang menyeluruh dan mendalam sebelum kita mengambil suatu kesimpulan. ”
Ada beberapa hal yang patut menjadi pertimbangan, antara lain, di tengah kondisi perekonomian dan perputaran keuangan di Aceh saat ini, apa untung-ruginya bagi Aceh atas keberadaan dan ketidakberadaan bank konvensional kembali ke Aceh?
Kekuatan keuangan di Aceh saat ini dominan bersumber dari APBN dan APBA. Hanya sedikit yang bersumber dari sektor lain seperti pertambangan, perkebunan atau lainnya. Jika pun ada dari sektor lain mereka mengelola keuangan dari sumber mana?
Sementara itu, perputaran uang yang bersumber dari APBA didominasi oleh Bank Aceh dan dari APBN berada dalam dominasi BSI.
Terlepas dari soal perbankan dan keuangan, rakyat Aceh patut juga mempertanyakan pada diri sendiri i sejauh mana kita komit penegakan dan penerapan syariah di Aceh. Terutama dalam urusan publik. Legalitas yang bersifat khusus itu, bukankah keistimewaan yang diperoleh lewat perjuangan panjang para tokoh-tokoh Aceh?
Maka atas dasar berbagai pertimbangan yang ada, Tu Sop ingin menegaskan beberapa hal, yaitu: Dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul di Aceh, semua harus komit untuk menjaga pola pikir, sikap dan kebijakan agar tidak keluar dari konsep syariah.
Kemudian, siapapun yang mengurus Aceh, dalam kebijakannya mesti berproses pada penguatan Syariah. Semua nilai-nilai Syariah yang memungkinkan diterapkan harus diupayakan semampu manusianya.
“Intinya kita harus komit untuk menghindari praktek penerapan Syariah yang justru menjadi fitnah bagi syariah itu sendiri. Inilah yang dimaksud bersandingnya ulama dan umara. Dalam arti kata kesuksesan penerapan syariat di dalam pemerintahan Aceh baru terjadi apabila terkombinasi dengan baik antara keilmuan, etika, skil dan kekuasaan. Inilah yang belum berhasil kita wujudkan.”