Perubahan iklim selalu menjadi isu hangat yang tidak pernah surut. Isu ini terus menjadi tren di kalangan masyarakat guna menggalakkan kepedulian terhadap iklim dan lingkungan sebagai investasi jangka panjang dan mencapai sustainable development goals (SDGs).
Sejalan dengan tren tersebut, Pemerintah menunjukkan komitmennya pada permasalahan iklim dan lingkungan melalui penerapan Carbon Pricing dengan pajak karbon (Carbon tax ) serta Pasar karbon (Carbon Markets).
Awalnya, rencana penerapan pajak karbon di Indonesia akan dimulai pada April 2021 lalu sesuai dengan Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Namun hingga saat ini, regulasi terkait penerapan pajak karbon masih terus menghadapi tahap pematangan dan berencana di terapkan kembali pada 2025 mendatang.
Apa itu Carbon Pricing, Carbon Tax, dan Carbon Markets?
Carbon Pricing adalah mekanisme pengenaan biaya tanggung jawab bagi pelaku kerusakan akibat gas karbon emisi rumah kaca yang digunakan untuk membenahi dampak dari eksternalitas negatif yang diterima oleh masyarakat.
Carbon tax atau pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar berbasis karbon, seperti minyak, gas, dan batubara yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan memberikan insentif kepada produsen dan konsumen untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
Sedangkan Carbon Markets adalah sistem perdagangan atas emisi karbon yang digunakan oleh negara, perusahaan atau individu guna penyeimbangan dalam Green proyek atau bisa pula membeli dan menjual izin untuk mengeluarkan emisi sejumlah tertentu. Sedikit lebih rumit dibanding pajak carbon, namun memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menentukan harga emisi karbon sehingga memiliki insentif guna mengurangi emisi.
Metode Penerapan Pajak Karbon Di Indonesia
Sebagai bentuk kesiapan dalam menyambut Carbon Pricing , Indonesia memiliki metode dalam menghitung besaran pajak karbon yang akan menjadi dasar pengenaan pajak pada Carbon tax dan Insentif pada Carbon Markets. Metode ini adalah Cap and Trade dan Cap and Tax.
Dari tabel di atas, kita dapat melihat perbedaan antara skema Cap and Trade dan Cap and Tax terletak pada mekanisme pengaturan dan insentif yang diberikan kepada perusahaan
Cap and Trade menawarkan kemudahan dalam izin perdagangan, sedangkan Cap and Tax langsung mengenakan biaya pada emisi yang melebihi batas.
Baca juga: Bappebti dan OJK Atur Ulang Industri Kripto: Apa Dampaknya?
Pemerintah Indonesia berencana untuk menerapkan kedua skema ini secara bertahap. Pajak karbon mulai diterapkan pada sektor pembangkit listrik berbahan bakar batubara dengan skema Cap and Tax, sementara skema Cap and Trade direncanakan akan diperluas ke sektor-sektor lain setelah 2025.
Potensi Penerapan Pajak Karbon
Indonesia menduduki peringkat keempat dalam kategori penduduk terbanyak di dunia dengan kurang lebih 283 juta penduduk. Hal ini linear dengan potensi emisi karbon yang dihasilkan di Indonesia.
Semakin banyak penduduk berarti semakin banyak penggunaan bahan bakar fosil yang menyumbang emisi karbon. Belum lagi demografi yang terus meningkat akan terus menambah potensi peningkatan emisi karbon pula.
Menurut Emission Database for Global Atmospheric Research (EDGAR) Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan emisi karbon terbesar di dunia, kurang lebih dalam satu tahun Indonesia mampu menyumbang 692 juta emisi karbon.
Potensi ini diprediksi akan terus meningkat seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi serta sektor ekonomi masyarakat. Sehingga pengenaan pajak terhadap karbon akan menjadi “sekali mendayung dua pulau terlampaui”, sekaligus menjadi alat untuk mencegah eksternalitas negatif dari karbon serta menjadi instrumen fiskal guna mendorong penerimaan negara apabila terdapat penempatan tarif yang sesuai.
Potensi penerimaan indonesia melalui pajak karbon cukup fluktuatif. Terdapat peningkatan dan penurunan dalam potensinya terutama pada tahun 2012-2022.
Namun melalui perhitungan ini pemerintah dapat memperoleh kurang lebih sebesar Rp23,280 triliun melalui pajak karbon. Namun untuk mencapai komitmen tersebut Kementerian keuangan menyebut diperlukan pembiayaan sebesar Rp343,6 triliun untuk masa 2020–2030.
Pada negara-negara maju seperti Finlandia dan Swedia yang sudah menerapkan Carbon Pricing sejak lama, langkah ini dinilai sangat efektif dalam menurunkan potensi perubahan iklim akibat karbon dan mendukung peningkatan produk domestik bruto (PDB).
Beban atau Bantuan?
Meskipun memiliki manfaat dan tujuan yang baik untuk mengurangi eksternalitas negatif dari emisi gas rumah kaca atau karbon, namun masih banyak tantangan yang akan dihadapi terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, terutama kenaikan harga bahan bakar fosil dapat berdampak negatif pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang mungkin tidak mampu menanggung biaya tambahan ini.
Agar langkah baik ini dapat tercapai dengan baik pula, maka pemerintah memastikan penerapan pajak karbon nantinya tidak akan menjadi beban, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Diperlukan kebijakan yang mengedepankan keadilan dan pendukung seperti pengalihan pajak progresif atau distribusi dividen hasil pajak kepada masyarakat.
Pendapatan yang diperoleh dari pajak karbon bisa dialokasikan melalui pemberian insentif dan penyediaan fasilitas pengendalian perubahan iklim serta program-program sosial yang membantu masyarakat untuk terlebih dahulu beradaptasi dengan situasi transisi ini.
Implementasi pajak karbon ini pun harus disertai dengan mekanisme monitoring dan evaluasi yang transparan untuk memastikan bahwa pengalokasian dana berjalan sesuai rencana dan tepat sasaran. Sehingga pemerintah dapat melakukan penyesuaian jika diperlukan.