Pak Polisi, Pahamilah Masyarakat

Polisi
Saifuddin Bantasyam. Foto: Dok. Pribadi.

“Dua kegiatan di atas berangkat dari pemikiran bahwa kelancaran atau ketidaklancaran polisi dalam melakukan penegakan hukum dan juga dalam menjaga ketertiban, antara lain ditentukan oleh seberapa jauh sebenarnya polisi mengenal masyarakat.”

Suatu ketika, tahun 2000, saya diundang oleh Kapolda Aceh untuk memberi presentasi di depan 80 anggota brimob yang baru beberapa hari tiba di Banda Aceh dan akan dikirimkan ke Aceh Barat. Melalui seorang perwira penghubung, saya diminta berbicara tentang sosio-antropologi masyarakat Aceh kepada para anggota brimob tersebut.

Acara berlangsung di Aula Makhdum Sakti Polda Aceh Jl. Cut Mutia (sekarang menjadi Kantor Polres Banda Aceh). Tujuan acara itu adalah agar para anggota brimob mengetahui dan menghargai nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat Aceh, apalagi saat itu sedang ada konflik bersenjata antara GAM dengan Pemerintah RI.

Pada suatu bulan di tahun 2017, saya mendapat undangan lain dari Polda Aceh untuk melakukan presentasi di depan anggota kepolisian dari berbagai kebupaten/kota di Aceh tentang penyelesaian kasus-kasus tindak pidana ringan melalui peradilan adat.

Baca: Kampung Aceh di Batam Digrebek Polisi

Para penyidik ini bingung dengan dualisme hukum, antara yang diatur dalam qanun dengan apa yang diatur di dalam KUHP. Di lapangan kerap terjadi ketegangan, tolak-tarik antara anggota kepolisian dengan kepala desa terkait penyelesaian tindak pidana ringan tersebut.

Polisi Harus Mengenal Masyarakat

Dua kegiatan di atas berangkat dari pemikiran bahwa kelancaran atau ketidaklancaran polisi dalam melakukan penegakan hukum dan juga dalam menjaga ketertiban, antara lain ditentukan oleh seberapa jauh sebenarnya anggota Polri mengenal masyarakat.

Demikian juga dalam kontek Perpolisian Masyarakat (Polmas). Sebagai sebuah strategi, Polmas ini akan optimal jika anggota kepolisian mampu membina relasi yang baik dengan warga masyarakat. Pembinaan relasi yang baik itu hanya mungkin dilakukan jika polisi mengenal masyarakat di area di mana polisi itu bertugas. Pengenalan itu menjadi semakin penting mengingat bahwa anggota Polri kadang kala dipindah-tugaskan ke tempat lain, baik yang berada di dalam satu provinsi maupun ke provinsi lain di Indonesia.

Prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung mungkin menjadi sangat relevan. Prinsip ini menekankan tentang perlunya orang, termasuk anggota kepolisian, belajar tentang segala sesuatu di lingkungan di mana dia bertempat tinggal dan bekerja.

Segala sesuatu itu mencakup berbagai hal, misalnya budaya, tradisi, adat istiadat, agama, kepercayaan, filsafat hidup, dan lain sebagainya. Polisi pun bisa mencari tahu siapa tokoh-tokoh yang berpengaruh di wilayah tersebut, yang sering disebut dengan influencer.

Pengenalan tentang aspek-aspek di atas akan memperlancar tugas-tugas kepolisian, di samping bahwa polisi juga bisa menyusun satu ”peta sosial” yang bisa menjadi modal pendukung penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.

Influencer yang disebutkan di atas menjadi role model atau patron dan sangat didengar oleh masyarakat. Polisi bisa meminta bantuan influencer tadi untuk mengajak serta masyarakat membantu kepolisian untuk sama-sama menegakkan hukum di dalam masyarakat.

Steven Vago (1988) menjelaskan bahwa para sosiolog membagi masyarakat ke dalam dua konsepsi ideal masyarakat dalam kaitannya dengan bagaimana hukum itu (berlaku) di dalam masyarakat tersebut. Konsepsi ideal yang pertama disebut dengan the integration-consensus dan kedua dinamakan dengan the conflict-coercion perspective.

Konsepsi the integration-consensus melihat masyarakat sebagai suatu kelompok yang memiliki integrasi dengan sistem yang stabil dan hidup serta berkembang atas dasar consensus terhadap nilai-nilai tertentu. Model masyarakat konsensus ini menekankan kepada pentingnya kerja sama, kohesi sosial, solidaritas, dan stabilitas.

Mereka menyadari kehadiran berbagai kelompok atau bahkan kelas masyarakat dengan berbagai konflik kepentingan, tetapi mereka tetap bisa menjaga kesatuan dan keharmonisan di dalam masyarakat tersebut.  Mereka memandang hukum sebagai kerangka kerja yang netral yang berfungsi untuk menjaga integrasi masyarakat. Mereka juga melihat hukum itu ada untuk melayani berbagai kepentingan di dalam masyarakat. Konsensus adalah kata kunci utama di dalam masyarakat ini.

Sedangkan dalam the conflict-coercion perspective, masyarakat terdiri dari individu-individu serta kelompok-kelompok dengan kepentingan yang beraneka ragam dan saling konflik. Warga masyarakatnya lebih menonjol sebagai individu dengan sikap egois masing-masing, dibanding anggota suatu komunitas,  dalam mengejar tujuan mereka.

Dalam the conflict-coercion perspective, seperti disebut oleh Achmad Ali dan Wiwie Heryani (2012), hukum dibentuk dari nilai-nilai dan tindakan-tindakan berbagai kelompok dengan memakai kekuatan ekonomi, sosial, dan politik sebagai mekanisme paksaan.

Dalam perspektif tersebut, hukum juga dipandang sebagai “a weapon in social conflict” (senjata dalam konflik sosial) dan sebagai instrumen penekan yang digunakan oleh “the rulling class” untuk kepentingan mereka. Hukum memproteksi harta benda kelompok elite dan juga sebagai penekan terhadap ancaman-ancaman politik terhadap mereka.

Perspektif tersebut memandang konflik sosial sebagai sesuatu yang bersifat intrinsik bagi interaksi antara individu dan kelompok. Kebutuhan untuk mempertahankan stabilitas di dalam masyarakat membutuhkan bujukan dan paksaan dan hukum digunakan sebagai suatu alat pemaksa dan penekan.

Bagaimana kondisi pada masa sekarang ini? Adakah dua model masyarakat itu tumbuh dan berkembang? Dua pertanyaan ini penting untuk dipikirkan oleh setiap anggota bhayangkara. Jika mengacu kepada pandangan Achmad Ali dan Wiwie, maka pembedaan yang terlalu keras antara model masyarakat konsensus dan model konflik tidak terlalu realistis dalam era globalisasi dewasa ini. Yang jauh lebih realistis itu adalah melihat perpaduan dari kedua model masyarakat tersebut.

Namun, terlepas dari apa yang dikatakan Achmad Ali dan Wiwie, poin terpenting adalah mempelajari masyarakat itu merupakan suatu keharusan atau bahkan suatu kewajiban.

Kadang kala kita menemukan masyarakat yang mudah sekali diajak untuk bekerja sama, mau berlaku tertib, dan menekankan kepada musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah dengan karakter masalah tertentu. Masyarakat yang demikian tentu mempermudah kerja-kerja polisi dalam menegakkan hukum dan ketertiban.

Namun, police mungkin juga menemukan dengan mudah individu-individu atau masyarakat yang yang tertutup, tidak bersikap kooperatif, dan hidup dalam kondisi saling curiga antarsesama—termasuk kepada institusi pemerintahan. Mereka mungkin juga menggunakan kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah. Dengan masyarakat yang demikian, polisi tentu butuh strategi yang tepat dalam menegakkan hukum dan ketertiban.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here