Sabtu, 21 November 2023. Seorang pria pedagang nira masuk ke sebuah warkop di bilangan Lampineung. Di tangannya ia menjinjing empat botol bekas air mineral volume 600 ml. Botol bekas itu diisi air nira.
Penampilannya sangat sederhana. Celana dress pant kumal. Kemeja lusuh, dan jaket berbahan parasut. Tak ada yang istimewa dari pria kurus berambut ikal itu. Rambutnya tak disisir rapi, dan kulit wajahnya legam terbakar matahari.
Ia bergegas menuju ke arah saya yang sedang menyeruput kopi pancung pahit, tatkala saya memanggilnya. Ia menyerahkan satu botol air nira dingin. Uap air di luar botol memberi tanda bila botol itu setidaknya bila telah semalaman di dalam peti es.
Baca: Aceh Menyelamatkan Indonesia yang Masih Seumur Jagung (1)
“Baru, Pak? ” saya bertanya.
“Iya, ini baru diambil tadi pagi,” jawabnya.
Saya menyerahkan uang, dan kemudian berlalu.
Tiba di kantor, botol itu saya serahkan ke staf yang sedang bekerja di balik meja. Mereka merupakan penikmat nira segar langsung dari bawah pohon. Ketika saya menerangkan bila itu nira baru panen, mereka tersenyum.
“Bukan, dari warna dan aroma, nira ini dipanen kemarin,” sebut seorang staf. Ia menyicip sedikit. “Sudah berasa asam. Ini nira kemarin. Disimpan di kulkas untuk memperlambat proses fermentasi alami.
Saya tidak menyeruput lagi nira yang tersisa setengah cangkir. Saya tidak marah, mungkin ada yang salah dari kalimat saya saat bertanya tentang nira itu kepada penjual. Mungkin yang ia maksud, baru diambil dari kulkas, bukan baru dipanen dari dahan bunga enau.
Tapi, peristiwa itu membuat saya kembali enggan membeli nira dari penjaja keliling. Karena bukan sekali dua kena “salah paham”. Sudah berkali-kali. Kesalahan saya karena tidak punya keahlian mengukur kualitas nira. Tapi penjual juga punya kekeliruan dalam berniaga. Ia tidak menjaga trust konsumen. Mungkin baginya konsumen air nira bukanlah orang itu-itu saja. Atau pula, banyak pembeli yang menyukai nira yang rasanya mulai asam. Dugaan yang kedua sepertinya kurang tepat. Karena air nira segar disukai karena rasanya manis.
Dalam niaga, beberapa orang mengandalkan belas kasihan. Mereka menggunakan rasa iba supaya dagangannya dibeli. Pelaku niaga yang demikian tak sedetikpun memperhatikan kualitas layanan, mutu produk, serta kualitas kemasan. Satu-satunya yang diandalkan hanyalah rasa kasihan.
Orang-orang yang telah menempuh pola bisnis demikian, sulit berubah. Bahkan banyak yang menolak berubah. Karena yang dipikirkan hanyalah tentang hari ini. Mereka tak punya impian panjang karena keliru menafsirkan anjuran agama yang melarang manusia berangan-angan.
Saya teringat kisah seorang pengusaha muda Aceh yang berniaga kepiting bakau. Produk laut yang ia beli dari Lamno dan Seunuddon diekspor ke mancanegara. Konsumen kepiting yang ia niagakan ada di Malaysia, Singapura, hingga ke Shanghai. Di Kota Yulan Magnolia itu, harga kepiting yang ia eksport telah meningkat berkali lipat.
Sejak awal berbisnis ekspor kepiting hingga saat ini, permintaan dari buyer semakin meningkat volumenya. Mengapa? Karena dia menjaga kualitas kepiting. Barang yang diterima buyer sama kualitasnya dengan yang mereka baca di brosur niaga.
“Sekali konsumen kecewa, bisnis dalam masalah. Kalau berkali-kali, usaha pasti mati,” terang si eksportir
Lalu ada kisah perempuan eksportir asam sunti. Anda tentu tertawa, asam sunti kok diekspor? Nyatanya sunti benar-benar diekspor ke luar negeri. Ada yang sudah diolah, ada yang masih utuh. Meski pangsanya masih kecil, tapi sudah dikirim ke Eropa. Bisnis tersebut dirintis beberapa tahun lalu. Saat ini kian menjanjikan prospek cerah. Buyer tetap menunggu sunti dari sang pengusaha UMKM. Ia berhasil mengikat pasar dengan kualitas dan rantai pasok yang stabil.
Setelah ditelisik, kuncinya terletak pada kualitas rasa yang konsisten, bentuk kemasan, harga kompetitif, dan rantai pasok stabil. Intinya, produk yang tidak menipu konsumen akan diminati terus-menerus.
Demikian juga bisnis media. Untuk mengikat konsumen, produk jurnalistik yang dihasilkan juga harus bermutu, penting, dan dibutuhkan. Jumlah pembaca sangat penting, tapi bukan satu-satunya tolok ukur. Media yang segmented juga dapat menghasilkan keuntungan bisnis berlipat ganda.
thanks a lot of information goodjobs