Pemerintah Aceh Abaikan Kebudayaan

kebudayaan Aceh
Azman (kiri) saat diskusi kebudayaan di Telaga Art Space, Banda Aceh.

Aceh memiliki potensi besar dalam pemajuan kebudayaan. Potensi tersebut karena Aceh memiliki beragam kekayaan ekepresi budaya. Demikian hasil survey Kementerian Pendidikan dan Kemudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Badan Pusat Statistik, yang dilakukan pada tahun 2023.

Ibarat ayam mati di lumbung padi. Demikian nasib budaya Aceh. Dengan segenap potensinya yang sangat besar, dengan segenap kekayaan yang besar itu, ternyata sampai hari ini belum mampu dikelola secara baik dan maksimal. Bolehlah saya katakan bahwa Aceh telah gagal menjalankan amanah Undang Undang Keistimewaan Aceh. Mengapa gagal? Karena tingkat merumuskan arah kebudayaannya saja Aceh masih gagal.

Aceh belum benar-benar mempunyai goal dan arah pembangunan culture yang jelas dan pasti. Misal dalam unit rencana pembangunan terkecil semacam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) saja, sudah empat kali pilkada sejak 2007, Aceh belum sekalipun menempatkan culture sebagai satu sektor strategis dalam pembangunan.

Baca: Pemajuan Kebudayaan Aceh Menjadi Perhatian Serius Pemerintah

Ketidakpedulian Pemerintah Aceh, menempatkan Provinsi Aceh pada peringkat 22 nasional dalam Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) dengan nilai 53,33. Posisi ini tentu jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai nilai 57,13.

Tantangan utama yang tengah dihadapi oleh Aceh adalah belum adanya goal yang jelas, strategi yang terukur dan menyeluruh dalam pengambilan kebijakan pembangunan tentang sektor itu, sehingga Aceh belum mampu meningkatkan performanya.

Jika kita tarik ke belakang, sejak tahun 2007, goal dan peta jalan kebudayaan Aceh memang tidak pernah dibicarakan secara menyeluruh, detil dan serius dalam pembangunan Aceh. Sehingga alokasi anggaran untuk sektor tersebut selalu saja menjadi salah satu yang terkecil dibanding sektor lainnya.

Padahal budaya dan adat istiadat merupakan salah satu dari empat sendi istimewa yang dimiliki oleh Aceh, sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh.

Lain budaya, lain pula dengan bidang agama dan pendidikan Aceh, yang kita ketahui telah lebih dahulu dibicarakan secara rinci dan serius, juga telahpun dilaksanakan secara memadai, dan dengan anggaran yang juga memadai, meskipun peningkatan hasil di kedua bidang tersebut juga masih belum seperti yang diharapkan.

Jika Aceh terus menerus membiarkan kebudayaan Aceh terseok-seok sendiri, sembari para pelaku budaya, tokoh adat, dan pelaku seni terus menerus berteriak dan mengemis-ngemis keberpihakan dan perhatian dari kursi kekuasaan, maka di titik tertentu bisa jadi pihak-pihak tersebut bosan, kehabisan daya, megap-megap dan akhirnya mati rasa. Dan jika itu terjadi tamatlah riwayat kebudayaan Aceh.

Selama ini eksistensi budaya Aceh  tampil dan dimaknai dalam ruang-ruang yang sempit. Kita memiliki lebih kurang 6.500 Kampung di Provinsi Aceh. Namun jika ditanya, berapa banyak dari ribuan desa yang kita miliki itu yang telah mampu mendokumentasi dan mempreservasi ekspresi dan produk kebudayaanya, dan apa upaya yang sudah kita lakukan untuk membantunya, dalam rangka pelestarian dan pemanfaatan?

Jika pada level perlindungan dan pengembangan kebudayaan saja Aceh belum mampu menuntaskannya secara menyeluruh, maka bagaimana kita bisa berbicara pada level  pelestarian, dan pemanfaatannya ke depan. Hal ini tentu sebuah ironi, bahwa Aceh telah gagal menentukan peta jalan dan goal kebudayaan sehingga gagal untuk mengelola kekayaan potensinya.

Aceh ke depan sesungguhnya butuh tujuan, dan peta jalan kebudayaan yang lebih jelas dan strategis untuk 30, 50 bahkan 100 tahun ke depan. Goal itulah yang diharapkan akan men-drive semua gerak langkah kebudayaan Aceh ke depan.

Sebenarnya secara historis, pakem budaya Aceh sesungguhnya telahpun terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu. Ekspresi-ekspresi yang terbangun dari pengejawantahan nilai-nilai Islam sudah sejak lama diwarisi oleh para indatu-indatu kita.

Maka dari itu, memperkuat ragam ekspresi yang nilai-nilainya tidak keluar dari rel Islam dan jalan tuhan hakikatnya memperkuat budaya Aceh. Memperkuat ekspresi yang sejalan dengan pelestarian alam itulah hakikatnya memperkuat budaya Aceh. Memperkuat ekspresi yang mencintai kemanusiaan itulah hakikatnya memperkuat kebudayaan Aceh.

Potensi kebudayaan Aceh yang sangat melimpah ini membutuhkan optimasi melalui tata kelola yang baik. Pemerintah Aceh perlu memiliki tujuan dan visi jangka panjang, agar budaya Aceh dapat menjadi bagian dari pembangunan strategis yang berkelanjutan.

Saya berharap kepada Pemerintah Aceh sesegera mungkin menentukan tujuan atau peta jalan budaya yang lebih jelas, dan merancang strategi terukur secara menyeluruh terkait kebudayaan Aceh. Caranya dengan mengintegrasikan budaya dalam setiap agenda pembangunan.

Komitmen dan keseriusan pemerintah tentu menjadi penentu bagi kerja dan aktualisasi kebudayaan Aceh ke depan, untuk menjadikan lebih terarah atau tidak. Keseriusan pemerintah juga menjadi penentu apakah kebudayaan Aceh ke depan akan kembali menjadi ekspresi natural kemanusiaan atau hanya sekedar kerja-kerja seremonial yang berbasis proyek.

Semoga komitmen dan keseriusan para pihak, khususnya pemerintah untuk memperjuangkan dan menjadikan kebudayaan Aceh lebih terarah dan strategis bisa terwujud dengan sebaik-baiknya.

Oleh: Azman, S.S., M.A. Ditulis berdasarkan hasil diskusi para seniman di Telaga Art Space, Banda Aceh, 10 Maret 2025. Tulisan ini disalin dari Facebook Azman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here