Pembantaian Teungku Bantaqiah di Beutong Ateuh

Buku Matinya Bantaqiah; Menguak Tragedi Beutong Ateuh, yang ditulis oleh Dyah Rahmany P. Buku tersebut menguak cukup tajam peristiwa pembantaian terhadap Teungku Bantaqiah dan santrinya. Foto: Komparatif.id.
Buku Matinya Bantaqiah; Menguak Tragedi Beutong Ateuh, yang ditulis oleh Dyah Rahmany P. Buku tersebut menguak cukup tajam peristiwa pembantaian terhadap Teungku Bantaqiah dan santrinya. Foto: Komparatif.id.

Pembantaian Teungku Bantaqiah dan murid-muridnya atau yang lebih dikenal dengan Tragedi Beutong Ateuh, per 23 Juli 2023 telah berusia 24 tahun. Ulama sederhana yang bermukim di Gampong Blang Meurandeh, Aceh Barat—kini masuk Kecamatan Beutong Ateuh, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, bersama santri-santrinya dibantai secara membabi buta oleh pasukan militer. Hingga kini negara tak kunjung mengakui bahwa di sana puluhan anak bangsa dibantai secara sadis, hanya karena dituding terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka.

4 November 1999, satu bulan setelah Tragedi Beutong Ateuh, Panglima Kodam I/Bukit Barisan Mayjen TNI A. Rahman Gaffar menyebutkan TNI bukan terlibat di dalam penyerangan terhadap Bantaqiah dan santri-santrinya, tapi memang dilakukan oleh TNI dalam rangka tugas negara.

Menurut Mayjen A. Rahman Gaffar, ada lima hal yang menjadi perhatian terhadap Teungku Bantaqiah. Pertama, pada Juni 1999 orang-orang Bantaqiah telah membunuh 9 TNI dan Polri menjelang Pemilu 1999. Selang enam hari kemudian, orang-orang Bantaqiah membunuh 14 anggota TNI-AD.

Baca juga: Pagi Berdarah di Jambo Keupok Aceh Selatan

Kedua, Teungku Bantaqiah menyebarkan aliran sesat. Ketiga, ia terlibat jual beli senjata api. Keempat, ia terlibat menanam ganja. kelima, Teungku Bantaqiah pernah dipenjara 20 tahun.

Komandan Korem 013/Teuku Umar Kolonel  TNI-AD Syarifuddin Tippe mengatakan aksi pembantaian diawali dengan kontak senjata. Pernyataan Tippe diperkuat oleh Kapolda Aceh Brigjen Pol. Bachrumsyah, yang menyatakan bahwa lamanya kontak senjata 10 menit. Ia memperkuat argumennya dengan menyebutkan aparat keamanan yang menyerbu Pesantren Bantaqiah di pedalaman Aceh Barat, menemukan  berbagai jenis senjata api; AK-56, AK-47, Colt-38, FN-45, 100 butir peluru AK, serta peralatan komunikasi Radio Ranggo, HT IC-02N; dan dua kilogram ganja kering.

Akan tetapi, pernyataan Danrem Teuku Umar dan Kapolda Aceh dibantah oleh Tim Pencari Fakta (TPF), yang disampaikan oleh Kolonel Syahril Bakri. Tidak benar ada perlawanan senjata oleh Bantaqiah. “Kami menemukan fakta, Bantaqiah memang sengaja dihabisi oleh TNI.”

Dalam sebuah artikel berita yang tayang di Republika Online, 1 November 1999, dengan judul TPF Simpulkan Pembantai Beutong Ateuh Oknum TNI, Kapuspen Mayjen Sudrajat Minta Diklarifikasi, Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh Pemerintah TK-I Aceh menyimpulkan penyerangan TNI terhadap Bantaqiah tidak mendapatkan perlawanan.

”Telah terjadi penembakan sepihak oleh TNI, dan tidak ada bukti yang cukup adanya perlawanan dari Tengku Bantaqiah dan para pengikutnya,” demikian kesimpulan temuan TPF Pemda Aceh yang disampaikan salah seorang anggota tim, Drs. Azhary Basar.

Hasil investigasi dari Tim Komisi Independen Tindak Kekerasan Kasus Aceh yang melakukan investigasi langsung terhadap kasus Beutong Ateuh juga tidak jauh berbeda dengan temuan TPF Pemda Aceh. ”Hasil temuan TPF Pemda Aceh hampir sama dengan temuan tim Komisi Independen Aceh,” kata anggota tim Komisi Independen Aceh, Prof. Dr. Hakim Nyak Pha.

Ia mengatakan hasil temuan tim Komisi Independen Aceh sebenarnya sudah siap diperkarakan, karena fakta, saksi, barang bukti, dan para pelakunya sudah tercatat, tinggal bagaimana keinginan pemerintah untuk mengangkat masalah ini ke pengadilan. ”Pemerintah harus benar-benar menepati janjinya untuk mengusut secara tuntas para pelaku pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk di Aceh,” ujarnya.

Ketua Komnas HaM Perwakilan Aceh Iqbal Farabi menyebutkan apabila pemerintah berniat ingin melanjutkan kasus Beutong Ateuh untuk dibawa ke pengadilan harus dilakukan dengan transparan sehingga diketahui masyarakat luas. Dalam kasus ini tidak perlu dicari siapa prajurit yang melakukan pembantaian. Mereka adalah prajurit yang patuh terhadap atasannya.

Yang harus bertanggung jawab dalam kasus Beutong Ateuh, menurut Iqbal, adalah institusinya, bukan pribadi masing-masing prajurit, karena prajurit melakukan penembakan tersebut atas perintah atasannya. ”Jadi saya kira yang paling bertanggung jawab terhadap kasus Beutong Ateuh adalah Danrem 011/Lilawangsa, Pangdam I/ Bukit Barisan, dan mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto,” katanya.

Pangkostrad Letjen TNI-AD Agus Wirahadikusumah, seperti yang dimuat di koran Bali Post, 21 Juni 2000, mengatakan sebagai komandan langsung dari anak buah, meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh khususnya keluarga korban, karena semua dilakukan oleh prajurit dalam konteks pengabdian kepada bangsa dan negara.

Perihal lima tudingan terhadap Bantaqiah, dibantah oleh Tim Pencari Fakta Pemda Aceh dan kesaksian warga. Tuduhan pihak militer terhadap Teungku tidak terbukti. Termasuk dalam konteks kasus ganja. Pihak Mapolres Aceh Tengah membantah bila kasus ganja yang mereka tangani berkaitan dengan Bantaqiah.

Dalam Tabloid Kontras Nomor 44 Tahun I, 4-10 Agustus 1999, Abdullah Saleh, S.H yang merupakan tokoh Beutong, mengatakan tuduhan militer tentang ganja yang dikaitkan dengan Bantaqiah tidak beralasan; tidak masuk akal.

Teungku Bantaqiah baru dua bulan menetap di Beutong Ateuh. Ia dilepas dari penjara 26 Maret 1999, kemudian ke Aceh Timur, dan Bireuen. Barulah kemudian ke Beutong Ateuh pada akhir Mei 1999. Jadi amat mustahil dalam dua bulan ia telah memiliki ladang ganja.

Hilangnya Kekuasaan Elit Militer Daerah

Pencabutan DOM di Aceh oleh Pemerintah dan diumumkan langsung oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto pada 22 Agustus 1998, tidak diterima oleh semua kalangan. Salah satu yang paling menantang yaitu Komandan Korem 011/Lilawangsa Letkol Dasiri Musnar. Ia juga Komandan Operasi Jaring Merah yang merupakan sebuah operasi militer yang dimulai 1989 dan berakhir 1998.

“Saya memang menantang kebijakan Pusat yang secara drastis menarik seluruh pasukan (berkaitan dengan dicabutnya DOM). Waktu itu kekuatan kita Cuma 35 persen. Anda bayangkan kalau ditarik [semua].” Akibat pertentangan tersebut, ia dicopot dari jabatannya.

Bukan hanya Dasiri yang bersuara sumbang terkait pencabutan DOM. Pangdam I/Bukit Barisan  Mayjen Sedaryanto selama 10 tahun pelaksanaan Operasi Jaring Merah, GPK hanya berkekuatan 23 pucuk senjata. Setelah pencabutan DOM—masa transisi—muncullah bahwa GAM masih kuat.

Sejumlah aksi provokasi terus berlanjut setelah DOM dicabut. Banyak pengamat kala itu menyebutkan ada ketidakikhlasan dari sejumlah perwira militer tentang penghentian Operasi Jaring Merah.

Dyah Rahmany P dalam bukunya Matinya Bantaqiyah menulis, penciptaan kekerasan-kekerasan massal yang provokatif (direkayasa) terus berlangsung. Di antara peristiwa kekerasan berangkai terjadi di Kandang, Pusong, Simpang Kramat, dan Buloh Blang Ara pada 3 Januari 1999.

Dalam peristiwa itu massa rakyat diprovokasi dan dimobilisasi melalui pengeras suara masjid. Ketika mulai bergerak mereka diberondong tembakan begitu saja oleh aparat. Setelah warga kocar-kacir aparat masih melakukan penembakan sambil melakukan pengejaran. Mereka tak peduli padahal sebagian massa adalah perempuan dan anak-anak.

Demikian juga serangkaian aksi kekerasan lainnya yang terjadi sepanjang 1999 di Aceh. Banyak yang menduga bila itu bentuk reaksi perlawanan sebagai upaya cipta kondisi setelah DOM dicabut. Karena DOM menjadi karpet merah bagi para pelaksananya untuk dapat berbuat apa pun atas nama darurat.

Serangan ke Dayah Teungku Bantaqiah

Dalam Bab 3 buku Matinya Bantaqiah, Dyah Rahmany P mengilustrasikan penyerangan oleh TNI terhadap Bantaqiah.

Dalam bab berjudul Dan Teungku pun Tersungkur, Dyah menulis suasana malam sebelum penyerangan.

Suasana malam di Beutong Ateuh yang biasanya berkabut, sunyi dan tenang, tiba-tiba terusik oleh deru iring-iringan truk hijau tua. Saat itu tengah malam, 22 Juli 1999. Tujuh belas truk militer yang mengangkut tidak kurang 200 personil pasukan tentara bergerak dari arah Takengon, Aceh Tengah, menuju Beutong Ateuh, Aceh Barat.

Masyarakat di Aceh Tengah yang dilalui konvoi pasukan, seperti warga Paya Kolak, Celala, Blang Kekumur, dan Kuyun, mulai diliputi rasa tegang. Menjelang dinihari, barulah konvoi pasukan memasuki kawasan Beutong Ateuh, dan kemudian mendirikan tenda-tenda untuk menginap di sekitar kawasan tersebut, tepatnya di Pasir Putih.

Setelah memulai teror dan provokasi sejak pagi di sejumlah desa, pada pukul 11.30 WIB pasukan tentara mengepung dayah. Hari itu Jumat, dan di dayah sedang diadakan kenduri dalam rangka merayakan pembebasan Teungku yang baru dilepas dari penjara karena tuduhan melakukan subversi. Ia mendekam di penjara 1993-1999.

Di dayah juga ada tradisi pengajian tiap pagi Jumat yang dihadiri oleh keluarga dan santri. Cukup ramai hari itu di Dayah Mukaramah; 98 orang terdiri dari 61 laki-laki, 15 perempuan, dan 22 anak-anak. Ada yang berasal dari Aceh Utara, Aceh Timur, Pidie, dan Beutong Ateuh.

Pukul 11.30 Wib, pasukan mengepung Dayah Mukaramah. Mereka menggeber gas motor di depan gerbang dayah. Mereka memaki Teungku. “Bantaqiah kurang ajar!” dan itu diulang-ulang. Namun tak satupun orang di dalam pekarangan dayah terpancing. Aksi provokasi gagal, sejumlah tentara masuk ke dalam halaman dayah. Mereka meminta Teungku Bantaqiah keluar menemui tentara.

Tak lama kemudian Teungku Bantaqiah turun sembari tetap mengunyah sirih—khas dirinya—berbaju putih, peci hitam, dan bersarung. Dia ditemani oleh Teungku Daud dan Teungku Mansur. Ketiganya tidak bersenjata.

Ketika ia sedang melayani percakapan tentara, tiba-tiba sepasukan lainnya yang wajahnya telah coreng-moreng hijau dan hitam, memasuki pekarangan Dayah Mukaramah. Turut dalam rombongan itu Letkol Sudjono yang merupakan Komandan Pengawas Pelaksana Operasi Militer, disertai Kapten Anton Yulianto Komandan Peleton  Tim Pasukan penyergap.

Warga dayah terkejut dengan kehadiran pasukan perang itu. Tiba-tiba Letkol Sudjono berteriak “Bunuh saja mereka semua!”

Laki-laki dan perempuan dipisahkan. Laki-laki dibariskan di sebelah kiri dayah. Mereka diminta menghadap bangunan kecil serupa pos jaga. Baju mereka diminta dilepas. Bagi yang memakai badik dan rencong, disuruh lepas.

Kemudian mereka diperintahkan untuk jongkok. Tangan ditaruh di atas kepala.

Keadaan semakin tegang ketika seorang tentara bertanya kepada Teungku tentang kebaradaan antena yang terpasang di atas atap dayah dan adanya handy talky (HT). Teungku menjelaskan bila HT tersebut pemberian seorang pemilik HPH di Aceh Barat. usman—anak Teungku—diperintahkan mencopotnya. Belum sempat ia memenuhi perintah tentara, Usman telah dipukuli dengan popor senapan hingga babak belur.

Teungku spontan mengucapkan takbir sembari berusaha mendekati anaknya. Baru beberapa detik ia melangkah, sang ulama ditembaki. Mengenai lambung, merobek perut sang ulama. Darah mengalir dari tubuh sang syuhada.

Usman berteriak dan mencoba memeluk jasad sang ayah yang bersimbah darah dan hampir roboh. Tapi tentara juga menembakinya. Tentara menembaki warga yang sejak awal dipaksa jongkok. Jasad-jasad itu saling menimpa, tertindih dalam kubangan darah.

Grenade Launching Machine (GLM) dilesakkan tiga kali. Melengkapi kebiadapan di siang Jumat itu.

Warga yang selamat diminta tetap tiarap di dekat masjid hingga pukul 16.00 WIB. Mereka tidak boleh melihat kiri kanan.

Usai melakukan pembantaian, pasukan penyergap yang terdiri dari Yonif Linud 328/Dirgahayu Kostrad, Tim Guntur, dan Tim Intel, digantikan oleh Yonif Linud 100/Prajurit Setra. Mereka memaksa warga menggali lantai masjid mencari senjata. Karena tak ada senjata, mereka memerintahkan warga mengumpulkan jenazah di halaman dayah.

24 mayat dikuburkan dalam kolam bekas galian tanah di belakang rumah istri muda Teungku Bantaqiah.Teungku dan anaknya serta beberapa warga lainnya dikuburkan di sana.

Karena tak muat semuanya, tentara memerintahkan mayat tersisa dikubur dalam lubang lainnya. Tapi karena sangat kotor, warga menolak. Kemudian warga membuat lubang 2x 3,5 meter di sebelah kolam dan diisi tujuh jenazah.

Tentara juga memberitahu bahwa mereka juga telah membunuh 8 warga di alur sungai. TNI juga menyandera 18 warga Beutong Ateuh dan membawanya ke Aceh Tengah. 7 di antaranya kemudian ditemukan tewas  pada 24 Juli 1999. 5 di kolong jembatan Blang Rerongka, Timang Gajah, dan 2 di Simpang Layang.

Pada 25 Juli 1999, warga menemukan lima mayat yang sudah tidak dapat dikenali lagi. Penemuan itu berlokasi di kilometer 7. Jenazah-jenazah itu hanya bercelana dalam, sudah membusuk, dan umumnya ditembak di kepala. Ada juga yang digorok hingga hampir putus. Mayat itu dibuang ke dalam jurang terjal. Karena tak mungkin lagi dievakuasi, langsung dikuburkan di lokasi penemuan, tanpa dikafani.

Dalam perjalanan pulang, warga berpapasan dengan dengan seorang petani yang baru pulang dari gunung. Petani tersebut mengatakan ada 15 mayat di kilometer 8. Delapan jenazah berhasil dikuburkan sore itu. 10 lagi baru dilakukan esok harinya karena telah keburu malam.

Pada 26 Juli 1999, Keuchik Blang Meurandeh dan Cut Ali bermaksud mengkafani jasad yang tidak sempat diberikan kafan. Namun dalam perjalanan, warga dipukuli oleh tentara. Oleh karenanya, penguburan secara layak terhadap korban di kilometer 8 baru dilakukan pada 7 Agustus 1999; 15 hari setelah peristiwa itu terjadi.

Dalam peristiwa berdarah tersebut keluarga Bantaqiah yang menjadi korban Tragedi Beutong Ateuh berjumlah 4 orang. Teungku Bantaqiah anak-anaknya; Usman (29), Wahid (27), Teungku Suhaimi (35/menantu) dan Said Sufi (6). Yang terakhir tidak meninggal karena peluru hanya mengenai kakinya.

Sumber: buku Matinya Bantaqiyah, Republika, Hambo, Tabloid Kontras, berpolitik.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here