Pasar Rabu Sibreh, Pusat Perdagangan Ternak Aceh Sejak Masa Kolonial

Seorang penjual sapi sedang menunggu pembeli di Pasar Hewan Sibreh, Rabu (23/10/2024). Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.

Komparatif.ID, Sibreh— Pasar Hewan Sibreh di Kecamatan Sukamakmur, Aceh Besar, yang dikenal luas dengan nama Pekan Sibreh, merupakan salah satu pusat perdagangan hewan ternak terbesar di Aceh.

Setiap Rabu, pasar ini dipenuhi oleh pedagang dan pembeli yang datang dari berbagai pelosok daerah. Meski kini menjadi tempat perdagangan utama untuk hewan ternak, pasar ini menyimpan sejarah panjang tentang perannya dalam kehidupan masyarakat Aceh dari masa ke masa.

Sebelum terkenal sebagai pusat jual beli ternak, Sibreh telah menjadi tempat berkumpulnya masyarakat sejak masa Kesultanan Aceh dan masa penjajahan Belanda.

Pada masa-masa itu, Pasar Sibreh tidak hanya berfungsi sebagai pasar ternak, tetapi juga sebagai pusat perdagangan sembako dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Pasar ini dulunya terletak di tepi jalan Sibreh yang kala itu masih ramai dengan aktivitas perdagangan.

Guru Sejarah lulusan Universitas Syiah Kuala (USK) kelahiran Sibreh, Baihaqi, menjelaskan pada 1925, ketika Aceh berada dalam masa kolonial Belanda diputuskan untuk memindahkan pasar dari tepi jalan Sibreh ke tempat yang lebih strategis di dalam kawasan Sibreh.

Keputusan ini diambil lantaran penduduk sekitar semakin banyak, dan perdagangan yang semakin berkembang memerlukan lokasi yang lebih teratur.

Selain itu, dengan adanya jalur kereta api yang melintas, perpindahan pasar ke lokasi baru diharapkan memudahkan pedagang dari berbagai daerah untuk mengangkut barang dagangan mereka, khususnya ternak, dengan menggunakan kargo kereta api.

Dengan pasar yang berada dekat jalur kereta api, para pedagang, terutama yang datang dari daerah seperti Sigli, dapat lebih mudah mengangkut hewan ternak mereka dalam gerbong kereta api menuju pasar. Langkah ini dianggap efektif oleh Belanda untuk memperkuat kontrol ekonomi mereka di wilayah Aceh.

Pasar Sibreh pada masa itu tidak hanya menjadi pusat perdagangan hewan ternak, tetapi juga menjadi tempat berkumpulnya berbagai suku bangsa yang membawa keragaman budaya.

Pedagang dari Aceh, Padang, dan Tionghoa turut meramaikan suasana pasar. Pedagang dari Padang terkenal dengan dagangan makanan khas mereka, seperti gado-gado dan nasi goreng, sementara pedagang Tionghoa kerap membuka kedai kopi di sekitar area pasar.

Ratusan ekor sapi, kambing, hingga gibas diperjual belikan di pasar hewan Sibreh yang hanya buka pada hari Rabu. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.
Ratusan ekor sapi, kambing, hingga gibas diperjual belikan di pasar hewan Sibreh yang hanya buka pada hari Rabu. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.

Disebutkan orang Aceh sendiri lebih dominan dalam berdagang hewan ternak, pandai besi, serta menjual berbagai barang kebutuhan sehari-hari. Ada kisah menarik dari masa itu, di mana pedagang Aceh yang terampil membuat perhiasan emas sering mendapat pesanan khusus dari kalangan elit dan bangsawan.

Namun, yang paling menonjol dari Pasar Sibreh adalah posisi sentralnya sebagai pasar hewan ternak. Sejak masa kolonial hingga kini, Pasar Sibreh menjadi pusat perdagangan ternak terbesar di Aceh.

Para peternak dari seluruh Aceh, dan bahkan dari luar daerah, datang ke pasar ini untuk menjual ternak mereka. Di sinilah sapi, kambing, dan kerbau dari berbagai wilayah dipertemukan dengan pembeli yang sebagian besar datang dari kalangan peternak, petani, dan pedagang.

Meski sistem transportasi kereta api yang pernah mendukung perdagangan di Pasar Sibreh kini sudah tidak ada lagi, pasar ini tetap bertahan dan berkembang dengan caranya sendiri.

“Pusat ekonomi rakyat akan selalu menemukan bentuk baru,” ujar guru sejarah di salah satu SMP di Sukamakmur itu, Rabu (23/11/2024).

Keberadaan Pasar Sibreh juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang tertarik dengan sejarah dan budaya Aceh. Bagi mereka yang ingin merasakan langsung suasana perdagangan tradisional yang masih kental dengan nilai-nilai lokal, pasar ini adalah tempat yang tepat untuk dikunjungi.

Baca jugaMenikmati Keindahan Brayeun, Bukti Asrinya Alam Aceh

Meski memiliki sejarah panjang, Pasar Sibreh sejak beberapa tahun terakhir mulai menunjukan penurunan pembeli. Diana (45) salah satu penjual Kuah Beulangong tepat di depan pasar hewan menyebut pasar tempatnya berjualan sejak 10 tahun lalu mulai sepi.

“Mulai sepi, di sana (bagian timur pasar) yang dulunya penuh sesak tiap Rabu sekarang kosong, lapak penjual baju juga tidak sebanyak lima enam tahun lalu,” tutur Diana.

Hal yang serupa juga disampaikan Very Darmansyah (27), guru SMP Plus Imam Syafii yang menamatkan SMP hingga SMP di salah satu pesantren Sibreh. Ia mengatakan keramaian pasar Sibreh menurun drastis dibandingkan saat ia masih di sekolah menengah.

Ia mengatakan pada medio 2011-2016, suasana hari Rabu di Sibreh sangat semarak. Mobil truk ukuran besar mulai memasuki kawasan pasar sejak pagi buta. Hilir mudik kendaraan tidak berhenti hingga sore.

Intensitas keramaian baru mulai menurun usai waktu salat Asar. “Dulu rame banget, kami kalau datang pakai motor harus parkir jauh, karena ruas jalan di dalam pasar dijadikan lapak pedagang,” ujarnya.

Selain itu, Very menyebutkan posisi pasar yang berada di dalam agak jauh dari jalan nasional membuat pasar Sibreh sekarang mulai jarang dilirik. Namun ia berharap, pasar yang pernah mengisi memori remaja dapat terus bertahan.

Pengennya ya terus bertahan, alasan pasti romantisme. Di sini saya dan teman-teman dulu nyari-nyari kebutuhan sehari-hari, apalagi kan santri, Pekan Rabu jadi tempat healing terbaik,” pungkasnya seraya tersenyum.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here